Hari ini, Jovanca sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Karena setelah menjalani kemoterapi kemarin, dia hanya merasakan sedikit mual saja sehingga dokter mengijinkannya untuk segera pulang. Jovanca menunggu kedatangan Gavin di ruang rawatnya, dia menatap sekeliling dengan pandangan kosong. Sebab kemarin malam saat dia hendak menemui Arya, justru dia tidak mau ditemui.
Berkali-kali Jovanca mengembuskan napasnya secara kasar, memikirkan apa kesalahan yang sudah diperbuatnya sehingga Arya tidak mau ditemui oleh dirinya. Jujur saja Jovanca sakit hati dan sedih jika seperti ini, kemoterapi yang sudah dijalankannya kemarin sia-sia karena Arya membuatnya kembali stres. Padahal kata dokter, Jovanca tidak boleh memikirkan banyak masalah dulu.
Pintu ruang rawat Jovanca terbuka, menampilkan sosok Veronika. Kedua bola mata Jovanca terputar malas saat dia melihat sosok Veronika. Entah kenapa perasaannya selalu tidak enak jika bertemu dengan Kakak tirinya itu akhir-akhir ini. Jovanca juga merasa sikap Veronika sedikit berubah, tidak seperti yang dulu saat keduanya pertama bertemu.
"Vanca, boleh kita bicara empat mata?" ajak Veronika secara hati-hati.
Jovanca menatap Veronika penuh tanya. "Kenapa harus empat mata? Apa gak bisa kita bicara di sini?" tanyanya dengan raut wajah penuh tanya.
Tujuan Veronika baik, dia mengajak Jovanca untuk bicara empat mata karena ingin jujur sebenarnya dia hamil anak kandung siapa. Selain itu Veronika juga ingin meminta agar Jovanca tidak dekat lagi dengan Rivaldi, karena bagaimanapun sekarang Rivaldi sudah menjadi Suaminya, pasti ada rasa sakit hati ketika Veronika melihat Rivaldi bermesraan dengan wanita lain.
"Penting banget, plis. Kamu ikut aku ke cafe biasa ya?" bujuk Veronika dengan wajah memelasnya.
Jovanca menganggukkan kepalanya kemudian menjawab, "Oke, tapi aku chat Gavin dulu ya kak. Takutnya dia nyariin."
Sebelum meninggalkan ruang rawat berbau obat-obatan tersebut, Jovanca terlebih dahulu mengirimkan pesan kepada Gavin agar lelaki itu tidak khawatir kepadanya. Selama kurang lebih sepuluh menit dia menunggu balasan Gavin, setelah mendapat balasan Jovanca dan Veronika segera meninggalkan ruang berwarna putih berbau obat-obatan tersebut.
Jarak antara rumah sakit dan cafe tidak terlalu jauh, sehingga Jovanca dan Veronika memilih untuk berjalan kaki saja. Peluh mulai membasahi tubuh Jovanca, dia menghapus peluhnya menggunakan sapu tangan yang selalu dibawanya jika sedang bepergian.
Tanpa terasa, setelah berjalan kurang lebih lima belas menit akhirnya keduanya tiba di tempat tujuan yaitu cafe yang biasa mereka datangi ketika sedang bertemu. Veronika memesan dua es cincau terlebih dahulu, setelah itu dia mulai duduk di meja yang telah ditempati oleh Jovanca.
"Langsung aja, bisa? Aku mau pulang," pinta Jovanca.
Veronika menganggukkan kepalanya. "Jadi gini, aku punya satu rahasia. Sebenernya aku bukan hamil anak Rivaldi, tapi anak Gavin sepupu kamu. Nah aku minta jangan sampai ada yang tahu rahasia ini, ya?" jelasnya.
Raut wajah Jovanca sangat kelihatan sekali bahwa dia terkejut, berarti selama ini dia salah cemburu kepada Veronika. Hal yang sangat membuatnya terkejut adalah sikap Gavin yang tidak mau bertanggung jawab. Sosok lelaki yang dahulu sangat Jovanca banggakan, ternyata sudah menyakiti hati wanita.
"B-beneran? Terus tujuan kak Vero kasih tahu rahasia itu sama aku apa? Kakak gak takut kalau semisal aku gak sengaja bocorin rahasia itu?" tanya Jovanca bertubi-tubi.
Veronika terkekeh sebentar, kemudian menjawab, "Enggak kok, aku yakin kamu orang baik. Dan satu lagi, aku juga mau minta kamu jauhin Valdi, oke? Apa kamu bisa?"
Selama ini Jovanca sudah menjauhi Rivaldi, hanya saja lelaki itu yang selalu mendekatinya dan justru hal tersebut membuat kehidupan Jovanca semakin dilanda banyak masalah. Mungkin mulai detik ini, Jovanca akan berusaha untuk benar-benar tidak dekat lagi dengan lelaki super menyebalkan yang membuat hari-harinya menjadi suram karena semakin banyak masalah.
"Oke, aku bisa kok. Kakak tenang aja." Lalu, Jovanca menganggukkan kepalanya mantap.
Veronika tersenyum. "Makasih ya, kamu emang adik aku yang paling baik," pujinya.
***
Jovanca baru saja tiba di rumahnya, tidak ada suara Arya atau Sarah yang biasa menyambutnya pulang. Rumah mewah tetapi suasana sepi memang membuat hidup terasa tidak nyaman. Apa lagi Jovanca memiliki trauma dengan suasana sunyi seperti ini. Takut seperti kejadian sewaktu kecilnya terulang kembali.
Berkali-kali Jovanca mengembuskan napasnya secara kasar untuk menghilangkan rasa takut. Tapi tetap saja ketakutannya itu tidak kunjung hilang. Jovanca juga sudah memasang lagu, membaca novel, memainkan ponsel, tetap tidak ada perubahan.
Sampai akhirnya, dia memutuskan untuk memasuki kamar tidurnya saja. Jovanca mulai membaringkan tubuhnya di atas kasur dan memejamkan kedua matanya. Tapi suara ketukan dari pintu utama rumahnya mengharuskan dia untuk membukanya.
"Ih, siapa sih yang datang di siang bolong kayak gini?" gumam Jovanca.
Karena penasaran, Jovanca memutuskan untuk segera turun ke bawah dan membukakan pintu. Betapa kagetnya dia saat melihat sosok Rivaldi datang dengan membawa satu kantung kresek buah jeruk kesukaannya. Hampir saja hati Jovanca luluh dengan perhatian yang diberikan Rivaldi kepadanya.
"Mau apa? Gak ada siapa-siapa di sini," tanya Jovanca ketus.
Rivaldi menyodorkan kantung kresek yang dibawanya kepada Jovanca, lalu menjawab, "Ini buat lo, pasti lo lagi butuh buah-buahan kan supaya cepat pulih? Oh iya boleh ngomong sebentar gak? Penting."
Jovanca terdiam selama beberapa detik, menimang-nimang apakah dirinya harus mengijinkan Rivaldi masuk atau tidak. Setelah kurang lebih sepuluh detik dia bergelut dengan pikirannya, akhirnya Jovanca memutuskan untuk mengijinkan Rivaldi masuk ke rumahnya. Dengan syarat tidak boleh lama-lama.
"Oke, ayo masuk. Tapi jangan lama-lama ya," putus Jovanca.
Rivaldi tersenyum, lalu langsung masuk begitu saja dan duduk di sofa ruang tamu. Sementara Jovanca berjalan menuju dapur untuk membuatkan minuman. Tidak lama kemudian, Jovanca datang ke ruang tamu dengan membawa dua gelas air putih di tangannya.
Rivaldi melihat gelas yang ada di meja dengan tatapan penuh tanya. "Cuma air putih doang? Lo gak mau kasih gue jus atau sirup gitu?" tawarnya.
"Udah deh Val, jangan banyak penawaran. Sekarang cepetan cerita, hal penting apa yang mau kamu ceritain sama aku," komentar Jovanca.
"Oke-oke, jadi tujuan gue datang ke sini karena gue mau kasih tahu. Kalau ingatan gue perlahan-lahan udah mulai membaik. Dan gue juga udah mulai ingat kalau ternyata kita pernah punya hubungan spesial," jelas Rivaldi panjang lebar.
Kenapa di saat Rivaldi sudah mulai ingat, justru Jovanca harus menjauhi Rivaldi? Padahal, saat ini adalah saat yang ditunggu-tunggu Jovanca. Dia bisa kembali mengukir hari bahagia bersama Rivaldi seperti dulu. Sayang sekali, Jovanca sudah terlanjur berjanji kepada Veronika untuk segera menjauhi Rivaldi.
Jovanca menatap Rivaldi serius. "Terus, mau kamu apa?" tanyanya dengan kening berkerut.
"Enggak ada apa-apa sih, tadinya gue mau ajak lo balikan. Tapi gue baru ingat, kan gue udah punya istri," jawab Rivaldi, wajahnya terlihat lesu.
"Terima aja sekarang apapun status kamu, udah cuma itu doang 'kan? Makasih jeruknya, sekarang kamu boleh pulang." Secara halus, Jovanca mengusir Rivaldi.
Mau tidak mau Rivaldi harus segera pulang, karena dia sudah berjanji kepada Veronika tidak akan pergi lama-lama. Rivaldi mulai berdiri, lalu meninggalkan kediaman Jovanca dengan perasaan berat hati.
Tanpa disadari keduanya, sedari tadi ada Rachel yang tanpa sengaja mendengarkan obrolan keduanya. Niatnya, Rachel ingin bertemu dengan Jovanca. Tapi karena dia melihat ada Rivaldi, maka dia urungkan niat awalnya. Rachel mengepalkan kedua tangannya, sebuah ide jahat kembali melintas di otaknya dan akan segera dia lakukan.
"Lihat aja Vanca, aku bakal buat hubungan kamu sama Valdi semakin renggang," gumam Rachel, setelah itu dia meninggalkan kediaman Jovanca.