Ketiga wanita menatap kagum pada orang yang sedang melangkah menghampirinya.Wajah tampan dan rupawan mulai mendekat. Sedang Cinta, setelah tau orang yang berucap tadi. Ia pun menunduk sekali-kali memejamkan mata, berusaha menahan rasa traumanya.
'Ayo, Cin. Loe pasti bisa! Dia pasti bukan Adrian, loe bisa Cin! Dia orang lain, jangan berpikir dia Adrian,' batin Quin mencoba menenangkan diri.
"Bagaimana keadaanmu?"
Merasakan ada yang mendekat dan bertanya, Cinta pun membuka matanya yang sempat ia pejam tadi.
Mulutnya terbuka, kaget saat melihat di depannya hanya ada pria yang sedang ia hindari.
Kemana mereka. Cinta
"Mereka kembali bekerja," seakan tau apa yang ada dipikiran Cinta.
"Oh,"
Cinta bingung, ia pun hanya menunduk menatap selimut pasien yang menutupi sebagian tubuhnya.
"Bagaimana? "
"Ha! apa?"
"Kenapa kamu bisa pingsan! apa kamu .."
"Saya hanya belum sarapan, ya belum sarapan,"
Sela Cinta, ia tak mungkin mengungkapkan yang sebenarnya.
Tuar Arvi mengangguk, walaupun ia tau itu bukan jawaban yang sebenarnya.
Mau bermain denganku yah! Tunggu saja akan ku buat kau mengatakan yang sebenarnya dan ku hilangkan penyakit mu itu. Tuan Arvi
Cinta melihat sekilas jika Tuan Arvi tersenyum menyeringai.
Apa yah, yang sedang ia rencanakan. Cinta
"Siapa nama kamu!"
"Cinta, T-uan"
Menatap sekilas dan kembali menunduk.Cinta tau etika dalam berbicara, tapi karena wajahnya yang sangat mirip dengan Adrian. Ia pun harus sering-sering menunduk.
"Apa wajah saya buruk, hingga kamu tak mau menatap?"
"Ha!" Cinta mendongak dan menatap Tuan Arvi seketika.
"Maaf, Tuan,"
Seakan tau kesalahannya, Cinta pun meminta maaf. Bukannya ia tak mau menatap, tapi...
"Baiklah, kalau wajah saya sangat menakutkan. Mungkin besok saya akan memakai topeng,"
"Untuk apa Tuan? Eh.. maksudnya itu tidak perlu Tuan, maaf saya hanya sedikit tak enak hati pada Tuan,"
ucap Cinta lirih, menunduk dengan meremas ujung selimut yang ia pakai.
"Jika tak enak hati, kenapa kamu tidak mau menatap,"
Cinta memutar matanya, ia sedang mencari kata-kata untuk menjawab ucapan Tuan Arvi.
Aduh, gimana ini. Aku harus jawab apa? ck, kenapa dia terus bertanya. Cinta
Melihat tangan Cinta yang mulai bergetar, walau tak melihat wajah Cinta. Tuan Arvi pun tahu jika Cinta sedang menahan rasa traumanya.
"Baiklah, kamu bisa istirahat lagi," ucap Tuan Arvi yang mulai melangkah menjauhi Cinta.
Mendengar itu, Cinta menghela panjang. Ia merasa bersyukur akhirnya orang yang ia hindari bisa pergi dari hadapannya. Wajah senang dan senyuman pun terbit dari bibir Cinta, merasa sesuatu yang bahaya akan pergi meninggalkannya.
"Saya akan menemani,"
Cinta mendongak dan menatap serius Tuan Arvi yang sedang duduk di sofa ruangan itu.
Wajah senang dan senyuman pun mulai menekuk dan cemberut.
Tuan Arvi terlihat tersenyum tipis melihat perubahan wajah Cinta.
***
Setelah beberapa jam menahan kesal sekaligus rasa traumanya. Akhirnya Cinta keluar juga dari zona bahaya, ia melangkah masuk ke rumahnya. Melewati kedua orang tuanya yang sedang menikmati waktu sore bersama.
"Sudah pulang, Cin?"
Melihat kedatangan Cinta, Rita pun menyapa anak gadisnya.
"Iya, Bun," sahut Cinta, dengan langkah kaki menaiki anak tangga menuju kamarnya di lantai 2.
Mendengar jawaban dan reaksi Cinta, Rita dan Ghani sang Ayah pun hanya saling pandang. Merasa bingung dan penasaran apa yang telah terjadi pada anaknya.
"Bentar ya Yah,"
Rita bangun dari duduknya.
"Mau kemana, Bun?" menahan lengan Rita.
"Biarkan saja dulu, nanti juga dia bakalan cerita sendiri. Bunda kaya ga tau gimana anaknya, Sih"
"Bukan gitu Yah, Bunda khawatir," balas Rita, melihat wajah anaknya yang tak sama sekali menunjukan rasa senang. Ia pun mulai khawatir dan berpikiran jika Cinta telah mengalami sesuatu.
"Bunda... Bunda lihat sendiri Cinta baik-baik saja. Hanya wajahnya yang terlihat kesal, mungkin dia sedang lelah karena terlalu banyak kerjaan. Sudahlah Bun, nanti kalau sudah tenang kita akan menanyakannya,"
Ghani mencoba memberi pengertian kepada Rita. Sebagai seorang Ayah, ia bukannya tak peduli dengan Cinta. Namun ada kalanya, seorang anak ada waktu untuk sendiri dulu. Nanti setelah merasa butuh teman dia pasti akan cerita kepada seorang yang dianggapnya bisa menjadi pendengar yang baik dan memberi solusi jika bisa.
Mengangguk membenarkan perkataan suaminya. Rita pun duduk kembali dan melanjutkan menemani sang suami beristirahat.
Cinta menutup pintu kamarnya, menjatuhkan diri ke tempat tidur sambil memeluk bantal panjang yang selalu menemani tidurnya.
"Bagaimana caranya yah, biar aku tak takut melihat wajah Tuan Arvi,"
"Kalau aku takut terus kaya gini, bagaimana aku bisa tau siapa sebenarnya dia. Hmm... ayo Cinta berpikirlah!"
Cinta berbicara sendiri, mencari cara supaya ia bisa bersikap biasa di depan Tuan Arvi.
"Boy!"
Cinta melihat nama yang tertera di layar ponselnya, kontak yang bernama Boy itu memanggil. Wajah Cinta berbinar seperti menemukan ide yang cemerlang, ia pun dengan segera menerima panggilan masuk di ponselnya itu.
"Hallo,"
"Cin,"
"Hmm,"
"Ya elah,"
"Ada apa loe nelpon gue!"
ucap Cinta pura-pura tak butuh.
"Ya ampun, Ciiiinnn. Sebenarnya yang butuh gue apa loe sih," terdengar suara Boy sedikit tinggi dan kesal.
"Maksudnya?"
Cinta pun dengan polosnya bertanya balik.
"Uuuuhhh, sabar deh,"
"Hari ini jadwal loe buat kontrol, ingat ga!"
"Oh, ya ampun!"
Cinta seketika bangun dan duduk menyilangkan kaki. Ia sangat-sangat tak ingat jika hari ini adalah waktunya ia kontrol untuk memeriksakan penyakitnya. Untung ia punya sahabat sekaligus dokter pribadinya, yang bisa mengingatkan kapan jadwalnya ia harus kontrol.
Beruntung banget yah, Cinta. Hehe
"Ck, gara-gara wajah itu sih,"
"Loe, ngomong apa Cin?"
Dokter Boy mendengar gerutuan Cinta, walaupun tak begitu jelas.
"Oh, enggak. Ya udah bentar lagi gue ke situ. Baru pulang nih, maaf yah,"
"Ck, ya. Gue tunggu, jangan pakai lama loh!"
"Ok,"
Tut.
Panggilan pun berakhir, Cinta menaruh ponselnya dan bergegas memasuki kamar mandi. Sepuluh menit kemudian, Cinta keluar dengan handuk yang menutupi sebagian tubuhnya. Membuka lemari baju dan mengambil salah satu, lalu memakainya.
Keluar kamar dengan penampilan yang sudah rapi, ia mulai melangkah menuruni tangga.
"Bun, Yah" sapa Cinta menyapa kedua orang tua yang sedang menatap layar tv.
Mendengar sapaan dari Cinta, Ghani dan Rita pun kompak menoleh.
"Lho! kamu mau kemana Cin?"
Rita terkejut melihat penampilan Cinta yang sudah rapi.
"Palingan mau kontrol, Bun," sahut Ghani melihat sekilas ke arah Cinta.
"Betul, tu Yah," Cinta membenarkan sambil melangkah menghampiri.
"Kok, Ayah tau?"
Rita penasaran, Kenapa suaminya bisa tau jadwal anaknya kontrol. Sedang dirinya yang sebagai Bunda, malah tak tau apa-apa.
"Tadi Boy, chat Ayah, hehee,"
jawab Ghani dengan tersenyum.
"Ck, pantes aja. Kamu mau di antar Ayah?"
"Ga Bun, Cinta pakai mobil ndiri aja,"
"Kamu ga apa-apa?"
Rita masih aja mengkhawatirkan Cinta.
"Iya Bun, Cinta baik-baik aja kok. Bunda tenang aja yah. Ya udah, Cinta berangkat dulu Yah, Bun,"
"Ya udah, hati-hati yah," Kompak kedua orang tua Cinta.
Cinta mengangguk dengan tersenyum, melangkah keluar rumah dan menghampiri mobilnya. Tak lama mobil itu pun meninggalkan rumah Ghani dan melaju menuju Rumah Sakit.
Menit kemudian mobil yang dikendarai Cinta mulai memasuki tempat parkir rumah sakit itu. Mengambil tas, membuka pintu ia pun keluar dari mobil dan berjalan melangkah memasuki pintu masuk Rumah Sakit.
Namun sebelum sampai pada pintu itu, langkahnya terhenti ketika seseorang memanggil namanya dengan sedikit teriakan.
"Cinta!"