Kedua kaki Jovanca melangkah menuju tempat duduknya, di sana ada Rachel dan Jessica yang sedang duduk bersama. Rachel dan Jessica adalah sahabat Jovanca, ketiganya sudah bersahabat sejak duduk di bangku kelas sepuluh. Tapi sayangnya, Jessica dan Jovanca tidak mengetahui bahwa Rachel tidak tulus menjadi sahabat mereka.
"Widih, tumben kamu telat. Biasanya paling rajin," ejek Rachel.
"Iya nih, tumben. Oh iya, kata Pak Heru kamu terpilih jadi perwakilan dari kelas kita untuk ikut olimpiade matematika di Jakarta nanti," lanjut Jessica.
Rasanya seperti mimpi, padahal baru beberapa hari lalu Jovanca berdoa agar dirinya bisa membanggakan kedua orang tuanya dengan terpilih menjadi perwakilan olimpiade matematika di Jakarta. Ternyata, impian Jovanca dapat segera terkabulkan.
Cepat-cepat Jovanca duduk di samping Jessica, gadis yang memiliki wajah tak kalah cantik dari Rachel. "Beneran? Aku terpilih jadi perwakilan kelas kita, untuk ikut olimpiade matematika?" tanyanya memastikan.
"Hooh, Vanca. Beneran deh baru aja Pak Heru kasih tahu," jawab Rachel.
Seulas senyuman terbit di wajah Jovanca, waktunya untuk belajar matematika hanya tersisa tiga hari lagi saja. Dan itu, harus dirinya manfaatkan dengan baik agar bisa mendapat hasil terbaik. Jovanca yakin, pasti dirinya bisa menjaga nama baik sekolahnya dengan membawa piala ke sekolah.
Jessica menepuk pundak Jovanca. "Cie, semangat ya! Aku yakin kamu bisa!" ucapnya dengan penuh penekanan di setiap kata-katanya.
Sebagai bentuk rasa terima kasih, Jovanca memeluk Jessica. Lalu, mengeluarkan sebuah boneka kecil dari dalam tasnya. Boneka beruang berwarna cokelat kesayangannya, pemberian Sang Paman dahulu. Hanya boneka itu saja yang dapat Jovanca berikan kepada Jessica, sebagai bentuk rasa terima kasih.
"Nih, aku ada boneka. Maaf cuma ini aja ya, sebagai bentuk rasa terima kasih aku sama kamu." Kemudian, Jovanca memberikan boneka kesayangannya kepada Jessica.
Jessica menerima boneka itu dengan senang hati. "Yeay! Makasih banyak sayangku!" pekiknya.
Dari belakang, Rachel menyaksikan interaksi kedua sahabatnya dengan tatapan iri. Kalau bukan karena ingin memanfaatkan kedua sahabatnya itu, dari awal Rachel tidak ingin menjadi sahabat Jessica dan Jovanca.
Menyadari Rachel tidak turut bergabung dalam obrolannya. Jovanca memutar tubuhnya, lalu menatap Rachel yang sedang melamun tetapi dengan ekspresi wajah tidak bersahabat, seperti orang sedang kesal.
Jovanca melambaikan tangannya tepat di hadapan wajah Rachel. "Chel? Kamu gapapa?" tanyanya memastikan.
Kedua mata Rachel mengerjap beberapa kali, lalu gadis itu menjawab, "Santai, aku gapapa."
***
Bel pulang sekolah sudah berbunyi nyaring, kedengaran seantero sekolah. Jovanca keluar dari kelas sendirian, karena kedua sahabatnya sudah pulang sejak tadi. Bukan tanpa alasan kenapa Jovanca tidak pulang bersama kedua sahabatnya. Alasannya karena gadis itu pulang dijemput oleh Rivaldi.
Sembari menunggu notif pesan dari Rivaldi, Jovanca mulai berjalan secara perlahan keluar dari kelas. Beberapa detik kemudian, terdengar suara notif dari ponsel gadis itu. Cepat-cepat Jovanca membuka ponselnya dan melihat siapa pengirim pesannya. Ternyata, pesan itu dari Rivaldi.
Hari ini Jovanca merasakan bahagia yang teramat, meski sebenarnya tidak ada yang tahu banyak masalah yang sedang Jovanca alami. Baik itu masalah perceraian kedua orang tua, atau masalah perubahan sikap Rachel yang secara diam-diam Jovanca perhatikan. Orang-orang tidak tahu, bagaimana permasalahan dalam hidup Jovanca.
Sebab, dengan senyuman palsu. Jovanca menutup semua masalahnya itu.
Tanpa terasa, kini Jovanca telah tiba tepat di samping sebuah motor ninja berwarna hitam. Layaknya anak kecil yang bahagia mendapat permen, Jovanca melompat-lompat kegirangan di samping motor Rivaldi. Melihat aksi Jovanca, Rivaldi diam-diam menyunggingkan senyumannya.
"Cie, seneng banget nih aku jemput?" goda Rivaldi.
Jovanca berhenti melompat, lalu manik matanya menatap Rivaldi lamat. "Iya dong, oh iya kenapa tadi pagi kamu gak jemput aku?" tanyanya dengan kening berkerut.
Mendadak, Rivaldi merasa seperti disidang di meja hijau saja. Jantungnya berdebar beberapa kali lebih cepat, dengan sangat terpaksa dirinya harus berbohong kepada Jovanca. Kalau berkata jujur, bisa-bisa Jovanca marah besar kepadanya.
"Eum, anu. Tadi pagi aku bangunnya kesiangan," bohong Rivaldi.
"Bener 'kan? Kamu gak bohong?" Jovanca menatap Rivaldi semakin lekat, bahkan ekspresi wajahnya berubah menjadi serius.
Mendapat tatapan seperti itu dari Jovanca, Rivaldi semakin merasa takut. Bodoh sekali dirinya, tadi pagi sampai bisa melupakan rutinitasnya menjemput Jovanca, hanya karena bertemu dengan gadis lain yang penampilannya lebih cantik dari pacarnya sendiri.
Rivaldi memegang kedua pundak Jovanca. "Beneran, buat apa sih aku bohong sama kamu," jawabnya sesantai mungkin.
"Oh iya, kamu tahu gak? Aku terpilih loh jadi perwakilan dari kelas aku, buat ikut olimpiade matematika di Jakarta nanti!" jelas Jovanca dengan rasa bahagia di hatinya.
Apa saja hal yang membuat Jovanca bahagia, Rivaldi pasti akan ikut merasakan kebahagiaan itu.
"Wah, beneran? Bagus dong kalo gitu. Ya udah yuk kita pulang, udah sore nih bentar lagi juga hujan!" ajak Rivaldi dan langsung dibalas anggukan kepala oleh Jovanca.
Keduanya segera menaikki motor, dan motor tersebut langsung berpacu meninggalkan area sekolah SMA Merpati. Tanpa ada yang menyadari, ada seorang gadis yang memperhatikan Jovanca dan Rivaldi dengan tatapan iri, gadis itu memakai seragam sekolah yang sama dengan Jovanca.
Seulas senyuman licik, terukir di wajah gadis itu. "Bersenang-senang aja dahulu, kalian berdua. Kita tunggu tanggal mainnya," gumamnya.
***
Sebuah pintu berwarna kecokelatan di rumah mewah yang biasa menjadi tempat berteduh Rivaldi terbuka dengan lebar, terdapat beberapa warga sedang berkumpul di halaman rumah tersebut, membuat Rivaldi merasa bingung. Tumben sekali rumahnya didatangi banyak warga, pikiran negative mulai menyerang kepalanya. Pasti ada sesuatu tidak mengenakkan terjadi menimpa Arina.
Cepat-cepat Rivaldi menghampiri salah satu warga yang ada di situ, seorang Ibu-Ibu berambut panjang, dengan pakaian khas wanita sosialita. Rivaldi tidak begitu mengenalnya, tetapi setahu Rivaldi, wanita itu adalah teman arisan satu komplek Arina. Dari raut wajahnya, seperti ada kejadian tidak mengenakkan yang menimpa Arina.
Tangan Rivaldi menepuk pundak Ibu-Ibu yang dikenal bernama Amanda itu, merasakan ada yang menyentuh pundaknya. Amanda segera menolehkan kepalanya ke belakang, untuk melihat siapa orang yang menyentuh pundaknya itu di saat situasi sedang genting seperti ini.
"Eh? Rivaldi, untung kamu ada di mari nak. Tadi, baru saja rumah kamu kemasukan maling. Dan masih baik mama kamu tidak kenapa-kenapa," jelas Amanda langsung.
Tanpa mengucapkan kata terima kasih, Rivaldi langsung meninggalkan Amanda dan memasukki rumahnya. Di sana ada Arina yang sedang duduk di sofa rumahnya, bersama Sarah. Wajah Arina tampak pucat, sepertinya wanita itu sangat merasa trauma dengan apa yang terjadi kepadanya.
Rivaldi duduk di samping Arina, dan langsung membawanya ke dalam pelukannya. "Mamah, tenang ya Mah. Sekarang udah ada Valdi di sini," nasihatnya dengan suara lembut.
Arina membalas pelukan Rivaldi tak kalah erat, menumpahkan ketakutannya dengan berlindung pada anak lelaki semata wayangnya. Dapat Rivaldi rasakan, tubuh Arina bergetar dan tangan juga kakinya terasa cukup dingin, seperti es.