Sudah hampir setengah jam Veronika menunggu angkutan umum yang lewat, tapi tidak ada sama sekali. Padahal, jam sudah menunjukkan pukul enam sore, itu tandanya Veronika harus cepat-cepat sampai rumah. Entah kenapa, hari ini Veronika begitu merasa bahagia setelah melakukan pencobaan baju pengantin. Apa mungkin ini yang dinamakan bahwa cinta tidak ada yang tahu?
Hari sudah semakin gelap, tapi tidak ada satupun angkutan umum yang lewat. Veronika merasa menyesal tidak menerima ajakan Rivaldi untuk pulang bersama tadi. Bulan sudah mulai menampakkan dirinya, itu tandanya sebentar lagi hari akan malam. Veronika mulai merasa panik, karena ada dua orang pria yang secara tiba-tiba berdiri di dekatnya.
Dalam hati Veronika terus merapalkan doa agar kedua pria itu tidak melakukan hal apapun kepada dirinya. Veronika mengeluarkan ponselnya dari dalam tas, lalu mulai menghubungi nomor Gavin. Tapi sayangnya Gavin tidak mengangkat telepon itu. Veronika semakin merasa panik, kini dirinya memilih untuk menghubungi Rivaldi, tapi sama hasilnya, nihil.
Tidak ingin berlama-lama lagi di tempatnya berdiri saat ini, Veronika hendak berlari. Tapi salah satu dari dua orang pria itu menahan lengannya. Sehingga membuat tubuh Veronika berbalik. Suasana jalanan sangat sepi, mungkin karena sekarang sedang waktunya sholat maghrib.
"Lepasin gue! Awas, kalau kalian lakuin hal aneh! Gue teriak ya, supaya banyak orang yang pukulin kalian!" ancam Veronika, tapi tak digubris oleh kedua orang pria berusia sekitar tiga puluh tahun itu.
Salah satu pria bertubuh gemuk dengan santainya tertawa. "Ahaha, silahkan teriak. Gak akan ada orang yang bisa tolongin kamu cantik, sekarang lebih baik kamu ikut kita," jawabnya santai.
Sebuah ide melintas di otak Veronika, gadis berusia dua puluh satu tahun itu memberontak, kemudian memukul tempurung lutut kedua pria jahat tersebut. Setelah itu Veronika berlari secepat mungkin, berharap ada orang yang bisa menolongnya, atau kendaraan yang mau berhenti untuknya.
Baru saja sebentar berlari, Veronika merasakan perutnya sakit. Tapi, gadis itu tetap melanjutkan aktivitas berlarinya. Setelah berlari terus-menerus, sampailah Veronika di sebuah tempat yang sudah cukup aman. Kedua pria itu kehilangan jejak Veronika, rasa sakit di perut semakin dia rasakan.
Kebetulan sekali, untung saja ada sebuah trotoar. Veronika memilih untuk duduk di sana terlebih dahulu, memegangi perutnya agar tidak terasa sakit lagi. Dirinya baru teringat, bahwa di dalam perutnya saat ini ada kehidupan lain.
"Akh! Perut gue sakit banget, tolong!" teriak Veronika sekencang mungkin.
Tidak ada orang yang mendengar teriakan Veronika, padahal saat ini dia sangat membutuhkan pertolongan. Veronika tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi kepada kandungannya. Dalam hati Veronika terus berdoa, hanya berdoa saja yang dapat dirinya lakukan. Sebab ponselnya saat ini mati karena habis baterai.
Veronika mengusap perutnya. "Sakit banget perut gue, akh! Tolong! Siapapun tolong gue!" teriaknya lagi.
Sakit di perut Veronika terasa semakin menjadi-jadi, bahkan kini dapat dia rasakan sebuah cairan kental mengalir melalui celah-celah kedua pahanya. Veronika menundukkan kepalanya, untuk melihat apakah dirinya pendarahan atau tidak. Kedua bola mata Veronika seketika membelalak, saat melihat cairan kental berwarna merah benar-benar mengalir di kedua kakinya.
"Ya ampun, gue pendarahan. Tolong! Gue mohon tolong gue, argh! Sakit banget perut gue!" teriak Veronika lagi.
Pandangan Veronika mulai mengabur, kurang lebih lima menit setelah itu, berhenti sebuah mobil tepat di depannya. Dia adalah Rivaldi, lelaki itu keluar dengan tergesa dan kaget melihat kondisi Veronika yang seperti ini, pendarahan.
"Astaga, kok dia bisa kayak gini?" gumam Rivaldi.
Karena tidak ingin ada orang yang menyaksikan hal ini. Rivaldi segera menghampiri Veronika lalu membawanya memasuki mobil untuk menuju ke rumah sakit. Di dalam kepala Rivaldi hanya ada satu pertanyaan saat ini, Veronika mengandung anak siapa? Dia harus segera meminta penjelasan Veronika. Agar tidak terjadi salah paham.
***
Sudah selama kurang lebih lima belas menit Rivaldi menunggu di depan ruang UGD. Dokter tak kunjung keluar dari ruangan berbau obat-obatan tersebut, membuat rasa panik mulai menguasai dirinya. Dia takut jika orang tua Veronika akan meminta tanggung jawab kepada dirinya, jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan kepada Veronika.
Doa demi doa terus Rivaldi panjatkan, tak lama kemudian terdengarlah suara pintu ruang UGD terbuka, menampilkan seorang dokter wanita yang keluar dari ruangan dengan menggunakan jas dokter kebanggaannya, serta wajah yang melukiskan sebuah senyuman kebahagiaan.
Rivaldi segera bangkit dari posisi duduknya, lalu menghampiri dokter berjenis kelamin wanita yang menggunakan name tag dengan nama Alika. Dokter tersebut merasa tenang ketika pasien yang baru saja diperiksanya sudah sadar. Percayalah, kebahagiaan seorang dokter adalah ketika berhasil membuat seorang pasien sembuh.
"Dok, gimana kondisi teman saya? Dia gapapa 'kan?" tanya Rivaldi cepat.
Dokter Alika menganggukkan kepalanya pelan. "Tenang aja mas, temannya gapapa kok. Untung mas tepat waktu bawa temannya ke mari, sehingga bisa segera saya tangani," jelasnya.
Embusan napas lega keluar dengan mulus dari hidung Rivaldi, untung saja tidak terjadi sesuatu yang serius kepada Veronika. Sekarang, dia harus segera menemui Veronika dan meminta penjelasan kepada gadis itu. Agar tidak terjadi salah paham, semoga saja dugaan Rivaldi salah.
"Kalo gitu, saya boleh masuk kan dok?" tanya Rivaldi lagi, tak sabaran.
Dokter Alika kembali mengangguk. "Silahkan, setelah itu silahkan segera urus administrasi ya. Terima kasih," titah dokter Alika secara halus. Kemudian, dokter Alika kembali pergi menuju ruangannya.
Kedua kaki Rivaldi memasuki ruang UGD semakin dalam, kemudian duduk di kursi yang ada di samping brankar, tempat Veronika sedang terbaring saat ini. Kelihatannya gadis itu gugup melihat kehadiran Rivaldi. Rahasia besarnya harus tetap terjaga, agar Sarah tidak tahu hal yang sebenarnya.
Rivaldi menatap Veronika sebentar, kemudian bertanya, "Jujur sama gue sekarang juga, lo hamil anak siapa? Gue gak mau ya kalau gue dituduh berbuat macem-macem sama lo."
"Oke, gue akan jujur sama lo. Asalkan lo bisa jaga rahasia ini, gimana?" Salah satu alis Veronika terangkat.
Tidak ingin membuat masalah semakin rumit, Rivaldi segera menganggukkan kepalanya saja. Jika Veronika memintanya untuk menjaga rahasia, sepertinya hal ini bisa Rivaldi manfaatkan. Keduanya bisa saling membuat perjanjian antara satu sama lain.
"Oke, kalo gitu kita saling buat perjanjian aja gimana?" usul Rivaldi dan dibalas anggukkan kepala oleh Veronika.
Veronika menatap Rivaldi intens. "Jadi gini, sebenernya gue hamil anak Gavin. Lo pasti tahu kan Gavin? Cowok brengsek itu. Nah, gue minta lo jaga rapat-rapat rahasia ini jangan sampai mami gue tahu, oke?" pintanya.
"Oke, tapi lo juga harus bisa jaga rahasia gue. Karena gue masih menjalin hubungan sama pacar gue, oke?" Rivaldi membalas tatapan Veronika tak kalah intens, kemudian Veronika menganggukkan kepalanya sebagai tanda persetujuan.