Pagi ini Jovanca terbangun dari tidurnya lebih pagi dari hari-hari seperti biasanya, sebab hari ini dia akan melaksanakan olimpiade di Kota Jakarta. Jovanca merasa hari ini lebih spesial, karena tidak hanya Arya saja yang menemaninya olimpiade. Tetapi juga Sarah dan Gavin juga ikut, Jovanca senang. Setidaknya masih ada orang-orang sekitarnya yang bisa membuat semangat.
Jovanca pergi ke tempat tujuan menggunakan mobil, selama perjalanan ke tempat tujuan hanya ada keheningan saja yang melanda mereka berempat. Arya fokus menyetir, Gavin memikirkan masalahnya dengan Veronika, sementara Sarah dan Jovanca sama-sama terlelap. Perjalanan yang mereka tempuh hanya memakan waktu kurang lebih tiga jam saja, karena jalanan tidak terlalu padat.
Sesampainya di tempat tujuan, Jovanca dipersilahkan memasuki ruang khusus peserta. Di sana banyak siswa-siswi dari sekolah lain juga, membuat Jovanca berpikir bahwa kemungkinan dirinya bisa menang itu sangat kecil. Tapi, Jovanca berusaha untuk tetap berpikiran positif, karena dia yakin bahwa sesuatu yang diawali dengan rasa optimis pasti akan berakhir baik.
Para peserta olimpiade matematika sudah dikumpulkan di sebuah lapangan yang cukup luas. Mereka diberikan beberapa lembar soal matematika untuk dikerjakan, waktu yang diberikan hanya kurang lebih sembilan puluh menit.
"Baiklah, silahkan para peserta mengerjakan soal yang sudah diberikan oleh panitia. Kerjakan dengan jujur dan tenang," perintah seorang panitia yang dikenal bernama Saka.
Dari kursi penonton, Gavin, Arya dan Sarah memperhatikan Jovanca dengan degup jantung mereka yang berdebar cukup kuat. Mereka takut jika Jovanca tidak bisa menyelesaikan soal matematika tersebut. Dalam hati Arya terus-menerus berdoa, agar Jovanca bisa membanggakan dirinya.
Arya menatap Jovanca dengan tatapan tajam dari kursinya. "Ayo Vanca! Semangat! Ayah yakin kamu bisa membawa pulang medali emas!" teriaknya.
"Sabar, mas. Jangan terlalu tekan Vanca, kasihan dia." Jemari Sarah mengusap punggung Arya dengan lembut.
Selama ini, Arya memang selalu menekankan Jovanca agar bisa mendapat nilai yang sempurna. Dia seringkali menekan Jovanca untuk selalu belajar sampai larut malam, tanpa memikirkan kesehatan anak gadis semata wayangnya itu. Benar apa kata Sarah, sebagai seorang Ayah dia tidak boleh terlalu menekan Jovanca agar mendapat nilai bagus.
Sementara Jovanca, dengan jari bergetar, gadis itu berusaha untuk tetap bisa mengerjakan soal-soal matematika yang ada tepat di depannya saat ini. Tiba-tiba saja dia merasakan tubuhnya menggigil dan kepalanya berdenyut. Berulang kali Jovanca melihat Arya yang terus mendukungnya dari kursi penonton, ingatan saat dirinya disiksa oleh Arya karena mendapat nilai rapot jelek kembali terputar di otaknya.
"Aku harus bisa, soal ini gak susah!" ucap Jovanca menyemangati dirinya sendiri.
Waktu terus berputar, tak terasa akhirnya waktu pengerjaan soal olimpiade matematika telah selesai. Para peserta mengumpulkan kembali lembar jawaban beserta soal yang telah diberi oleh panitia. Sayang sekali, Jovanca tidak dapat menyelesaikan soal-soal tersebut.
Jantung Jovanca berdebar beberapa kali lebih cepat dari biasanya. Kakinya melangkah secara perlahan menghampiri Arya, Sarah dan Gavin yang masih duduk di kursi penonton. Kepala Jovanca juga tertunduk dalam, dia sudah siap jika Arya akan memberikan beberapa omelan kepadanya.
"M-maaf yah. Aku gak bisa selesaikan soal-soal olimpiade itu ..." lirih Jovanca.
"Gapapa sayang, ayah harusnya yang minta maaf. Ayah nyesel banget selama ini udah selalu tekan kamu supaya bisa dapat nilai sempurna. Ternyata, nilai itu gak penting dibanding dengan kesehatan kamu," jawab Arya begitu lembut.
Kemudian, Arya membawa Jovanca ke dalam dekapannya. Diikuti oleh Sarah dan Gavin. Mereka berempat tampak seperti keluarga sungguhan, banyak orang yang menatap mereka berempat dengan tatapan iri, ada juga yang menatap mereka dengan tatapan kagum.
Perlahan, Arya, Sarah dan Gavin melepas pelukan mereka. Jovanca bersyukur Sarah hadir ke dalam hidupnya dan bisa membuat Arya berubah. Jovanca berjanji, akan memperlakukan Sarah seperti Ibunya sendiri.
"Aih, makasih bunda udah masuk ke dalam hidup aku! Karena hadirnya bunda, sifat kasar ayah bisa hilang!" Lalu, Jovanca memeluk tubuh Sarah erat, dibalas pelukan tak kalah erat oleh Sarah.
"Maafin ayah sayang, selama ini ayah udah bersikap kasar sama kamu" batin Arya.
***
Jam menunjukkan pukul tiga sore, Arya tidak langsung membawa Sarah, Jovanca dan Gavin untuk pulang. Dia memilih untuk membawa ketiga orang yang disayanginya itu ke sebuah rumah makan terlebih dahulu. Rumah makan yang dulu selalu dirinya kunjungi bersama Caesa, dan Jovanca.
Di sebuah meja bulat, Arya, Sarah, Jovanca dan Gavin menunggu kedatangan makanan dan minuman yang telah mereka pesan. Hari ini rasanya cukup penat, apalagi yang dirasakan Jovanca. Mungkin untuk esok hari dia akan ijin tidak masuk sekolah terlebih dahulu, karena tubuhnya terasa pegal-pegal.
Namun, rasa pegal itu tidak sebanding dengan rasa bahagia yang dia rasakan saat ini. Lihatlah, Jovanca terlihat begitu dekat dengan Sarah, sampai-sampai duduk pun harus di dekat wanita yang berusia sekitar empat puluh tahun tersebut. Arya bersyukur dengan kehadiran Sarah.
Tidak lama kemudian, datanglah pesanan yang mereka pesan tadi. Menu yang mereka pesan sama, yaitu nasi goreng beserta minumannya teh manis hangat. Mereka berempat menyantap makanan tersebut dalam hening. Tapi keheningan itu harus pecah, saat Gavin tiba-tiba saja terbatuk.
"Eh? Gavin, kamu gapapa? Nih minum dulu." Jovanca memberikan segelas teh manis hangat kepada Gavin.
Gavin menerima teh manis itu, kemudian meneguknya. Setelah itu dia menjawab, "A-aku gapapa kok, cuma kaget aja lihat foto di ponsel aku, hehe."
Wajar jika Gavin sangat kaget melihat foto yang ada di ponselnya, karena dia melihat Veronika bersama lelaki lain tengah berfoto dengan menggunakan kebaya dan tuxedo, seperti orang yang akan menikah. Dan lebih parahnya lagi, lelaki yang akan menikah bersama Veronika adalah kekasih dari sepupunya sendiri.
Gavin berjanji, akan menyimpan rahasia ini rapat-rapat. Tak terbayang jika Jovanca tahu bahwa kekasihnya menikah dengan perempuan lain, bisa-bisa Jovanca drop, dan penyakitnya semakin sulit untuk disembuhkan.
"Makanya nak, jangan makan sambil main HP. Itu kan akibatnya kamu hampir tersedak," nasihat Sarah.
"Hehe, iya tante maaf." Setelah itu, Gavin menaruh ponselnya dan melanjutkan aktivitas makannya dalam diam.
Kurang lebih dua puluh menit waktu yang dibutuhkan agar makanan bisa ludes habis. Setelah selesai makan, Arya, Sarah, Gavin dan Jovanca memilih untuk berbincang-bincang lebih dulu. Merasa hangat dalam perbincangan itu, Jovanca jadi tidak sabar ingin melihat Arya dan Sarah menikah. Agar Sarah juga bisa cepat-cepat berada dalam satu rumah yang sama dengan dirinya.
"Oh iya, Vin. Tadi kamu lihat foto apa sih memang? Kok sampai kaget gitu?" Jovanca menatap Gavin penuh tanya.
Gavin menggelengkan kepalanya cepat. "I-itu apa namanya, foto temen aku mau menikah. Aneh aja gitu dia udah mau menikah lagi, padahal kan masih muda banget," bohongnya.
Meski sudah mendapat jawaban dari Gavin, anehnya Jovanca tetap merasa curiga kepada sepupunya itu. Dari cara menjawabnya sudah sangat kelihatan sekali bahwa Gavin sedang berbohong kepada dirinya. Tapi, Jovanca tidak ingin ambil pusing. Siapa tahu saja memang Gavin tidak siap mengatakan hal yang jujur.