Chereads / Jovaca & Rivaldi / Chapter 21 - Beban Hidup

Chapter 21 - Beban Hidup

Di kamar, Jovanca sedang mencurahkan semua isi hatinya dengan menulis di dalam sebuah buku harian dengan sampul berwarna biru muda bermotif bunga-bunga yang baru saja dibelinya tadi siang. Tinta pulpen berwarna hitam tercoret di lembar demi lembar buku harian kecil tersebut. Hanya melalui buku itu saja, Jovanca dapat mencurahkan semua isi hatinya.

Beban hidupnya, sangat berat. Masalah satu-persatu bergantian menerpa hidupnya. Tapi Jovanca akan tetap kuat menghadapi semua masalah itu dengan selalu berserah kepada Tuhan, berdoa, dan tidak menyerah. Masih banyak orang-orang yang sayang kepadanya, terutama keluarga kecilnya. Meski tidak ada sahabat lagi, itu tidak masalah baginya.

Terdengar suara ketukan pintu beberapa kali, Jovanca cepat-cepat menutup buku hariannya dan berdiri dari posisi duduknya, lalu membuka pintu kamar. Tampaklah sosok Veronika di sana membawakan segelas air putih dan beberapa butir obat tablet yang biasa Jovanca konsumsi ketika malam hari. Veronika tersenyum kemudian masuk ke dalam kamar Jovanca.

"Kamu belum makan obat 'kan? Tadi bunda bilang sama aku, sini makan obat dulu," titah Veronika.

Jovanca mengangguk dan menghampiri Veronika. "Makasih, seharusnya kakak gak perlu repot-repot kayak gini," ucapnya dengan intonasi bicara yang berbeda dari biasa, terdengar dingin.

Siapa yang tidak sakit hati, jika melihat kekasihnya menikah dengan wanita lain yang statusnya sebagai Kakak tiri kita sendiri. Apa lagi tadi Jovanca sempat mendengarkan pembicaraan keluarganya di bawah, Veronika mengatakan bahwa dirinya saat ini sudah hamil berusia delapan minggu.

Harapan Jovanca untuk memiliki Rivaldi seutuhnya seperti dahulu kala tidak ada lagi, mungkin ini adalah jalan yang terbaik agar Jovanca bisa melepaskan dan merelakan Rivaldi bersama wanita lain. Jovanca juga sadar, hidupnya tidak akan lama lagi di dunia ini.

"Kamu kenapa? Ada masalah? Kalo ada masalah itu cerita jangan dipendam," nasihat Veronika.

Jovanca mengembuskan napasnya kasar, kemudian menjawab, "Aku gapapa kok, cuma masih belum bisa aja ikhlasin cowok yang aku sayang menikah sama cewek lain."

Jawaban dari Jovanca, membuat Veronika merasa tersindir. Mendadak perasaannya gugup tidak karuan, tapi Veronika berusaha menormalkan wajahnya agar tidak kelihatan seperti orang gugup. Veronika merasa bersalah, telah menerima perjodohan paksa ini. Seharusnya sejak awal dia tetap pada pendiriannya, yaitu meminta pertanggung jawaban Gavin.

"Maaf, Vanca. Aku gak bermaksud buat hubungan kamu sama Valdi hancur, beneran deh. Aku juga awalnya gak tahu kalau Valdi itu pacar kamu, maaf ..." lirih Veronika.

"Jangan minta maaf, ini semua bukan salah kakak. Tapi udah takdir aja, jadi jangan minta maaf lagi sama aku. Jalanin aja takdir yang udah dirancang Tuhan." Lalu, Jovanca membawa Veronika ke dalam dekapannya.

Isak tangis Veronika mulai terdengar di kedua telinga Jovanca, suasana mulai terasa begitu sedih. Jovanca membayangkan bagaimana semakin pedihnya hati dia ketika Anak Veronika dan Rivaldi telah lahir nanti. Suka tak suka, Jovanca harus bisa menerima kehadiran Anak Veronika nanti.

Veronika memeluk Jovanca erat. "Kamu hebat, bisa dengan mudahnya mengikhlaskan orang yang kamu sayang," ucapnya kagum.

"Makasih kak, emang udah seharusnya aku bisa ikhlas. Mungkin ini emang caranya supaya aku bisa kembali fokus sama pendidikan aku kayak dulu," jawabnya dengan penuh penekanan di setiap kata-katanya.

Secara perlahan, Veronika dan Jovanca saling melepas pelukan mereka. Keduanya saling bertatapan selama kurang lebih lima menit, lalu saling menghapus air mata satu sama lain. Air mata kesedihan itu, harus bisa berubah menjadi air mata kebahagiaan.

"Oh iya, kejadian di kampus waktu itu. Bakal segera aku bicarakan sama Valdi, supaya kabar tentang kamu gak semakin menyebar. Mungkin nanti Valdi bakal buat laporan sama dosen dan mau cari tahu siapa pelaku yang udah menyebarkan kabar jelek itu," jelas Veronika.

Jovanca menganggukkan kepalanya. "Iya kak, aku serahin masalah itu ke tangan kakak aja. Karena aku juga gak bisa buat apa-apa," jawabnya patuh.

"Oke, kalo gitu aku ke bawah dulu ya. Udah malem, kamu tidur ya sehat selalu." Kemudian, Veronika keluar dari kamar tidur Jovanca.

***

Tengah malam, Rivaldi terbangun dari tidurnya dengan napas terengah. Pertama kalinya dia mengalami mimpi seburuk dan sedramatis itu. Untuk menenangkan dirinya, Rivaldi memutuskan untuk keluar kamar dan mulai memasuki taman belakang rumahnya. Udara terasa begitu menusuk di kulit, dingin.

Bayangan tentang mimpinya, terus terputar di otaknya. Bahkan berkali-kali dia menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan mimpi yang terasa seperti nyata itu agar hilang dari kepalanya. Tapi tidak ada hasil, aneh sekali. Rivaldi menatap ke arah depannya lurus, pandangannya kosong.

Flashback.

Di sebuah jalanan gelap, ada seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun sedang berjalan mondar-mandir seperti mencari seseorang. Wajah wanita itu tidak asing lagi di pandangan Rivaldi, tapi dia lupa.

Rivaldi menghampiri wanita tersebut, kemudian bertanya, "Permisi, tante lagi cari siapa ya?"

Wanita tersebut menoleh dan menatap Rivaldi. "Saya lagi cari anak saya, Jovanca. Tadi dia jalan bareng sama saya, tapi kenapa gak ada ya? Saya takut terjadi sesuatu yang buruk sama dia," jelasnya dengan suara yang terdengar begitu khawatir.

Mendengar nama itu, Rivaldi mendadak tegang. Dia turut mencari sosok yang memiliki nama indah itu, tapi tidak ada tanda-tanda kehadirannya. Kedua matanya bergerak ke sana ke mari, tapi tetap tidak ada hasil. Sampai akhirnya, kedengaran suara orang berteriak histeris meneriaki nama Jovanca. Setelah itu Rivaldi terbangun dari tidur nyenyaknya.

Flashback off.

"Apa sih maksud mimpi itu?" gumam Rivaldi.

Entah sudah berapa kali Rivaldi bertanya pada dirinya sendiri, apa maksud dari mimpinya tadi. Dia merasa sedikit kesal, perempuan yang tidak dikenalnya berhasil membuat hatinya mulai bergetar jika membayangkan wajah cantiknya. Jika seperti ini, Rivaldi sudah mulai bisa percaya jika Jovanca adalah kekasihnya dulu.

Itu dulu, berbeda dengan sekarang. Kemarin Rivaldi sudah mengakhiri hubungannya dengan Jovanca. Dan itu tandanya, dia tidak perlu pusing lagi memikirkan gadis menyebalkan itu. Gadis yang sok kuat, agar bisa menjadi heroine baginya.

"Hayo, lagi apa kamu? Udah malam loh ini besok kamu kuliah, tidur gih," ucap Arina, yang tiba-tiba duduk tepat di samping Rivaldi.

Rivaldi mengusap dadanya beberapa kali, karena kaget dengan kehadiran Arina yang tiba-tiba. "Mamah, bikin kaget aja. Aku lagi tenangin pikiran aku aja, soalnya tadi mimpi buruk banget," jawabnya.

Arina menyandarkan kepala Rivaldi pada pundak kanannya. Sementara tangan kirinya dia gunakan untuk mengusap kepala anak lelaki semata wayangnya itu. Rasa kantuk mulai Rivaldi rasakan, lama-kelamaan kedua mata Rivaldi mulai tertutup rapat.

Senyuman tulus mengembang di wajah Arina, semua Ibu pasti menginginkan sesuatu yang baik terjadi pada Anaknya. Termasuk Arina, dia sangat menginginkan agar Rivaldi bisa menjadi anak yang baik dan bertanggung jawab. Arina bersyukur, semakin hari Rivaldi semakin menjadi anak yang penurut.

"Tidur yang nyenyak sayang, semoga kamu selalu bahagia," bisik Arina tepat di telinga kiri Rivaldi.