Chereads / Guardians of Shan / Chapter 163 - Reuni – 2

Chapter 163 - Reuni – 2

"Istana Zarqan." Aku ucapkan kembali nama tempat ini. "Jadi ini tempat kalian rapat?"

"Tidak juga, temat ini lebih sering digunakan sebagai tongkrongan," jawab Zach. "Aku adalah jin yang bertugas mengatur rumah ini. Tempat khusus bagi kita untuk bernaung."

"Maksudmu, kita aman di sini?"

"Selama lawan kita bukan sesama jin. Sayangnya lawan kita sekarang adalah Zibaq."

"Kamu tahu dari mana?" heranku.

"Hansel–atau sekarang bernama Ezekiel–memberitahuku segalanya," jawab Zach. "Aku mendengar semua ketika tersegel. Setelah mendengar suara benda-benda bergesekan, akhirnya terdengar suara yang bisa dipahami."

Aku mengiakan tanda mendengar. "Kenapa kamu bisa tersegel?"

"Zibaq yang dulu membuatku tersegel," jawab Zach.

Tersegel? Bukannya 'disegel'? Atau justru memang itu bukan perbuatan Zibaq langsung?

"Dia tidak menyegelmu langsung?" Aku bertanya untuk memastikan.

"Sesama jin, apalagi yang sederajat tidak bisa saling menyegel," jawab Zach. "Hiwaga yang melakukan ini."

Astaga.

"Ironisnya, sekarang putrinya yang memihak kita," tambah Zach.

Aku langsung teringat. "Di mana Mariam?"

"Sedang bertugas," ujar Zach.

"Tugas ..."

"Tuan Putri sebaiknya beristirahat."

Ucapanku tadi dipotong oleh suara seorang gadis yang tidak kusangka kedatangannya.

Aku berpaling, menatap sumber suara. "Zahra?"

Dia kini berdiri dalam istana awan ini dengan tatapan lesa. "Aku telah membawa rakyat Aibarab ke tempat yang aman, sesuai arahan Abi. Sekarang, dia justru menyuruhku mampir ke sini menjenguk kalian."

"Ke mana yang lain?" tanyaku, cemas.

"Sebaiknya engkau tidak perlu memikirkannya. Sepertinya hanya sampai sini pertemuan kita." Zahra lalu tersenyum tipis. "Semoga kita bertemu di lain waktu."

Dia berpaling dan menjauh.

"Zahra? Zahra!" Aku panggil malah tidak digubris.

Bayangannya perlahan lenyap dari pandangan. Menyisakan tanda tanya besar padaku. Ke mana dia?

Kalau aku perhatikan, Zahra bahkan lebih rendah dari Zach. Apakah semua jin memang lebih rendah dari rata-rata orang di negeriku? Bahkan wujud asli Zibaq saat melepaskan raga saja tampak rendah. Apa semua jin seperti itu? Tapi, kenapa Ratu Jin Yamlica sangat tinggi?

Tanpa berbasa-basi, aku langsung menatap mata kelabu Zach dan bertanya. "Kenapa hampir semua jin yang kulihat tampak, maaf, lebih rendah dari tinggi rata-rata orang di sekitar sini?"

Zach tidak menunjukkan ekspresi yang berarti. Dia hanya membalas tatapan mataku dan tetap diam seakan sedang memikirkan jawaban yang tepat.

"Jin pada dasarnya memiliki wujud tergantung dari seberapa kuat mereka," terang Zach. "Untuk tingkat menengah ke atas bagi para jin akan memiliki wujud setinggi aku atau bahkan lebih rendah."

"Apa kekuatan memengaruhi tinggi badan?" tanyaku.

"Ya," jawab Zach. "Itulah mengapa para Dewa selalu lebih tinggi dari kita semua."

Aku belum pernah melihat Dewa. Menjumpai langsung juga tidak. Tapi, aku teringat dengan sesuatu. Sosok yang pernah kulihat dalam istana waktu masih dibesarkan di Aibarab.

Tidak jelas wajahnya, tapi aku yakin itu wujud seorang pria dengan rambut hitam, berdiri tegak membelakangiku, menghadap ke depannya seakan siap bertarung. Tampak kuat dan disegani.

Aku langsung menyebut ciri-ciri di atas kepada Zach. "Apa dia itu dewa?"

Ini sungguh canggung. Di tempat yang luas ini hampir terasa kosong karena hanya ada kami bertiga, tapi hanya berdua yang bicara.

Aku harus apa sekarang? Mana bisa aku diam saja sementara mereka sepertinya meregang nyawa di luar sana. Aku malah mengobrol santai dengan sosok yang baru kukenal, meski tidak bagi kalungku.

Zach menyentuh pelan bahuku, meski kakinya harus dijinjit sedikit. "Istirahatlah, Putri."

"Hah? Kamu belum jawab pertanyaanku!" Aku protes.

"Tidurlah," tegasnya. "Kamu tampak kelelahan."

"Tapi ..."

Belum sempat menyela, ruangan ini berubah menjadi sebuah kamar lengkap dengan kasur dengan lantai berlapis awan, membuatku seakan berjalan di atas kapas.

Jin itu telah raib. Tidak menyisakan jejak maupun pesan selain agar aku tidur.

Waktunya apa sekarang? Bahkan di tempat ini tidak ada penanda waktu. Memang tadinya malam, tapi sudah selarut apa?

Hening. Bahkan ketiadaan suara telah membuatku jenuh. Jika saja ada yang mau bicara padaku lebih lama, atau membiarkanku membantu yang di luar.

Andai saja.

"Tapi, aku mungkin tidak tahu seberapa kuat lawan kali ini." Aku menegur diri sendiri dalam hati. "Bisa jadi aku bakal mati konyol. Tapi, bagaimana aku bisa tahu kabar mereka?"

Menginggat obrolan Zach bersama Ezekiel mungkin bisa jadi solusi. Tapi, apa betul hanya itu caranya? Aku bahkan tidak mendapat kabar pasti dari tadi selain fakta Ezekiel menolak menginap di sini, juga mungkin Darren, dan lebih memilih tidur di luar saja.

Apa suasana di luar sana setenang itu? Kuharap begitu.

Aku coba menenangkan diri dengan berbaring di atas kasur. Begitu lembut ditambah selimut hangat membuatku terbuai begitu cepat.

Aku pun terlelap.

***

Sayup-sayup terdengar suara ramai dari luar kamar. Ketika membuka mata, yang kulihat hanyalah awan yang menjadi dinding ruangan ini. Namun, suara itu masih terdengar jelas seakan temat ini memang sudah kedatangan banyak tamu hari ini.

"Wah, akhirnya datang juga."

"Kalian masih hidup rupanya."

"Tidak usah sinis begitu, sudah berapa abad kita tidak berkumpul di sini?" Kudengar suara Nemesis.

Mulutku bergerak hendak menyahuti mereka. Namun, ada suara lain menerobos.

"Rusuh sekali. Tidak heran kenapa yang lain semakin tidak betah." Itu Arsene.

"Hei, hei! Sudah lama tidak berjumpa. Ayo, rayakan!" Terdengar suara pemuda menyahut. Dia sepertinya jauh lebih muda dibandingkan Guardian yang kukenal.

"Hush! Putri sedang tidur. Sebaiknya kita bicarakan perihal lawan kita saat ini." Zach menegur.

"Baguslah. Apa kita perlu hajar sekarang?" sahut pemuda tadi.

"Woi, santai sedikit! Nanti mati konyol malah nangis." Terdengar balasan dari temannya yang usianya mungkin tidak jauh dari pemuda tadi.

"Astaga, rusuh sekali!" Nemesis terdengar kesal.

Semua suara tadi terdiri dari beberapa lelaki yang tidak kukenal. Tapi mereka sepertinya saling kenal bahkan bisa jadi kalungku tahu mereka. Ketika aku lihat kalungku, pancaran sinarnya justru lebih terang dari biasanya.

"Hei, Putri sedang tidur!" Kudengar seruan dari Zach. "Diam atau aku usir kalian dari sini!"

"Astaga, sudah terlalu lama kita terpisah sampai lupa siapa dan siapa. Kalau yang dari tadi diam ini siapa?"

"Aku yang dulu bernama Kaanan Asafa."

Asafa? Bukankah itu nama belakang Idris? Meski itu bukan namanya dari lahir, tapi kebetulan ini membuatku termenung.

"Asafa? Ah, namamu dipakai Idris sekarang."

Khidir?!

"Benarkah?" Pria itu membalas.

"Ah, iya. Aku minta maaf tidak meminta izin dulu." Terdengar suara lembut dari Idris.

Mereka semua di sini!

Aku tidak menyangka semua Guardian akhirnya bisa bertemu dalam satu ruangan ini. Namun, aku belum juga melihat rupa mereka.

Aku mencoba keluar untuk memeriksa. Sayangnya ruangan ini begitu tertutup hingga aku tidak menemukan akses keluar. Duh, bagaimana aku bisa melihat? Akibat kantuk yang masih menguasai, terpaksa kuabaikan dan kembali mencoba tidur atau menyimak sejenak.

"Kalian diamlah," tegur Zach lagi, kali ini lebih pelan. "Kakek telah datang."

Seketika suasana yang dipenuhi suara tadi perlahan menjadi hening. Mereka tahu betul kapan harus menjaga sikap.

Tidak lama, kudengar suara dari sosok yang kuyakini menjadi pemimpin para Guardian, Tirta.

"Dia bukan ancaman terbesar bagi kita," ujarnya. "Namun, sebaiknya jauhkan dia dari Putri dan Pangeran. Karena dia penghalang bagi kita."

Mereka semua diam seakan mengiakan.

"Di mana Pangeran?" Tirta kembali bertanya.

"Dia tidur di rumahku, dijaga oleh kedua anak itu," ujar pria yang tadinya bernama 'Kaanan Asafa' entah nama dia sekarang.

"Untuk saat ini, kita tidak bisa sering bertemu secara langsung seperti ini," ujar Tirta. "Karena kita perlu mengecohnya."

"Siapa yang bersedia?" Akhirnya Ezekiel buka suara. "Oh, gue aja. Boleh, enggak?"

Tidak ada balasan selama beberapa saat.

"Kamu tidak berubah sejak lama," komentar Tirta. "Berhati-hatilah. Karena Putri tanggungjawabmu untuk saat ini."

"Kalian ngapain, sih?" tanya Ezekiel.

"Mengecoh lawan," jawab si 'Kanaan Asafa.'

Tunggu, ada berapa lawan sebenarnya? Bukankah Zibaq saja?

"Jaga diri kalian dan jangan lupa tujuan kita," pesan Tirta. "Karena kita tidak akan gagal lagi."