Chapter 3 - Uncover

"Home is not where

you are from,

It is where

you belong.

Some of us

travel the whole

world to find it.

Others,

find it in a person."

- Beau Taplin

🌹

Bimo memaksa dirinya meninggalkan kasur, matanya berat bukan main. Dia baru tidur beberapa menit gara gara lembur proyek film dan harus terbangun tengah malam begini karena suara berisik dari dapur. Salahnya memang yang memilih kamar dekat dengan dapur, padahal kalau mau dia diijinkan memilih kamar di lantai yang sama dengan kamar Avita. Sambil berjinjit pelan pelan dia membuka pintu, melirik ke dapur yang gelap gulita.

"Siapa malam malam begini main di dapur nggak pakek nyalain lampu?" Pikirnya. Dia sudah memutar badan untuk kembali tidur tapi tiba tiba waspada karena otaknya memutar satu kata

MALING!

Kantuknya mendadak hilang, waspada tingkat dewa. Dia menyisir kamarnya, mencari apa saja yang bisa dia gunakan sebagai senjata dan hanya menemukan tripod bersandar di pintu lemari. Mengabaikan prinsipnya -alat lebih penting dari nyawa- ,dia mengendap endap keluar kamar dengan tripod di tangan. Sambil merunduk dia menajamkan pendengaran. Awalnya sunyi lalu terdengar suara langkah yang kemudian disusul suara gemericik air. Ah, masak iya malingnya haus? Sedikit rileks dia mengintip ,menemukan sosok yang paling dikenalnya sedang menata baskom di meja makan lalu duduk dengan kepala diselimuti handuk.

"Kampret !" Umpatnya sambil bangkit dari posisi. Masih dengan tripod di tangan dia masuk ke dapur, menyalakan lampu lalu menjitak kepala Avita dan hampir membuat wajahnya masuk ke baskom.

"Awww ! Apaan sih !" Omelnya sambil menyingkirkan handuk dari kepala.

"Loe ngapain malem malem berisik di dapur?"

"Nah, loe ngapain malem malem mainan tripod?"

Bimo menyandarkan tripodnya di kulkas lalu duduk bersama Avita yang kembali sibuk dengan baskom yang ternyata berisi air panas. "Pilek?"

Avita hanya mengangguk.

Lama sama sama diam, Avita mengangkat kepalanya karena pegal. Saat menyingkirkan handuk dari kepala yang dia temukan malah Bimo tidur dengan posisi duduk di kursi sebelahnya berbantalkan tangan yang dilipat di atas meja. Wajahnya terlihat damai, nafasnya teratur, Avita jadi tidak tega membangunkan. Sampai tiba tiba ide jahil muncul di kepala. Sambil menahan tawa dia merogoh kantung celana tidurnya untuk mengambil ponsel. Saat kamera menyala bukannya mengambil foto, dia malah memandangi wajah Bimo. Menggambar wajah itu dengan jari telunjuknya lewat layar kamera ponsel. Entah kenapa ada rasa sedih di hatinya. Diletakkan-nya ponselnya, merebahkan kepala di atas meja menghadap wajah Bimo, memandanginya sampai dia tertidur.

Saat bangun pagi harinya ,Avita ada di kamarnya, meringkuk di balik selimut. Matahari sudah tinggi, hampir saja dia melompat dari kasur sebelum dia ingat kalau hari ini hari minggu. Namun akhirnya memilih bangun karena matanya tidak lagi mau terpejam. Sambil mengikat rambutnya asal diselingi bersin, dia turun ke dapur tempat Bi Minah tengah sibuk menyiapkan makan siang sementara Bimo tidak kelihatan batang hidungnya. Sambil meneguk segelas susu yang sebelumnya dia ambil dari kulkas setelah menyapa Bi Minah, dia duduk di meja makan mengamati wanita paruh baya itu mondar mandir. Suara minyak nyaring mengisi dapur. Aroma ayam goreng menggoda hidungnya dari balik ingus yang membuat perutnya keroncongan. "Bimo kemana, Bi?" Tanya-nya mengalihkan perhatian.

"Katanya ada pengambilan gambar buat film-nya. Pagi pagi tadi berangkat dijemput sama Dimas." Jelas Bi Minah sambil sibuk membalik ayam di wajan. Sesekali mundur lalu maju lagi karena takut terciprat minyak panas.

"Oh."

🎶Nobody sees, nobody knows,

We are a secret can't be exposed

That's how it is, that's how it goes,

Far from the others, close to each other

In the daylight, in the daylight,

When the sun is shining,

On the late night, on the late night,

When the moon is blinding

In the plain sight, plain sight,

Like stars in hiding,

You and I burn on, on 🎶

Ponsel Avita berdering dari kamar. Dengan santai dia menaiki tangga ,mulutnya berduet dengan Zara Larsson yang jadi nada dering.

"Halo." Sapanya sambil mengucek hidung.

"Loe udah mandi belom?" Tanya Bimo di sebrang telefon.

Avita menggeleng.

"Makan siang?"

Avita kembali menggeleng seolah Bimo bisa melihatnya.

"Ya udah mandi sana. Abis makan siang telfon gue." Luar biasa ! Ternyata Bimo bisa tau gelengan kepala Avita.

"Ih, ngapain?"

"Kita nostalgia bentar sebelum gue take lagi." Jawab Bimo diikuti suara tawa kecil.

Avita hanya meng-iyakan, entah apa maksud Bimo dengan nostalgia. Dengan santai dia menghabiskan makanan-nya, mandi lalu mengeringkan rambut panjangnya di depan meja rias sampai ponselnya kembali berbunyi.

"Kampret ! Loe makan siang di Itali? Lama banget !" Omel Bimo dari sebrang telefon bahkan sebelum Avita menyapanya.

"Ya ini udah selesei, Bim."

"Buruan jalan ! Gue tungguin depan komplek. 10 menit !"

Sambil terburu buru Avita berangkat. Sempat ditahan Bi Minah karena menitipkan makanan, akhirnya dia sampai juga di tempat yang dimaksud Bimo. Di sana si Bimo sudah menunggu sambil duduk duduk di atas motor. Muka sudah sewot karena Avita telat 3 menit. Iya, 3 menit.

"Sorry ... Tadi Bi minah ..." Nafas Avita putus putus.

Tanpa peduli penjelasan Avita, Bimo merapikan rambut gadis itu ,memasangkan helm lalu mengeluarkan tisu dari kantung jaketnya. "Iya. Sini buang ingus dulu." Katanya sambil meletakkan tisu di hidung Avita.

Bukannya manja, tapi tangan Avita sedang penuh. Satu memegang bekal titipan Bi Minah dan satunya lagi menggengam ponsel, juga hidungnya ikut penuh gara gara flu. Jadi dengan patuh dia menuruti perintah Bimo yang memperlakukannya sudah seperti anak kecil. Setelah selesai dengan hidung, Bimo mengambil bekal di tangan Avita, memasukkannya dalam tas sementara Avita memata posisi di belakangnya.

Mereka berkendara cukup jauh, pantas tadi Dimas datang pagi pagi sekali.

Nostalgia ...

Dulu mereka pernah ikut tante Farah ke luar negeri, menginap beberapa hari di hotel tua yang punya lahan luas mengelilingi bangunan. Lahannya hijau tertutup rumput dengan pepohonan besar sebagai benteng hidup, membentuk lingkaran raksasa menjadikan bangunan hotel tadi sebagai pusatnya. Di sana mereka senang bermain puteri dan pangeran. Berbekal kotak musik hadiah ulangtahun dari mendiang mama Avita, mereka akan pergi ke lahan hijau dan berpura pura sedang ada di tengah pesta. Saat kotak musik mulai memutar lagu, Bimo akan mengulurkan tangannya dengan sopan pada Avita, mengajaknya berdansa dengan gerakan sederhana yang pernah mereka tonton di opera.

Hari ini Bimo membawa Avita ke tempat yang hampir sama persis. Lahan berumput yang cukup luas dan dikelilingi pepohonan, hanya saja tidak ada bangunan tua di pusatnya, cuma lahan hijau dengan bunga bunga kecil warna ungu di beberapa titik.

"Waahhh !" Avita kagum. Tempatnya memang cantik dan tidak ada orang juga di sekitar sini.

"Loe inget hotel tempat kita nginep setelah nonton opera waktu itu?" Tanya Bimo sambil merogoh ke dalam tas punggungnya, mengeluarkan kotak kayu berplitur dengan ornamen bunga sederhana.

Avita mengangguk lalu air wajahnya makin cerah dengan Bimo menunjukkan kotak di tangannya.

Bimo berlari kecil ke tengah lahan ,membuka kotak musik lalu memutar skrup-nya, meletakkan tasnya di dekat kotak yang kini memutar musik Waltz no.2 Dmitri Shostakovich lalu kembali ke tempat Avita masih berdiri terkagum. "Will you dance with me ,Your Highness?" Tanya-nya seraya membungkuk dan mengulurkan tangan.

Sambil tersenyum geli, Avita meletakkan tangannya di tangan Bimo. "Sure." Dan Bimo menuntun-nya ke tengah lahan, menyatukan tangan mereka sementara tangan yang lain mengatur posisi di pinggang dan lengan. Tarian waltz sederhana di lahan berumput dengan hanya diiringi instrumen dari kotak musik entah kenapa sudah jadi kebahagiaan untuk mereka, melangkah ,mengayunkan tubuh seirama ,menikmati waktu dan hembusan angin di sela sela rambut juga di permukaan kulit. Sesekali tersenyum kemudian tertawa.

Ada yang bilang rasa nyaman bisa berubah jadi cinta. Benarkah?

Drrttt ... Drrrttt ... Drrrtttt ...

Instrumen dari kotak musik sudah berhenti saat mereka masih asyik berdansa sampai ponsel Bimo bergetar dari saku celana. Sedikit panik dia merogoh saku untuk mengambil ponselnya, matanya membulat begitu melihat nama yang terpampang di layar. "Halo, Dim. Iya, bentar ! Ini gue lagi di jalan !" Katanya lalu buru buru berkemas. "Ta, loe ikut gue ya? Ntar pulangnya bareng abis gue ambil gambar."

Gadis itu mengangguk. Dengan tertib dia mengikuti Bimo ke motor. Dari tempat tadi dengan lokasi pengambilan gambar tidak terlalu jauh. Sampai di lokasi Dimas sudah sibuk dengan para crew, sebagian mengotak atik kamera, sebagian lagi menata lighting. Ada juga yang sibuk mendandani talent. Mirta yang juga ada di sana tampak tidak nyaman dengan kedatangan Avita. Dengan buku naskah di tangan, dia menghampiri Bimo, mengabaikan Avita yang berdiri tepat di belakang Bimo.

"Nih, naskahnya." Katanya sambil menyodorkan buku naskah dan mengambil alih tas punggung Bimo.

Si Bimo menghampiri Dimas sambil menunjuk Avita. "Jagain dia." Katanya.

"Emangnya dia pos ronda pakek dijagain ?" Mendapat pelototan, Dimas lari lari kecil ke Avita. Memang kalau soal Avita ,sahabatnya itu super protektif. Sambil menenteng kamera dslr, Dimas mengarahkan Avita agak menjauh dari lokasi. Pengambilan gambarnya di pinggir danau dan di dekat sana disediakan bangku bangku panjang yang tersebar di taman.

"Action !" Teriak Bimo dikejauhan.

Dimas membidikkan kamera dari tempatnya duduk. Sesekali ke arah Bimo, sesekali ke arah crew yang lain. Avita cuma duduk di sisinya, mengamati.

"Loe mau makan bakso nggak ,Ta? Deket sini ada bakso enak banget." Tanya Dimas sambil mengecek hasil jepretannya.

"Tadi gue udah makan siang sih. Tapi boleh juga kalau ditraktir."

"Gampang kalau sama gue mah. Yuk !" Baru saja Dimas melangkahkah kaki kanan dan Bimo sudah berteriak di kejauhan.

"Dim !" Suaranya bergema ke penjuru danau dan taman, matanya melotot sambil memberi arahan agar mereka berdua duduk.

Si Avita terlihat cuek sementara Dimas dengan patuh meletakkan pantatnya di bangku taman. "Ntar aja deh nungguin Bimo."

🍃