Chereads / Guardians of Shan / Chapter 65 - Menuju Kebenaran – 3

Chapter 65 - Menuju Kebenaran – 3

"Setan!" Gill refleks menarikku ke sisinya dan melempar petasannya.

Dur! Asap mengepul menutupi pandangan, kami terbatuk beberapa saat sebelum melihat sosok di balik kabut.

Gadis cantik ... Mirip dengan si kembar, hanya saja rambutnya hitam dengan sorot mata biru. Dia seperti Akram, namun versi gadis. Berdiri di depan dengan tatapan tajam. Wajahnya kini dipenuhi abu hitam bekas petasan Gill. Aku bahkan ragu jika itu benar-benar petasan.

"Akram!" seru gadis itu dengan geram.

"Kamu sendiri yang ngagetin," balas Akram. "Nih, temanku."

Gadis itu mendengkus. "Ganteng tapi penakut, percuma!"

Kulirik Gill, pemuda itu menatapnya tajam. Dia arahkan telunjuk padanya. "Orang waras mana yang tidak kaget? Kamu yang main hantu dan wajar aku kaget!"

Gadis itu memutar bola mata dan bersedekap.

"Gill, ini adikku, Nisma Ferant Elzalis Wynter," jelas Akram. "Dia seorang necromancer."

"Tak heran." Gill mengalihkan pandangan.

"Apa itu necromancer?" Aku lalu berbisik ke Gill untuk bertanya. Ia hanya menjawab kalau penyihir jenis itu bisa membangkitkan mayat hidup dan mengatur mereka. Hm, kesan pertamaku pada Nisma seperti melihat gadis biasa alih-alih penyihir sejenis itu.

Nisma menyeringai. Tangannya terangkat.

"Eh?!" Sebuah tangan menarik kakiku. Aku meronta dan berhasil menginjak kepalanya. Wajah busuk, tanpa mata, daging meleleh serta bau amis.

Anehnya, Gill tidak menjerit. Dia tendang kepala itu hingga terlepas lalu menarikku menjauh.

Gill mengumpat sambil menarikku kencang.

"Egh–!" Aku nyaris tercekik karena ia menarik belakang leher bajuku, sementara Gill berusaha menghindari setiap tangan dan mayat yang bangkit dari tanah.

Nisma tertawa, suaranya bagai lonceng neraka. Aku sendiri bergidik mendengarnya. Seolah nyawa kami sudah di ujung tanduk. Ada apa ini? Kenapa kami diserang?

Kulihat Akram jelas kebingungan dan berdebat dengan saudarinya. Namun, gadis itu tampak tidak peduli. Menyeringai memandang kami diincar peliharaannya.

Gill berhenti. Segerombolan mayat tadi berdiri menghalangi jalan. Ia melepaskanku, mencoba mencari jalan lain.

Gill mengumpat lagi. "Sial!"

Aku memang masih polos, tapi aku tahu aku akan dihukum jika ikut mengucapkannya.

"Gill ..!" Aku menjerit ketika sebuah tangan menarikku. Bau busuk berpadu dengan tanah yang menyelimuti tubuh mereka, tercium jelas. Aku meronta, berkali-kali menginjak kepalanya.

"Bajingan!" Gill menendang mayat tadi hingga kepalanya terlepas. "Jangan sakiti Pangeran!"

Sebuah tangan menyentuh bahuku. Aku refleks berpaling dan memukul mundur musuhku.

Mayat hidup itu menarik tanganku hingga aku terseret menjauh. Aku berjuang menginjak kaki di tanah, ujungnya hanya memperlambat makhluk itu.

"Pangeran!"

Dengan kecepatan bagai kilat, Gill berhasil memotong tangan mayat itu hanya dengan memukulnya bagai pisau.

Aku menjauh, mengatur napas. Heran sekaligus kagum.

Aku mendengar Gill menggeram. "Menjauh darinya!"

Tak puas membunuh satu, dia serta merta menyerang kawanan yang lain tanpa jeda. Ada perubahan darinya yang seketika membuatku bergidik.

Tak lama, tubuhnya diselubungi cahaya hijau. Seketika itu pula, muncul seorang gadis berambut hitam yang seperti ...

.

.

.

Nisma?

Aku mendadak heran, Gill yang tadinya ketakutan dan tampak lemah kini menjelma jadi gadis cantik. Di bawah sinar purnama, seolah melihat sosok yang belum kukenal, berdiri di depan pasukan mayat hidup seorang diri.

"Kalian seharusnya malu!" Suaranya jelas seperti Nisma. "Ayo, kembali ke tanah sampai kupanggil lagi!"

Anehnya, mereka perlahan mengubur diri dan tidak muncul lagi setelahnya. Aku heran, Gill jelas menyamar di hadapan mereka dan tentara ini masih saja percaya jika itu majikannya.

Gill kembali mengubah wujudnya seperti semula, terengah-engah. Tidak kusangka dia bisa merubah wujud sekaligus meniru suara.

"Gill!" Aku berlari menghampiri.

"Pangeran!" Gill berlutut lalu memegang bahu lalu mendekapku erat. "Duh, malunya aku jadi Guardian, mending pensiun saja!"

"Apa maksudmu?" heranku. "Itu tadi hebat, lho!"

"Yah, setidaknya kita aman."

Kutatap sekeliling. Di mana rumah Count? Mana Akram dan Nisma? Apa kami terseret begitu jauh?

Gill melanjutkan langkah sambil menggandengku. Dia memilih jalan ke kiri entah kenapa. Beberapa saat yang hening membuatku kian canggung.

"Um ... Pangeran?" panggil Gill.

Aku menanggapi.

"Kamu terluka?"

"Tidak juga," balasku. "Hanya goresan biasa."

"Itu yang aku cemaskan," balas Gill. "Aku tidak mau kamu terluka."

Aku terdiam mendengarnya. Tidak mampu membalas lagi.

"Kamu hebat, bisa mengubah suara," pujiku untuk menghiburnya.

"Yah, paling kalau kepepet," jelas Gill. "Seperti tadi. Kalau merasa terancam. Tergantung suasana hati."

Oh, rupanya begitu.

Kami malah berjalan semakin dalam menuju hutan. Kulirik sekitar, ada beberapa penampakan dinding besar yang melindungi rumah keluarga Wynter. Gara-gara Nisma, kami menolak kembali daripada menginap di rumah hantu.

"Pa-Pangeran," panggil Gill. Dia jelas gemetar lagi. "Kalau kita ... Tersesat,

Maafkan aku."

"Kita tidak akan tersesat," ujarku. Semoga.

"Kamu dulu, kalau tidak salah ingat, selalu memandu jalan," tutur Gill. "Pokoknya, di setiap petualangan, kamu yang maju duluan."

"Begitu, ya?"

Gill mengiakan. "Tapi, sekarang kamu pasti lupa."

Tentu saja. Bahkan orangtua sendiri saja lupa.

"Kami diangkat jadi Guardian sejak usia muda," kata Gill. "Raja memilih kami secara kebetulan. Tak peduli dengan latar belakang. Beliau bilang, Putri hanya ingin teman, begitu pula sebaliknya."

"Kalau aku?" tanyaku. "Kapan aku lahir?"

"Kamu sudah ada waktu itu," jawab Gill. "Tapi, sepertinya kamu yang paling sering mendekat dibandingkan Putri."

Dia berhenti. Aku ikuti arah pandangnya.

Dari kejauhan, ada sosok tinggi berdiri menatap kami tanpa suara. Bagai bayangan namun di sisi lain tampak seperti manusia sungguhan.

Gill gemetar. Namun, tetap berdiri melindungiku.

"Per ... misi ...." gagap Gill. "Izinkan kami ... Um, masuk. Izinkan kami ... Lewat. Permisi."

Aku melirik Gill yang mendadak pucat.

Sosok itu diam saja. Tampak sengaja tidak merespons selain berdiri dan memandang dengan mata merah menyala.

Tentara Nisma bergerak dari belakang pria itu. Siap menyerang lagi.

Aku terkesiap.

Gill mundur selangkah, memegang bahuku.

Pria itu berpaling, ditatapnya kumpulan mayat hidup milik Nisma berjejeran. Geraman dan erangan pelan terpadu menyakiti telinga. Aku berusaha tenang meski Gill yang gemetar membuatku kian gelisah.

Mereka maju. Wajah busuk menatap tajam kami. Gill refleks memegang tanganku, berniat kabur bersama.

Pria tadi tetap berdiri dengan tenang. Ia mengayunkan pedang.