"tuan sarapannya sudah siap" suara bi Minah memanggil ku sambil mengetuk pintu.
Aku tak menjawab apa-apa dan langsung menuju ruang makan.
Aku meneguk kopi yang sudah di siapkan bi Minah dan memakan sepotong roti. Aku tersenyum kepada bi Minah karena kopi buatannya tak pernah gagal dan selalu enak. Bi Minah membalas senyum sambil meneguk secangkir the jasmine kesukaannya.
Dirumah ini aku selalu ditemani bi Minah dan suaminya pak Yuma. Bi Minah yang mengurusi segala keperluan ku hingga mengurusi rumah ini, bukan sebagai asisten rumah tangga lebih tepatnya nyonya rumah ini. Sedangkan pak Yuma yang mengurusi tanaman-tanaman yang ada dirumah ini, seringkali aku menyuruhnya untuk istirahat saja karena tubuhnya sudah rentan tetapi beliau mengatakan bahwa tulang-tulangnya masih kuat. Bahkan aku sudah tidak bisa memarahinya sekarang, karena setiap aku pergi bekerja dia pasti akan mencuri-curi waktu bermain dengan tanaman kesayangannya. Mereka berdua sudah seperti orang tua ku sendiri, pernah sekali aku mengatakan kepada bi Minah untuk tidak memanggil ku tuan tetapi bi Minah bersikeras mengatakan dia sudah terbiasa dengan panggilan itu dan apabila tiba-tiba di ubah akan terdengar sangat janggal. Ya mau bagaimana lagi mereka berdua sudah mengurusi ku sejak kecil ditambah mereka rela pindah mengikuti ku hanya demi menemani ku dirumah ini. Aku selalu merasa mereka lebih menyayangi ku daripada orang tua ku sendiri.
Selesai sarapan aku langsung pergi menuju kampus karena hari ini aku ada jadwal mengajar pagi.
"yo.. pagi" Louis seperti biasanya menyapa ku dengan semangat.
Aku hanya membalasnya dengan senyum kecut.
"jadwal mu di kelas mana hari ini?" tanya Louis sambil merapikan jasnya.
"kelas bisnis pagi" aku menjawab dengan singkat.
"ahh ayolah ini masih pagi dan kau sudah menebarkan aura-aura kegelapan di sekitar sini" seperti biasanya tawa jahilnya membuat telinga ku panas.
Aku tak menghiraukan perkatannya dan berjalan semakin cepat meninggalkan Louis di belakang. Lalu tiba-tiba mata ku menangkap sosok mu yang sedang berjalan.
Tanpa aba-aba langkah ku terhenti begitu saja. Dan tanpa sadar mata ku terus mengikuti langkah mu, sampai akhirnya dirimu menghilang dibalik pintu. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada ku rasanya setiap kali diriku menangkap keberadaan mu tubuh ku seperti di tarik menuju kearah mu.
"kau suka padanya Ryu?" suara Louis memecah lamunan ku.
Aku hanya menatapnya dan mencoba menebak apa maksud dari pertanyaannya.
Lalu tiba-tiba dengan secepat kilat Louis menjentik dahi ku.
"aaa!!!!" aku sontak meronta kesakitan.
"Sunny. Kau suka padanya?"
"apa maksud mu?!"
"ayolah Ryu aku sudah mengenal mu sangat lama. Aku tahu betul saat dirimu menyukai seseorang"
"sok tahu!" ucap ku kesal karena jujur saja jentikan Louis sangat sakit.
"haaa… seperti biasanya kau tidak pernah mau jujur bahkan pada dirimu sendiri" Louis menghela napas panjang dan langsung pergi meninggalkan ku.
"apakah benar aku menyukai gadis itu?" tanyaku dalam hati.
"ahh tidak mungkin semua ini hanya karangan Louis saja".
Aku bergegas menuju ke kelas untuk mengajar.
Tapi entah mengapa perkataan Louis masih terngiang-ngiang di kepala ku.
"haaa…." Aku menghempaskan tubuh ku diatas kasur.
Apa yang Louis ucapkan pagi tadi berhasil membuat ku tidak fokus seharian. Aku bahkan sampai salah masuk kelas dan tak hanya itu berkali-kali aku melamun saat mengajar. Pertanyaan Louis sungguh mengganggu pikiran ku.
"ahh sialan" ucap ku kesal.
Masih terus berkutat dengan kekesalan ku. Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar ku di ketuk dengan pelan.
"tuan makan malam sudah siap" suara bi Minah memanggil ku dengan lembut.
"baik bi".
Aku pun segera beranjak dari tempat tidur dan segera mandi. Berharap setelah mandi pikiran ku akan kembali tenang.
"wahh masakannya banyak banget. Ada hari spesial ya bi?" tanya ku pada bi Minah.
Bi Minah hanya tertawa melihat tingkah laku ku yang terkadang seperti anak kecil saat melihat makanan lezat.
"tidak ada hari spesial, hanya saja tadi bibi lihat tuan pulang dengan wajah lesu jadi bibi putuskan untuk membuat makanan kesukaan tuan" bi Minah sambil tersenyum.
Bi Minah selalu bisa membaca suasana hati ku tanpa aku harus memberitahunya dulu. Dia sudah seperti seorang Ibu bagi ku.
Mendengar perkataan barusan aku langsung memeluk bi Minah. Rasanya begitu hangat dan menenangkan.
"kamu sudah besar jangan bermanja-manja terus seperti anak kecil" ucap pak Yuma sambil tersenyum jahil.
"biarin. Bilang saja paman iri" aku bertingkah seperti anak kecil yang tak ingin jauh dari ibunya.
Mendengar ucapan ku barusan pak Yuma tertawa riang, mendengar tawa pak Yuma yang begitu renyah aku dan bi Minah pun ikut tertawa.
"sudah-sudah ayo kita makan" ucap bi Minah.
Kami bertiga pun makan dengan begitu lahapnya karena masakan yang dibuat bi Minah selalu saja enak.
Selesai makan aku membantu bi Minah membereskan sisa-sisa piring yang ada di atas meja.
"sudah kamu tak perlu ikut beres-beres, temani paman mu mengobrol di teras sana"
Bi Minah seperti tahu bahwa ada hal yang masih menganggu pikiran ku. Aku pun tak bisa menolak dan menuruti perkataan bi Minah.
"bibi sudah buatkan teh melati kesukaan kalian berdua, bawalah ke teras juga" ucap bi Minah sambil tangannya sibuk merapikan meja makan.
Aku tak menjawab apa-apa dan langsung membawa teh itu ke teras.
Pak Yuma sepertinya sadar akan kedatangan ku. Dia langsung menoleh kebelakang dan tersenyum kepada ku.
Aku menuangkan teh melati kedalam gelas kami berdua. Setelah itu kami bersama-sama meneguk teh melati buatan bi Minah. Tak perlu diragukan lagi apapun yang di buat bi Minah akan selalu enak termasuk teh ini.
"kau tau Ryu aku dan bibi mu jatuh cintah pada pandangan pertama" suara pak Yuma memecah keheningan kami berdua.
Aku tak menjawab apa-apa dan hanya menoleh kearahnya. Aku melihat pak Yuma memeluk cangkir tehnya.
"bibi mu adalah sosok gadis yang sangat periang dan juga penyayang. Saat kau berada didekatnya rasanya begitu hangat, setiap senyum yang terukir di wajahnya bagaikan matahari begitu cerah dan juga bersinar. Aku jatuh cinta karena melihat bibi mu tersenyum waktu itu. memang terdengar konyol tapi kau tak akan pernah tau kapan cinta itu datang" terlukis sebuah senyuman tipis di wajah pak Yuma.
Aku bisa mengerti apa yang di katakan pak Yuma. Bi Minah memang sosok yang begitu penyayang bahkan tak ada sehari pun dia tidak tersenyum. Dia bagaikan matahari di rumah ini yang selalu menghidupkan suasana rumah ini.
"tapi kenapa paman menceritakan ini pada ku"
Pak Yuma meletakan cangkir teh yang sejak tadi berada di pelukan tangannya. Lalu dia menatapku lekat-lekat.
"tidak ada hal selain wanita yang bisa membuat raut wajah seorang pria menjadi kusut begini" ucap pak Yuma sambil tersenyum.
Aku hanya bisa terdiam. Aku tak berani mengatakan apa pun karena aku sendiri masih bingung dengan perasaan ku.
"kau tak perlu terlalu memikirkannya Ryu apabila itu cinta maka perasaan mu akan mengatakannya dan jika bukan maka kau akan melupakannya. Jika kau terus menerus mencari pembenaran dalam otak mu maka sampai kapan pun kau tidak akan pernah menemukannya. Cinta itu masalah hati jadi tanyakan pada hati mu" pak Yuma kembali menatap ku.
Aku hanya mengangguk pelan. Pak Yuma menepuk pelan bahu ku.
"ikuti kata hati mu Ryu dan jujurlah pada dirimu sendiri maka kau akan dapat jawabannya"
"baiklah sudah malam ayo masuk" ajak pak Yuma.
"paman duluan saja aku masih ingin di sini" jawab ku pada pak Yuma.
Pak Yuma hanya tersenyum dan masuk berjalan masuk kedalam rumah.
Jujur saja aku sama sekali tidak mengerti apa yang di maksud oleh pak Yuma. Tapi setidaknya apa yang di katakan pak Yuma sedikit menenangkan ku.