Chereads / Jovaca & Rivaldi / Chapter 7 - Perubahan Sikap

Chapter 7 - Perubahan Sikap

Di atas sebuah meja belajar, terdapat sebuah buku tebal matematika. Jovanca tengah membaca-baca buku tebal itu, karena dua hari lagi dirinya akan mengikuti olimpiade matematika di Jakarta. Arya selalu memperhatikan Jovanca ketika belajar, sehingga Jovanca tidak bisa melakukan hal lainnya. Untung saja gadis itu masih ingat jadwal makan obatnya.

Jam terus berputar, waktu menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Arya sudah masuk ke dalam kamarnya, sementara Jovanca masih terus fokus kepada buku tebalnya. Perut Jovanca sudah keroncongan, terakhir dirinya hanya memakan sepotong roti saja sebelum memulai belajar. Karena sudah sangat lapar, Jovanca memutuskan untuk berhenti belajar terlebih dahulu.

Gadis itu bangkit berdiri, lalu mulai berjalan menuju pintu kamarnya yang tertutup rapat. Jovanca memegang knop pintu, ternyata pintu tersebut terkunci. Jovanca tidak heran lagi, pasti yang melakukan hal itu adalah Arya. Entah apa yang harus dirinya lakukan sekarang, ingin ke ruang makan saja tidak bisa.

"Ayah! Vanca laper, bukain pintunya yah!" teriak Jovanca.

Tidak ada jawaban dari Arya, mungkin pria itu sudah tidur nyenyak di kamarnya. Jovanca mengembuskan napasnya secara kasar, jika seperti ini maka dirinya bisa drop. Otak Jovanca berputar keras, memikirkan bagaimana caranya agar dia bisa makan, walau hanya sedikit saja yang penting perutnya bisa terganjal.

Jovanca mengetuk pintu kamarnya beberapa kali. "Ayah! Bukain dong, Vanca lapar nih! Masa ayah tega sama aku sih?!" protesnya.

Tetap tidak ada jawaban dari Arya, tapi tiba-tiba saja terdengar suara ketukan dari arah luar kaca jendela kamar Jovanca. Ada rasa takut ketika Jovanca mendengar suara ketukan itu, bukan karena takut hantu melainkan takut ada maling. Karena bisa dikatakan komplek di mana tempat Jovanca tinggal, rawan terjadi kasus rumah kemalingan.

Dengan membawa sebuah besi panjang, Jovanca berjalan perlahan menuju kaca jendela kamarnya. Sebelum membuka kaca besar tersebut, dalam hati Jovanca mengucapkan doa demi doa untuk keselamatan dirinya. Setelah itu, Jovanca mulai membuka kacanya secara hati-hati, dan bersiap melayangkan besi panjang nan besar itu.

Tapi, baru saja Jovanca melayangkan besi panjang tersebut. Tangan dari seorang lelaki yang sangat Jovanca kenal berhasil menghentikan pergerakannya. Dia adalah Rivaldi, lelaki itu membawa sebungkus roti juga satu susu kotak rasa cokelat untuk kekasihnya. Ralat, untuk mantan kekasihnya.

"Heh! Jangan pukul gue dong!" tegur Rivaldi.

Jovanca menatap Rivaldi dengan kening berkerut. "K-kamu? Ngapain di sini? Balik gak?!" usirnya.

Rivaldi tidak menuruti perintah Jovanca, lelaki itu malah memasukki kamar Jovanca tanpa ijin dan langsung menaruh sebuah roti beserta susu kotak yang dibawanya di atas meja yang ada di samping kasur Jovanca. Perubahan sikap Rivaldi benar-benar Jovanca rasakan, aneh.

"Pergi ih! Nanti ayah tahu, kamu bisa babak belur lho! Balik cepetan!" usir Jovanca lagi.

Rivaldi menggelengkan kepalanya, lalu berucap, "Gak, lo makan dulu. Baru gue balik."

Jovanca mengembuskan napasnya secara kasar, aneh sekali perubahan Rivaldi ini. Karena Jovanca takut jika Arya mengetahui kehadiran Rivaldi, maka gadis itu tidak tinggal diam. Jovanca mendorong-dorong tubuh Rivaldi agar segera keluar dari kamarnya.

"Pergi, sana! Jangan datang-datang lagi ke sini! Inget kan apa kata aku tadi sore? Nah, udah gih sana balik!" ucap Jovanca.

Lalu, Jovanca hendak menutup kaca jendela kamarnya lagi. Tapi, tangan Rivaldi berhasil menahan pergerakannya. Sehingga pergerakan Jovanca terhenti.

"Eits, tunggu. Itu makanan jangan lupa di makan, kalo enggak gue jamin lo jadi jodoh gue." Kemudian, Rivaldi pergi meninggalkan tempat tinggal Jovanca.

Sementara Jovanca merasakan ada rasa yang aneh di hatinya, seperti banyak kupu-kupu yang beterbangan. Tanpa sadar, seulas senyuman terbit di wajah cantik Jovanca. Gadis itu bahagia dengan perhatian yang masih tetap diberikan mantan kekasihnya itu, walau dengan cara seperti tadi. Tidak seperti dulu, romantis.

Jovanca mengambil kantung kresek yang ada di atas meja, menatapnya dengan senyuman yang terus mengembang di wajah cantiknya. "Yeay, rejeki nomplok ini mah namanya," ucapnya bahagia.

***

Pagi-pagi sekali, Veronika terbangun dari tidurnya. Kejadian satu bulan lalu yang menimpanya, kembali terputar di otaknya. Dan hal itu berhasil menghantui kehidupannya. Veronika tidak ingin masa depannya hancur, hanya karena kejadian buruk yang terjadi saat di club waktu itu.

Peluh membasahi tubuh Veronika, napasnya terengah-engah, hari ini juga Veronika harus bisa meminta pertanggung jawaban kepada Gavin, kekasihnya. Jika lelaki itu tidak mau bertanggung jawab, maka dengan terpaksa gadis berusia dua puluh satu tahun itu melakukan rencana yang kedua.

Veronika segera beranjak dari tempat tidurnya dan mulai memasukki kamar mandi. Veronika melakukan ritual mandi paginya hanya selama lima belas menit. Setelah selesai dengan ritual paginya, gadis itu segera mencari pakaian menarik yang akan dipakainya untuk pergi ke rumah Gavin.

Siap dengan pakaiannya, Veronika langsung beranjak menuju ruang makan. Di sana ada Sarah yang sedang sarapan bubur, pagi-pagi seperti ini memang sangat nikmat menyantap sepiring bubur, menghangatkan tubuh.

Lalu, Veronika duduk tepat di samping Sarah. Tapi ekspresi wajahnya dapat Sang Ibu tebak, jikalau anak gadis semata wayangnya itu sedang mempunyai begitu banyak masalah. Tidak seperti biasanya, hal itu Sarah rasakan sudah selama satu bulan ini.

Sarah menatap Veronika lamat. "Sayang, kamu baik-baik aja 'kan?" tanyanya memastikan.

Entah kenapa, saat mendapat pertanyaan seperti itu. Rasanya Veronika sangat ingin mencurahkan semua perasaannya kepada Sarah. Veronika ingin sekali menangis dan mengadu kepada Sarah. Tapi, dia juga tidak ingin menambah beban pikiran Sang Mami. Cukup, hanya masa lalu yang berat Sarah rasakan.

"Aku gapapa kok, Mami. Ten--" Ucapan Veronika terpotong, karena gadis itu tiba-tiba saja merasakan mual yang teramat.

Cepat-cepat Veronika berlari menuju kamar mandi, untuk memuntahkan semua isi perutnya. Akan tetapi, tidak ada apapun yang dimuntahkannya. Hanya cairan bening saja, Veronika jadi semakin curiga.

Sarah memijat leher bagian belakang Veronika. "Kamu kenapa, sayang? Kamu sakit? Kita ke dokter aja, ya?" tawarnya.

"Enggak usah, Mami. Mungkin aku cuma masuk angin doang kok," tolak Veronika secara halus.

Sarah kembali menatap anak gadis semata wayangnya lamat, hal yang dialami Veronika, sama seperti hal yang dirinya alami ketika sedang mengandung Veronika. Ah, sudahlah. Sarah menggelengkan kepalanya pelan, menepis segala pikiran buruk yang menyerang otaknya.

"Ya udah, Mami buatin teh hangat ya? Terus, kamu ke kampus Mami antar, ya?" tawarnya lagi.

Veronika menggelengkan kepalanya. "Gak usah Mi, aku kuat kok. Mami tenang aja ya," tolaknya secara halus.

"Oke, tapi kalo kamu kenapa-kenapa di kampus nanti hubungin Mami, ya?" pesan Sarah dan dibalas anggukan kepala oleh Veronika.

Setelah merasa lebih enak, Veronika dan Sarah kembali memasukki ruang makan. Keduanya makan dalam hening, sama-sama larut dalam pikiran masing-masing.