"Ya ampun, Cin. Tampan banget..." kagum Febi pada pimpinan baru yang tak lain adalah Arvino Bagus Sadewo. Yang biasa dipanggil tuan Arvi.
"Haaa! Loe kenapa Cin,"
karena tak ada jawaban, Febi menoleh. Ia terkejut mendapati sahabatnya itu, penuh dengan keringat dingin juga bibir pucatnya.
"Ada apa, Feb?"
Siska yang mendengar pekikan Febi, ia langsung menghampirinya.
"Cin," Febi menggoyangkan tubuh Cinta.
Melihat itu, Siska pun ikut mengamati kondisi Cinta.
"Ren, tolong!"
Rena yang tak jauh dari mereka pun mulai melangkah menghampirinya.
"Ada apa? Ha! ya ampun, Cinta kenapa?" Rena terkejut, ia pun ikut panik melihatnya.
Mendengar ada keributan Arvi yang sedang serius memperkenalkan diri, mulai tak fokus. Ia pun menghampiri sumber suara.
"Ada apa!"
Suara bariton membuat ketiga sahabat Cinta menoleh.
Cinta melihat wajah Arvi yang mendekat, membuat tubuhnya melemah dan tak sadarkan diri.
"Cinta, Cinta," Febi menepuk-nepuk wajah Cinta, saat Cinta jatuh menimpanya.
"Dia, kenapa?"
"Kami tidak tau Tuan, sebelumnya dia hanya gemetaran dan berkeringat. Namun, saat Tuan..."
Siska ragu untuk melanjutkan ucapanya, bibirnya keluh takut menyinggung Tuan Arvi.
"Saya kenapa? Apa dia takut melihat wajah saya?"
Siska dan Febi pun mengangguk.
"Masa sih?"
Arvi kurang yakin dengan jawaban karyawannya itu. Untuk menentukan benar tidaknya ia pun memutuskan menggendong Cinta ala bride style, menuju klinik perusahaan.
"Kalian kembali ke tempat kerja saja, biar saya yang bawa ke klinik,"
"Tapi, Tuan..." Febi seperti kurang yakin dengan Arvi.
"Saya yang akan menjaganya, kalian tenang saja!"
Rena, Febi dan Siska pun mengangguk.
Arvi berdiri dengan Cinta yang berada dalam gendongannya, sedikit berlari menuju klinik perusahaan.
Masuk dan menceritakan apa yang terjadi pada dokter jaga klinik itu. Dokter itu pun mengerti dan mulai memeriksa Cinta. Sedang Arvi ia duduk di ruang tunggu depan pintu klinik itu.
"Apa iya, wanita itu takut melihat wajah ku. Rasanya ga mungkin, bila ada wanita yang takut dengan wajah tampan ku ini," monolognya tidak percaya akan apa yang ia dengar tadi.
"Semoga dia baik-baik saja," sambungnya. Ya walaupun ia merasa aneh, ia masih punya perasaan pada karyawan yang ia tolong itu.
Baginya wanita itu harus diperlakukan dengan baik, walaupun ia tak mengenalnya.
Arvi jadi ingat, akan ucapan maminya.
"Perlakukanlah wanita dengan baik, tolong dan bantulah dia bila membutuhkan. Sekalipun kamu tak mengenalnya ataupun kamu membencinya. Karena wanita adalah calon ibu untuk masa yang akan datang, jika kamu ragu untuk menolongnya. Maka ingatlah Mami, anggap saja wanita yang akan kamu tolong itu adalah Mami atau saudara kita,"
"Iya, Mam. Arvi akan melakukannya, Arvi janji," ucap Arvi pada dirinya sendiri.
Drreetttt drrettt
Ponsel dalam saku jasnya pun bergetar. Dengan segera Arvi mengangkat panggilan yang masuk.
"Iya. Ada apa, An!"
"..."
"Baik, aku akan ke sana,"
Arvi menutup panggilan itu.
Bangun dari duduknya dan melihat dari depan pintu, apakah dokter sudah selesai memeriksanya.
Tepat sekali saat, Arvi baru memegang pegangan pintu itu. Dokter pun membukanya terlebih dulu.
"Bagaimana Dok,"
tanya Arvi penasaran.
"Dari pemeriksaan tadi, saya tak mendapati penyakit apa pun dalam tubuhnya,"
"Tapi, tadi dia kan...''
"Iya, saya tau. Dan saya mengira reaksi yang ada pada wanita itu di akibatkan karena ia mengingat kejadian yang membuatnya trauma,"
Arvi melipatkan dahinya dan menatap serius dokter itu.
"Mmakssud, anda Dok!"
"Wanita itu memiliki penyakit trauma, dan akan kambuh jika sesuatu hal yang yang mirip dengan apa yang ia alami," jelas dokter itu.
Arvi mengangguk-anggukkan kepalanya.
'Apa aku yah, yang membuat wanita itu pingsan?" batinnya.
"Apakah hanya dengan melihat wajah, bisa membuat traumanya kambuh?"
"Bisa saja, jika wajah itu ada kaitannya dengan kejadian yang dia alami," ucap dokter itu membenarkan.
Setelah mengatakan itu, dokter yang bernama Irfan pun pamit dan meninggalkan Arvi yang sedang kebingungan di depan pintu klinik itu.
"Apa aku pernah melakukan kesalahan yah, hingga membuat wanita itu trauma jika melihat wajahku," ucapnya dengan menatap ke arah Cinta yang sedang berbaring di ranjang klinik itu.
"Ck, ga mungkin. Aku kan selalu baik pada setiap wanita. Aku juga ga mengenalinya, dia pingsan itu karena sudah tak tahan lagi menahan sakitnya. Ah iya benar seperti,"
monolognya, tak ingin menjadi orang yang disalahkan atas kambuhnya trauma pada Cinta, wanita yang ditolongnya.
Mengingat akan ada pertemuan Arvi pun meninggalkan klinik tersebut.
***
Beberapa jam kemudian, Cinta mulai mengerjap dan sedikit-sedikit membuka matanya.
Setelah pandangannya mulai terang, ia pun mengamati sekeliling ruangan dan pandangannya berhenti setelah mendapati tiga sahabatnya berada di ruangan yang sama dengannya.
"Kamu sudah sadar, Cin,"
Siska yang ada di sebelahnya, menyadari Cinta yang membuka mata.
Mendengar ucapan Siska. Febi dan Rena pun seketika menoleh dan mulai menghampiri ranjang Cinta.
"Kamu tidak apa-apa kan, Cin,"
"Apa ada yang sakit, Cin? Biar gue panggil Dokternya,"
Cinta menggeleng lemah, " Gue ga apa-apa, cuma sedikit pusing aja."
"Mau minum Cin," tawar Siska.
Cinta mengangguk, ia pun perlahan-lahan bangun dan duduk dengan dibantu Rena juga Febi. Sedang Siska mengambil minuman.
Cinta dengan pelan-pelan meminum minuman yang dikasih Siska.
"Loe kalau belum sarapan, harusnya ngomong dong Cin. Kita kan khawatir sama elo," kata Febi, ia menganggap jika pingsannya Cinta di karenakan tidak sarapan.
"Iya, Cin. Telat ga apa-apa deh, dari pada loe harus kaya gini ya ga? Lagian Tuan Arvi ternyata baik orangnya,"
tutur Rena, melihat bagaimana Arvi menolong dan menggendong langsung Cinta.
"Tuan Arvi?"
"Iya, Tuan Arvi. Pimpinan baru kita Cin,"
"Dia itu yang tadi gendong kamu sampai klinik, jangan bilang kamu ga tau,"
"Ya iyalah, Cinta ga tau. Dia kan pingsan dodol!" protes Febi, bagaimana Cinta tau, lah dia kan merem.
"Hehe.. iya yah,"
Rena menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Iiih, gue iri deh sama loe Cin,"
"Iri kenapa?" Cinta tak tau arah ucapan Rena.
"Ya iri, loe bisa berdekatan dengan Tuan Arvi. Apalagi digendong kaya tadi," ujarnya sambil membayangkan dirinya yang ada dalam gendongan Arvi.
"Ck, halu aja sih, loe!"
Febi menyadarkan Rena yang sedang tersenyum membayangkan Arvi.
"Kenapa sih, Feb. Ganggu aja deh," kesal Rena dengan bibir kerucutnya.
Cinta diam mendengar para sahabatnya sedang mengagumi pimpinan baru yang mereka sebut tuan Arvi itu.
Ia sebenarnya bingung dan tak menyangka jika ada orang yang wajahnya sangat mirip dengan Adrian mantan tunanganya. Setaunya Adrian tak punya saudara kembar, lah terus tuan Arvi itu siapa?
'Ga! ga mungkin kalau Adrian hidup lagi. Jelas-jelas gue yang melihatnya kejadian itu,' batinya mengelak.
'Gue harus memastikan sebenarnya siapa dia!'
'Tapi bagaimana caranya? Kalau liat wajah dia aja, gue..'
"Selamat siang,"
suara bariton tiba-tiba terdengar dan semakin dekat. Membuat Cinta dan ketiga sahabatnya menoleh mencari sumber suara.