"Jika besok kita mencari Zahra, kepada siapa kita titipkan Remi dan Michelle?" tanya Arsene.
"Aku sarankan kalian titipkan pada sesama Guardian," ujar Nemesis. "Kalian melupakan satu rekan kita yang masih menetap di Girvort."
"Evergreen?" Arsene bersedekap. "Kamu yakin, Monsieur?"
"Kalung mereka percaya, kenapa tidak?"
***
Rumah Evergreen sama megahnya dengan Gill. Bedanya, halaman depan tidak dihiasi tumbuhan atau kolam kecil, justru hanya gerbang dan jalan masuk. Di situlah, Arsene dan Nemesis langsung menitipkan kami padanya.
"Hati-hati." Itulah pesan Arsene sebelum melepas kepergianku.
Tentu saja aku waspada. Belum sempat menoleh untuk pamit, mereka telah pergi.
Depan kami, seorang wanita pucat menyapa. "Tuan sudah menunggu kalian."
***
Di sinilah kami, duduk dengan canggung di rumah sosok pria yang masih misterius bagiku. Jika Guardian lain punya kesan terbuka, pria ini tampak lebih ramah namun tidak pernah menjelaskan secara rinci siapa dirinya. Alih-alih menyebutnya langsung, dia malah menggunakan kalimat puitis atau majas seakan enggan memberitahu kebenarannya.
John Evergreen menegak tehnya dengan pelan hingga tidak terdengar suara lain selain helaan napas kami. Dengan tenang menjaga kami yang merasa canggung. Cara minumnya saja elegan hingga membuatku terpana. Dia letakkan gelas dan mengarahkannya ke arah jam tiga seolah ada aturan tertentu dalam meminum teh.
Michelle di sampingku, kami berdua duduk berlapis permadani seperti di rumah Gill. Bedanya, kami malah merasa tidak nyaman meski pria itu tidak tampak sedang mengawas. Malah terlihat asyik dalam dunianya sendiri.
"Kalian butuh sesuatu?" Evergreen tiba-tiba bertanya. Suaranya pelan bagai desiran angin. "Jangan malu, aku bisa belikan es krim atau ayam untuk kalian. Kita bisa sekalian ke pusat perbelanjaan membeli mainan."
Michelle malah menunduk.
Merasa tidak nyaman, aku lalu bertanya. "Monsier Evergreen–"
"Panggil aku dengan nama depan," selanya.
"John." Dengan berat kupanggil demikian. "Mau beli ... Makan siang untuk kami?"
Tak disangka, dia langsung berdiri. "Ayo, aku tahu makanan kesukaan kalian."
Evergreen langsung menggandeng–lebih tepatnya menyeret–kami ke dapur. Begitu tangan kami bersentuhan, kulitnya ternyata begitu lembut. Namun, tetap saja membuatku tidak nyaman entah kenapa.
Dia hidup dengan beberapa pelayan, termasuk yang menyapa kami di depan. Mereka hanya melintas tanpa menyapa, majikannya tidak pula mengubris. Beberapa tampak takut menatap, seakan diancam terlebih dahulu. Gara-gara itu, aku jadi semakin canggung.
"Aku tahu kamu suka ayam, Michelle," ujar Evergreen. "Aku akan memasak khusus untukmu. Juga kamu, Remi, kamu perlu mencobanya juga. Aku yakin kamu bakal suka. Tanya saja kakakmu."
Michelle tidak membalas, malah tetap menunduk. Kalau diperhatikan, dia ketakutan. Aku tidak begitu memusingkannya. Bukannya wajar jika Guardian tahu soal kami? Tapi, dari mana dia tahu? Apa makanan favoritku sama dengan versi duluku?
"Michelle, kenapa diam saja?" tanya Evergreen. "Biasanya kamu ceria dan suka melihatku memasak."
Michelle diam saja. Masih menunduk. Mulutnya seolah berjuang untuk berkata, namun ditahan. Dia seolah mengetahui sesuatu.
Evergreen memberi isyarat kepada seorang pelayan wanita. Dia langsung pergi dan kembali membawa beberapa potong daging ayam dan bumbu. Pelayan itu langsung pamit tanpa diminta, majikannya bahkan tidak menatap.
"Aku dulu jago memasak dan semua orang suka masakanku." Evergreen mulai mencampurkan bumbu. "Tidak ada yang menyisakan makananku, malah meminta lebih, termasuk Michelle."
Michelle menyahut. "Aku ... Tidak ingat apa pun."
Evergreen tersenyum. "Tidak masalah, akan kubantu kalian ingat kembali."
Dia kembali memasak tanpa bersuara. Membiarkan kami menonton hidangan yang seharusnya diolah para pelayan.
Aneh, Evergreen dan Michelle seakan kenal sejak lama. Tapi, gadis itu tampak menolaknya. Wajar saja, dia hilang ingatan. Tapi, aku merasa sepertinya dia berbohong tapi tidak pula jujur.
Kulirik para pelayan yang sedang berdiri di belakang, diam dengan tatapan penuh arti. Kenapa mereka begitu pucat dan takut?
Aku kembali menonton Evergreen yang memasak dengan sepenuh hati, sama seperti Michelle, aku masih ragu.
Baunya sungguh mengunggah selera. Aku langsung menghabiskannya dalam sekali duduk. Rasanya melebihi ekspektasi, meski aku sendiri tidak tahu kapan dan di mana terakhir aku menyantap ayam. Evergreen tersenyum melihat tingkahku.
"Aku belajar dari seorang pelayan," ujarnya. "Aku diam-diam memasak meski dilarang sekalipun."
"Kenapa dilarang?" tanyaku polos.
"Aku terlahir dari keluarga terpandang," balasnya. "Aku seharusnya fokus bertempur dan memerintah alih-alih memasak. Tapi, bagiku tidak ada salahnya. Siapa tahu ada yang membutuhkan jasa memasak jika tidak ada gadis di antara kami."
Michelle menyantap ayamnya dengan pelan. Dia tidak berkomentar sama sekali dan seolah menolak kontak mata dari siapa pun terutama Evergreen.
"Michelle dulu sangat ceria," ujar Evergreen, dia tidak melepas pandangan dari gadis itu. "Apa yang menimpanya setelah ke Ezilis, pasti sesuatu yang sangat buruk."
Michelle diam saja.
"Aku juga tidak ingat banyak hal sebelum ke Ezilis," aku Evergreen. "Yang kuingat hanya ingatanku bersama Michelle dan beberapa penggalan kisah."
"Kamu orang mana, Ever-eh, John?" tanyaku. Aku tahu ia pasti menegurku jika memanggil dengan nama belakang.
"Aku orang Aibarab," jawabnya. "Tapi, di sisi lain juga ragu. Aku lupa namaku sendiri. Terpaksa kupilih nama Ezilis Selatan, John Evergreen."
Aku termenung, tidak tahu harus membalas apa. Aku ragu, tapi tidak tahu mengapa.
"Kalian tampak lesu," ujar Evergreen. "Mau pergi ke taman kota?"
Michelle mengiakan, aku hanya mengangguk.
Evergreen berdiri. "Ayo, sebelum malam tiba."
***
Evergreen menggandeng kami ke taman kota. Meski suasana entah mengapa begitu sunyi, dia tetap dengan ceria mengajak kami duduk di kursi taman sambil mengajak bicara. Dia seolah mengabaikan fakta betapa suramnya tempat ini. Hanya ada beberapa orang di sana, duduk termenung tanpa kegiatan lain selain itu. Lanskapnya saja kelabu. Melihat kedatangan kami, mereka seolah mengawas. Namun, aku merasa aman dengan adanya Evergreen.
"Nah, kalian bermainlah sepuasnya," ujar Evergreen. "Tapi, jangan jauh-jauh dari pandanganku!"
Aku mengangguk patuh dan langsung mendekati ayunan lalu memainkannya.
Berbeda denganku, Michelle terus menatap sekeliling seolah ragu sambil berdiri sesekali melirik sekitar. Orang-orang yang masih di taman sedang mengurus diri mereka sendiri. Beberapa detik setelahnya, gadis itu tetap terus mengawasi seolah ada yang salah.
Evergreen duduk dan memandang kami dengan mata merah dan hijaunya. Kedua mata itu seolah memancarkan dua aura berbeda, seakan tidak hanya menyimpan satu jiwa saja.
"Remi?" Evergreen tersenyum menyadari tatapanku. Senyumnya tampak seolah menenangkan, entah kenapa aku justru tidak nyaman melihatnya. "Ada apa?"
"Aku ..." Aku tidak mampu mencari alasan lain.
Kulirik Michelle, dia tatap sekelompok orang duduk melingkar. Seharusnya gadis itu tahu tindakannya cukup kasar.
Kutatap Evergreen yang ternyata sedang menumbuhkan beberapa bunga di bawah kakinya, sibuk dengan dunia sendiri.
"Kakak!" panggilku.
Michelle berpaling dan langsung menghampiri. Dia berlari seakan dikejar hantu. Setelah dekat, Michelle bisa bernapas dengan tenang.
"Ada apa?" heranku. Tingkahnya jelas janggal.
"Mereka ..." Michelle memelankan suara. "Mereka bukan manusia!"
Aku melirik sekelompok orang yang masih duduk melingkar. Masih sibuk berdiskusi. Dari penampilan, mereka sama pucatnya dengan penduduk Ezilis sehingga aku cukup meragukan Michelle.
"Remi!" Michelle refleks berdiri di depanku.
Meski dia lebih tua–enam belas tahun, sementara aku masih sepuluh tahun–Michelle tampak lebih takut dariku. Meski dia yang bersedia menjadi tameng. Sepertinya, ini bukan kali pertama dia bertemu makhluk selain manusia. Rasa takut itu membuatnya tampak tahu betul ancaman yang menanti.
Mereka berdiri. Berpaling. Sama pucatnya dengan penduduk Ezilis lain. Tapi, mata memancarkan kematian. Seringai itu melumpuhkan ragaku, membuat kami seolah disegel.
Mereka mendekat, hendak menerjang kami.
"Ev-"
KRAK!