Segera setelah Tirta berucap, suasana kembali hening bahkan dalam waktu lama. Seakan dia tidak ingin menyambut atau bahkan hanya sekadar mengajak Guardian lain mengobrol sejenak. Kukira sebagai pemimpin dia akan memberi pidato panjang yang emosional, tapi sepertinya keadaan tidak mendukung. Pada akhirnya, hening pun berlanjut hingga aku tidak tahu berapa lama keheningan itu berlangsung. Tanda pertemuan telah dibubarkan. Tanpa kalimat perpisahan atau pesan lain, mereka pergi begitu saja. Dialog singkat antara para Guardian itu membuatku resah entah kenapa.
Apa selama ini mereka sudah saling tahu keberadaan masing-masing? Ini masuk akal karena Khidir juga dulu pernah bercerita mengirim surat kepada sesama Guardian di masa lalu, juga Arsene. Jadi, tidak menutup kemungkinan sekarang mereka hanya tinggal bertemu langsung apalagi akses jarak jauh seperti Istana Zarqan yang sangat membantu. Tapi, kenapa mereka memilih untuk tidak melawan Zibaq bersamaan di saat seperti ini? Atau mereka tidak bisa bertemu langsung kecuali hanya dengan suara-suara melalui ruang ini? Bisa jadi mereka hanya memanfaatkan Istana Zarqan sebagai tempat rapat semata alih-alih rumah bersama. Tapi, kalau dipikir-pikir akan aneh jika mereka semua hidup seatap. Jadi, Istana Zarqan tidak lain hanya tempat pertemuan sejenak baru kemudian melanjutkan tugas masing-masing, entah apa itu.
Setelah merenungkan semua itu, aku kembali terlelap.
***
"Putri."
Bisikan lembut itu membuatku terbangun. Ketika aku membuka mata, dia sudah ada di sisiku. Berdiri di samping kasur.
"Tidurmu nyenyak?"
Sambutan dari Zach membuatku ragu menjawab. Perlukah aku jujur? Yah, kuharap tidak ada salahnya berkata yang sebenarnya.
"Malam tadi aku terbangunkan oleh suara kalian," jawabku. "Apa kalian sudah biasa berkumpul di sini?"
"Kami hanya bisa bertemu sebentar, baru dikembalikan ke tempat masing-masing," jawab Zach. Dia bahkan tidak terkejut akan jawabanku. Mengingat dia yang menegur Guardian lain untuk tidak berisik.
"Kalian bisa tinggal bersama di sini?" tanyaku lagi.
"Sebenarnya bisa, tapi harus di satu tempat agar bisa menetap di sini lebih lama. Karena aku hanya bisa menghubungi, bukan membawa langsung."
"Begitu." Aku mengucek mata. "Apa yang dibahas?"
"Pesan singkat dari Tirta." Dia menjawab. "Zibaq sudah diserahkan kepada Stafford untuk sementara waktu."
Ezekiel Stafford. Ya, dia mungkin hanha akan menyebut nama belakang atau marga rekannya.
Itu terdengar janggal bagiku. Seakan dia tidak begitu kenal dengan rekan sendiri yang sudah bersama sejak lama, setidaknya itu yang kubayangkan. "Ezekiel, ya? Kalian tidak mencoba membantunya?"
"Dia sendiri yang menginginkan," balas Zach.
Ternyata benar, Ezekiel tidak hanya sekadar bicara. Dia benar-benar ingin melawan jin itu seorang diri.
"Yang benar saja." Aku tidak percaya ini. "Siapa tahu dia hanya berbual."
"Putri baru saja melihat kekuatannya yang sebesar itu." Ucapan Zach ini membuatku bungkam. "Dan masih saja ragu?"
Aku tidak bisa membalas.
Jangankan lawan, bahkan aku sendiri menyaksikan kekuatannya dengan ngeri. Maksudku, semua Guardian sejauh ini setidaknya pernah sekali membuatku ketakutan, tapi Ezekiel yang paling sering sejauh ini. Aku pernah terluka karena kekuatannya, bahkan nyaris terbunuh dan kini tidak jelas keadaan Kota Adrus sejak kemarin. Semua karena Ezekiel.
"Bagaimana keadaan Kota Adrus?" tanyaku, gemetar.
"Warga seharusnya sudah dievakuasi," jawab Zach. "Selebihnya, aku tidak tahu."
"Mereka tidak mungkin terbiasa dengan ini." Aku merenung sambil mengucapkannya langsung. "Tidak ada angin, tahu-tahu sudah membeku."
Aku tahu ini untuk mencegah Zibaq mencari inang baru. Tapi, apa memang harus seperti ini?
"Kita harus apa?" tanyaku. "Guardian lain, di mana mereka?"
"Yang pantas dilakukan sekarang adalah berjaga diri." Zach lalu melangkah menjauh. "Menetaplah di istana ini selama Zibaq masih di luar."
"Apa kabar Ezekiel? Darren? Yang lain?" tanyaku.
Zach hentikan langkahnya. "Maaf, aku tidak tahu."
Dia pun pergi.
***
Aku tidak bisa diam saja selagi mereka di luar dan mungkin sedang meregang nyawa. Guardian satu ini justru terkesan lebih tertutup dibandingkan yang lain. Apa aku terlalu cepat menilai? Dalam situasi seperti ini, seharusnya sifat seseorang terbuka sudah. Tapi, bagaimana dengan Zach?
Dia meninggalkanku begitu saja, tanpa makanan maupun minuman. Sungguh terlalu. Tidak memberi kabar maupun kepastian. Jelas sudah dia begitu terburu-buru. Memang bisa dimaklumi dalam situasi genting, tapi aku yang dilindungi ini harusnya juga dirawat, percuma kalau tidak diberi jaminan.
Kisahku di Arosia kali ini seperti dipenuhi kabut, sangat samar juga membuatmu gusar. Tidak ada yang mampu dijelaskan bahkan seorang Guardian yang paling dipercaya saja masih menyimpan seribu misteri. Ke mana mereka? Apa yang mereka lakukan di balik layat? Perlahan semua ini akan membuatku pusing. Kenapa pula tidak ada makanan di sini?
Aku duduk dan mengatur napas. Semua ini membuat kepalaku pening. Aku sadar mengomel dalam hati tidak akan membantu apalagi jika sampai merusak barang hanya sebagai pelampiasan. Tidak ada yang bisa dilakukan sekarang selain menyakiti pikiran dan batin sendiri.
Bosan? Sangat.
Apa aku menderita? Entahlah.
"Zach!" Aku tanpa sadar menyeru namanya, bahkan sampai menggema. Waktu itu aku tidak begitu peduli karena emosi telah menguasaiku.
Bahkan tanpa menunggu apa-apa lagi, aku lanjut mengomel dan kali ini diucapkan langsung tanpa dipendam.
"Kamu bilang bakal menjagaku, tapi kamu bahkan tidak memberi makan atau setidaknya hiburan bagiku. Percuma saja! Aku bisa mati kelaparan dan kebosanan!" Aku mengatur napas dan kembali bersuara. "Jika kamu tidak datang juga, akan kucari makananku sendiri!"
Saat itulah, aku coba berlari ke arah pintu yang menyerupai gumpalan awan–seperti seluruh bagian istana ini–lalu mendobraknya.
Puf!
Aku memantul hingga nyaris berguling ke belakang. Dia telah mengunci kamarku sejak awal. Parah!
"Zach! Keluarkan aku dari sini!" seruku. "Keluarkan!"
Aku menyerukan kata "keluarkan" berkali-kali, bahkan saat lelah melanda aku akan jeda kemudian lanjut. Membiarkan emosi meluap.
"Zach! Ini terakhir!" ancamku. Meski tidak ada yang bisa kulakukan setelahnya. "Aku mau makan! Atau setidaknya sesuatu yang dapat mengisi waktu."
Sesuai dugaan, tidak ada balasan.
Aku nyaris saja mengucapkan sesuatu yang tidak pantas diucapkan. Tahanlah, barangkali dia tengah di luar sana bertarung di sisi Guardian lain.
Sungguh membosankan di sini. Aku ingin ikut bertarung atau setidaknya membantu. Tapi, di sisi lain aku meragukan kekuatanku. Sadar bahwa diri ini bahkan jauh lebih lemah dibandingkan anak buah para Guardian seperti Safir.
Aku berbaring di lantai yang berlapis awan. Sungguh empuk dan dingin, apalagi kasurnya yang memang dibuat agar lekas terlelap. Mungkin tidur solusinya agar aku tidak rusuh di tempat rapat para pelindungku.
Hah, rusuh? Bukan hal aneh lagi. Setahuku, anak seusiaku akan lebih beringas dalam fase ini. Mereka tidak senang dilindungi atau diarahkan karena merasa dikekang. Terlebih jika ada selisih paham antara remaja dan orang tua. Ini sering terjadi dan kurasa aku sedang di fase menuju itu. Kuharap aku tidak akan memulai perdebatan bahkan permusuhan kepada para Guardian.
Aku menarik napas, semua ini membuatku lelah sendiri, padahal bergerak saja tidak banyak. Benar ternyata berpikir saja dapat membuat fisik lelah. Dengan sisa kekuatan ini, aku coba lagi metode sebelumnya. Karena telah dilanda lelah, aku ucapkan dengan pelan.
"Zach, kenapa aku harus diam saja di sini tanpa diberi makan?" ucapku. "Kamu kira aku apa? Bahkan jin yang tidak kasat mata saja butuh makan. Dasar tidak peka!"
Hening.
Aku menarik napas, berusaha bersabar. "Ke mana, sih, mereka ini?"
Tidak kuduga, suara yang kukenal menyahut.
"Mereka sedang berdebat. Jangan jadi penengah, mereka tidak akan mendengarkan."
Mata hijauku terbuka lebar. Ini terasa seperti mimpi. Aku langsung duduk dan menoleh ke belakang untuk memastikan kebenaran.
Kulihat sosok yang telah lama kutunggu.
"Khidir!"