Chereads / Guardians of Shan / Chapter 62 - Evergreen sang Guardian – 9

Chapter 62 - Evergreen sang Guardian – 9

"Akram memberi tahu?" tanya Evergreen memastikan.

"Ya, dia salah satu teman penaku. Um, seseorang yang memperkenalkannya padaku, dulu sekali," balas Gill terdengar polos. "Dia sempat mengirim surat kalau keluarganya hendak pindah ke Ezilis Utara sebulan sebelum keruntuhan."

Evergreen bergumam, suaranya malah terdengar gemetar. "Kenapa ... Dia tidak bilang?"

"Apa?"

Evergreen menarik napas. "Tidak ada. Hanya masalah pribadi."

Ia lanjutkan langkah. Kami ikuti dengan bingung. Aku tahu Evergreen pasti berhubungan dengan keluarga Wynter. Reaksinya tadi membuatku yakin ia bisa saja merasa dikhianati oleh mereka. Kendati selamat saat keruntuhan.

"Kamu kenal keluarga Wynter selain Akram?" tanyaku pada Gill.

"Aku kenal beberapa," jawabnya. "Tapi, hanya Akram yang paling dekat. Itu pun hanya sebatas teman pena."

"Dia sahabat masa kecilmu?"

"Lebih tepatnya, aku teman pertamanya di Ezilis. Aku lupa siapa yang mengenalkanku padanya waktu itu. Yang pasti, saat memilih nama secara acak, aku dapat alamat rumah Akram."

Aku mengerutkan kening.

"Keluarganya pernah ke sini," jelas Gill. "Percakapan awal kami hanya sebatas memberitahu makna kata yang tidak kumengerti saat membaca sebuah koran. Lambat laun, kami jadi sering membahas hal yang kami senangi bersama."

Aku mengangguk. Seharusnya Evergreen mengutus Gill alih-alih meminta dengan yang lain. Begitu hendak membuka mulut, Evergreen bersuara.

"Jadi, kamu tahu di mana keluarga Wynter tinggal?" tanya Evergreen tanpa menoleh.

"Aku hanya tahu tempat tinggal Akram," jawab Gill. "Beberapa anak hidup terpisah, namun tetap satu wilayah. Begitu prinsip keluarga mereka."

"Begitu?"

Gill mengiakan.

"Siapa saja yang hidup bersama Wynter?" tanya Evergreen lagi.

"Hanya empat gadis," jawab Gill. "Satu sudah dewasa, sisanya remaja. Tapi, kalau tidak salah, salah satu gadis juga sedang merantau."

"Baik, terima kasih."

Balasan itu entah kenapa membuatku curiga. Aku menatap Gill, pria itu–atau lebih tepatnya pemuda–meneruskan langkah sambil memandang punggung Evergreen.

"John, kamu kenal raja itu?" tanyaku di tengah jalan. Kami hampir sampai ke komplek perumahan tanpa makan siang dan aku hampir pingsan kelaparan.

"Tidak." Balasan itu jelas mengecewakan.

"Yakin?" tanya Gill. "Kamu seolah tahu nasibnya."

"Aku tidak mengenalnya."

Aku dan Gill saling tatap, jelas heran. Ada apa dengannya?

"Aku hanya tahu kabar sosok yang dicari," jelas Evergreen. "Dan orang itu sudah tiada."

"Loh? Ada apa denganmu?" Gill menatapku yang sama bingungnya. "Kamu kenal tidak?"

"Tidak."

Gill jelas gemas. "Serius?!"

Evergreen tidak membalas. Jelas tingkahnya tidak masuk di akal.

"Hei, John atau Evergreen!" seru Gill. "Kamu kenal tidak?"

"Tidak."

"Lalu tahu dari mana si Khidir mati, he?!"

"Karena aku tahu."

"Tahu dari mana?" Gill mengatur napas saking geramnya.

"Mana saja."

Gill yang geram memegang bahu Evergreen. Keduanya berhenti dan saling tatap. Suasana jadi canggung selama beberapa saat. Aku bahkan menahan napas, takut kejadian malam itu terulang.

"Bisa jelaskan?" tuntut Gill. "Kamu itu lebih labil dari mayoritas remaja."

Evergreen menatapnya sinis, apalagi ketika Gill menarik kerah bajunya. "Aku John Evergreen, pria asal Ezilis Selatan."

"Dan apa hubunganmu dengan si Khidir?" tanya Gill. "Tahu dari mana kalau dia tiada?"

"Mudah saja," balasnya. "Wilayah kekuasaannya hancur lebur, sudah pasti ia terkubur bersama rakyatnya."

"Tapi, jika itu benar," kata Gill. "Tidak mungkin Zahra ke sini. Dia pasti tahu kalau ayahnya meninggal."

Evergreen tampak mencerna kalimat Gill sebelum akhirnya menjawab. "Kalau begitu, si Khidir sudah meninggal dan masalah selesai."

"Kamu enggak paham apa?!" Gill melotot. "Maksudku, kalau Zahra tahu jika Khidir meninggal, mana mungkin dia repot-repot menjelajah jauh darj Aibarab ke ..."–Gill menarik napas–"Ezilis cuma buat konfirmasi." Ia mengatur napas akibat emosi lalu melepas genggaman.

Evergreen akhirnya bisa membebaskan diri. Ia rapikan pakaian lalu berdehem. "Kalau begitu, masalah selesai." Dia dengan santai meneruskan langkah.

Gill menjerit tertahan, aku hanya bisa menarik napas pasrah. Ada apa dengan pria itu? Apa dia pelupa atau punya masalah?

Gill menatapku, langsung memegang kedua bahuku lalu meremasnya. "Jangan bilang cuma aku yang sinting di sini!"

Aku menatap Evergreen yang berjalan menjauh, seakan tidak memedulikan kami lagi. "Aku ... Bingung."

"Sama!" Gill menahan nada agar tidak terdengar dari jauh. "Atau dianya yang rada ... miring?"

Aku paham maksud "miring" itu dan tidak mau mengiakan atau membantah. Dilihat dari sikap Evergreen yang aneh ini, aku tidak mau menyimpulkan sesuatu yang mentah dan belum berdasar.

Terdengar suara Evergreen dari kejauhan. "Kalian ikut?"

Gill menggerang kesal. Dia menyusul dengan wajah masam. Aku paham betapa frustrasinya dia. Menurutku, Gill sebaiknya berpura-pura paham saja daripada menyakiti diri.

"Malam ini, aku ada menu spesial untuk kalian," ujar Evergreen. "Dibuat dengan penuh cinta tentunya."

Kami mengiakan. Yang satu lelah, satunya lagi tidak tahu harus menjawab apa, aku jelas yang kedua.

"Kenapa begitu?" herannya. "Kalian lelah? Kalian boleh menginap di rumahku sesukanya. Aku kebetulan ada banyak kejutan."

Gill memberi isyarat "kurang waras" kepadaku, merujuk pada Evergreen. Aku jelas heran. Memang bisa dimaklumi betapa frustrasinya dia, namun kalau sampai menyebut seseorang begitu, sudah keterlaluan. Namun, beberapa saat kemudian, barulah aku setuju dengan Gill.

BUM!

Gill refleks memegang bahuku. Kobaran api hitam menutupi pandangan. Kututup hidung sambil mencari jalan keluar. Beruntung Gill lekas menarikku menuju area aman, meski tetap tercium asap yang menyesakkan dada.

"Apa-apaan?!" seru Gill mewakili aku. "Mana Evergreen?"

Aku mencarinya di antara api hitam, namun nihil. Kami saling menyeru namanya dengan sia-sia selama beberapa saat.

"Evergreen!" jeritku.

Seruanku tidak dibalas.

"Gill, lakukan sesuatu!" seruku.

Gill malah menyela. "Enggak! Kamu tahu kalau api hitam lebih dingin dari yang merah?"

"Itu ... Apa?" Aku belum tahu ada api hitam waktu itu.

"Beku! Setidaknya kamu yang aman, anggap saja Evergreen bisa meloloskan diri."

Aku menghela napas. "Kamu bukan makhluk biasa, 'kan? Bantu dia!"

Gill jelas ragu. "Bagaimana denganmu?"

"Aku bisa jaga diri," balasku. "Ayo!"

"Baik, baik!" Gill mengalah. "Kamu jangan ke mana-mana!"

Gill dekati kobaran api hitam. Meski terasa dingin dari jarak sepuluh meter, dia tampak biasa saja meski jaraknya hanya sejengkal dari tubuh. Dia terobos dengan mudah seolah tiada halangan, aku tidak bisa melihatnya saking tingginya api. Tapi, aku yakin Gill akan baik-baik saja.

Seseorang mencengkeram bahuku.

"Eh?!" Aku menoleh dan tersentak.

Ia mengenakan pakaian serba hitam disertai jubah yang lumayan panjang menutupi belakangnya. Pria itu memiliki mata biru cerah yang memancarkan kematian, dingin dan misterius.

Pria itu menatapku tanpa ekspresi. "Pangeran."

Ia melemparku entah ke mana.