Gelap. Aku dimana?. Kenapa aku tidak bisa melihat apa-apa?. Kenapa ruangan ini gelap sekali?.
Aku tidak bisa bergerak. Bahkan aku tidak bisa melihat tangan ku sendiri.
Jantung ku mulai berdetak kencang, napas ku pun mulai tidak teratur. Aku takut. Tangis ku pecah seketika.
"Siapa pun. Aku mohon tolong … aku takut." Aku bahkan tak bisa berbicara dengan benar. Suara ku bergetar hebat.
"Siapa pun … tolong jawab aku."
Seberapa banyak pun aku memohon tidak ada yang menjawab.
Tanpa sadar telinga ku menangkap suara sayup-sayup seperti sedang memanggil nama ku.
"Sunny …."
"Sunny …."
"Sunny apa kau mendengar ku."
Aku menoleh kesana kemari tetapi aku tetap tidak bisa melihat apa pun.
"Sunny … bangunlah."
"Kau sudah terlalu lama tidur. Tante akan memarahi mu lagi jika kau tidak bangun sekarang."
"Ayo Sunny! Bangun. Jika tidak aku akan pergi sendiri ketaman."
Suara itu. Apakah itu suara Ryu?.
"Ryu! Apa itu kau?!."
"Ayo Sunny! Bangunlah."
"Ryu kau dimana?."
Aku yakin sekali itu adalah suara Ryu. Tapi dia sama sekali tidak menjawab pertanyaan ku. Dia terus menerus menyuruh ku untuk bangun.
Dan semakin lama suara itu semakin terdengar jauh. Dan aku terus menerus memanggil namanya.
"Ryu …."
"Ryu …."
"Ya … aku disini." Suara ini terdengar begitu manis namun juga terkesan sangat dalam.
Suara siapa ini?, sangat jauh berbeda dari suara yang ku dengar barusan.
Dengan sekuat tenaga aku mencoba membuka mata ku. Pandangan ku sedikit kabur, aku mencoba untuk mengedipkan mata ku beberapa kali. Setelah pandangan ku jernih, aku sadar bahwa sekarang aku sedang tidak di kamar ku dan ini pun bukan rumah sakit.
"Kamar siapa ini?." Tanya ku dalam hati.
Perlahan aku menoleh kesamping. Aku mendapati Ryu sedang menggenggam tangan ku erat.
Tangan Ryu terasa begitu hangat.
"Apa kau sudah merasa baikan?." Ryu menyingkirkan rambut-rambut kecil dari atas dahi ku. Setiap sentuhannya terasa begitu lembut.
Aku masih belum sanggup untuk membuka mulut ku, alhasil aku hanya mengangguk pelan.
"Apa kau ingin makan sesuatu?." Ryu kembali bertanya kepada ku, kali ini jari jemarinya berjalan lembut diatas pipi ku.
Aku menggeleng pelan. Aku bahkan tidak merasa lapar sama sekali. Bahkan sekarang tubuh ku mati rasa.
"Kau harus minum obat sekarang." Suara yang tadinya terdengar lembut dan hangat, berubah menjadi penuh kekhawatiran.
"Aku akan ambilkan bubur untuk mu, setelah itu kau harus minum obat." Ryu lalu beranjak berdiri untuk mengambilkan aku obat.
Tapi entah mengapa perasaan ku menjadi tidak tenang. Saat melihat Ryu berdiri, seolah-olah dia akan meninggalkan ku lagi.
Aku pun tak tahu tenaga ini berasal dari mana dan dengan secepat kilat aku mengambil tangan Ryu. Ryu menatap ku penuh kekhawatiran, karena aku tiba-tiba menahannya untuk pergi.
"Tenang saja … aku akan kembali setelah ini, okay?." Suara Ryu kembali menjadi hangat, tangan besarnya mengusap pelan kepala ku.
Namun aku tetap saja tidak tenang. Aku takut dia akan menghindari ku lagi kali ini. Aku takut dia tidak akan kembali.
Aku menggeleng keras kepadanya. Genggaman ku pun semakin kuat dan erat. Aku tak akan membiarkannya pergi lagi kali ini.
"Baiklah aku akan tetap disini." Ryu kembali duduk di samping ku.
Sebagai gantinya aku harus merepotkan Bi Minah. Ryu mengambil Handphonenya dan segera menghubungi Bi Minah untuk membawakan obat dan makanan untuk ku.
***
Aku masih menggenggam tangan Ryu. Aku tak memiliki banyak keberanian untuk melepaskan tangannya. Bahkan hampir tidak ada.
Sejak tadi kami hanya saling menatap satu sama lain. Sesekali aku mengalihkan pandangan ku, karena aku sangat malu jika terlalu lama menatap wajah Ryu. Tetapi Ryu tidak demikian, bahkan sedetik pun dia tidak mengalihkan pandangannya dari wajah ku.
Aku sama sekali tidak bisa mengartikan tatapan matanya. Aku tidak bisa menangkap apa yang tersirat dari bola matanya yang hitam. Tapi untuk pertama kalinya aku melihat Ryu seperti ini. Tatapan ini jauh berbeda saat dia melihat Hana waktu itu, saat aku dengan sengaja menepis sapu tangan yang diberikan Hana.
"Apakah dia sangat mengkhawatirkan ku? atau jangan-jangan dia marah kepada ku?." Aku sama sekali tidak bisa mengartikannya sama sekali. Lama-kelamaan tatapan itu semakin membuat ku takut.
Perlahan aku mencoba untuk melepaskan genggaman ku. Namun saat aku perlahan mencoba untuk melepaskannya Ryu kembali mengambil tangan ku. Lalu perlahan tangannya yang lain membungkus pipi ku dengan lembut. Namun dia masih saja diam sejak tadi, tak ada satu patah kata pun keluar dari mulutnya dia hanya terus menatap ku.
Di tengah kebisuan kami berdua. Bi Minah pun akhirnya datang membawakan makanan dan obat untuk ku, kali ini disertai dengan langkah Pak Yuma di belakangnya.
"Apa kau sudah merasa baikan Sunny?." Bi Minah duduk di sisi ranjang yang lain, sambil meletakan nampan berisi semangkuk bubur putih, air minum dan beberapa jenis obat.
Aku tersenyum kecil lalu mengangguk, tenaga ku masih belum pulih sepenuhnya.
Larut Bi Minah menatap ku dan langsung memeluk tubuh ku yang beberapa menit yang lalu dengan ajaib bisa bangun dengan sendirinya saat mengambil tangan Ryu.
Di tengah pelukan hangat itu aku merasakan Bi Minah sedang menangis dan benar saja saat dia melepaskan pelukannya beberapa tetes air mata membasahi pipinya.
"Syukurlah kau baik-baik saja Sunny, jantung ku rasanya hampir lepas saat melihat tubuh mu terbaring lemas di pelukan Ryu." Bi Minah mencoba untuk menahan tangisnya.
Aku mencermati ulang perkataan Bi Minah barusan. 'Pelukan Ryu' apa itu artinya Ryu menangkap tubuh ku saat aku akan jatuh kelantai. Wajar saja saat ku ingat terakhir kali tubuh ku tidak menghantam benda keras apa pun.
"Sekarang kau harus makan, setelah itu kau harus minum obat." Tangan Bi Minah dengan cekatan mengambil mangkuk bubur dan menyuapi ku.
Hambar. Bubur putih ini terasa sangat hambar, bahkan seperti tidak di beri penyedap sedikit pun. Bahkan setelah suapan ke empat aku merasakan akan memuntahkannya kembali. Benar saja saat suapan ke lima mulut ku sudah terkunci rapat, aku sudah tidak sanggup memakannya.
"Sesuap lagi." Bi Minah tetap memaksa ku membuka mulut.
Aku terus menggeleng dan bahkan kali ini aku semakin rapat mengunci kedua mulut ku.
"Ayo Sunny … sesuap lagi." Bi Minah bersikeras menyuruh ku untuk memakannya.
"Sudahlah … jangan terus memaksanya." Kali ini Pak Yuma menyelamatkan ku dari bubur mematikan itu.
Bi Minah pun akhirnya menyerah dan meletakan kembali mangkuk bubur itu diatas nampan.
Namun penderitaan ini tak cukup sampai disitu, pertunjukan utamanya baru akan di mulai. Saat aku melihat Bi Minah dengan cepat mengeluarkan obat-obat itu dari kemasannya jantung ku berdegup dengan cepat. Aku menoleh kearah Ryu, namun sepertinya dia tidak mengerti maksud ku.
Setelah selesai mengeluarkan obat itu dari kemasannya, Bi Minah langsung menyodorkan obat itu ke tangan ku. Aku sama sekali tidak bisa berkutik, yang ku lakukan hanya menatap obat-obat itu.
"Ayo di minum." Seru Bi Minah.
Aku menoleh kearahnya dan menggeleng pelan.
Bi Minah menghela napas panjang, seakan-akan dia masih kesal karena aku tidak menghabiskan buburnya. "Cepat diminum Sunny."
Aku berusaha mengumpulkan segenap kekuatan ku untuk memasukan obat itu kedalam mulut ku.
Penderitaan yang ku kira akan sangat menyakitkan, ternyata berubah menjadi sebuah kebahagiaan yang aku bahkan tidak pernah memikirkannya.
"Buka mulut mu, aku akan memasukan obat ini satu persatu kedalam mulut mu." Ryu mengambil semua obat yang ada diatas tangan ku.
Aku hanya bisa menatapnya dengan penuh ketidak percayaan. Tapi dilain sisi aku begitu bahagia, karena kali ini ada Ryu yang memasukan obat kedalam mulut ku. Aku bahkan lupa entah sudah berapa lama sejak terakhir kali ada orang yang memasukkan obat kedalam mulut ku.
Dengan sekejap semua obat itu pun habis. Bi Minah dengan lega tersenyum kepada ku.
***
"Aku akan mengganti pakaian Sunny, kau dan Ryu turunlah sudah waktunya makan malam." Bi Minah meminta Pak Yuma dan Ryu untuk segera turun.
"Semoga cepat sembuh Sunny." Ucap Pak Yuma sambil tersenyum sembari berjalan untuk turun kebawah.
Ryu mengikutinya dari belakang.
Dan aku pun baru sadar ternyata sejak tadi baju ku sama sekali belum di ganti. Bahkan semua nodanya masih sama seperti tadi.
Kali ini Bi Minah memberikan ku sebuah pajama putih dengan renda berwarna senada yang terjahit rapi diatas kerah pajama ini.
Selama membersihkan tubuh ku Bi Minah tidak banyak bicara. Hanya sesekali menanyakan apakah tubuh ku masih terasa sangat sakit atau tidak. Namun ditengah kebisuan Bi Minah aku tahu dia sangat mencemaskan diri ku.
Perlakukan Bi Minah bahkan lebih hangat daripada Ibu ku.
"Bi?." Panggil ku lirih.
"Mmm …." Bi Minah dengan manis menjawab panggilan ku dengan tangan yang masih sibuk menyisir rambut ku.
"Bukan apa-apa."
"Katakan Sunny."
"Terima kasih sudah merawat ku." ucap ku malu-malu.
Lalu Bi Minah tertawa kecil setelah mendengar perkataan ku. Bi Minah pun kembali melanjutkan menyisir rambut ku.
"Sekarang kau istirahatlah. Jika kau butuh sesuatu Ryu akan membantu mu. Aku ada dibawah jadi panggilah jika kau perlu sesuatu." Setelah memastikan semuanya baik-baik saja Bi Minah lalu mengecup kening ku dan beranjak keluar.
Dan tak lama setelah Bi Minah keluar Ryu lalu masuk kedalam.
Kali ini pun dia hanya terus menatap ku dan membisu.
Aku sudah tidak tahan dengan Ryu yang terus membisu sejak tadi.
"Apa kau marah pada ku?." aku dengan ragu bertanya kepada Ryu.
Tatapannya perlahan melembut dan kini dia menarik tangan ku lalu diletakannya tepat diatas wajahnya.
Aku sama sekali tak mengerti apa maksudnya.
"Kau tahu Sunny betapa takutnya aku saat melihat mu jatuh pingsan tepat di hadapan ku. Kau tahu saat melihat mu terbaring lemah didalam pelukan ku, aku mengira ini adalah akhir dunia. Aku begitu takut sampai aku tidak bisa memikirkan apapun selain diri mu. Dan saat melihat tubuh mu di penuhi darah, aku bahkan tak sanggup untuk mengeluarkan satu patah kata pun. Maafkan aku Sunny semua ini salah ku." Suara Ryu bergetar hebat dan terasa begitu berat.
"Ku mohon, cukup ini dan ini yang terakhir kalinya. Aku tak ingin melihat mu menderita karena diri ku. Ku mohon Sunny. Berjanjilah pada ku." aku bisa merasakan tangan ku basah karena air mata Ryu.
Aku tak tahu dia akan semenderita ini saat melihat ku seperti ini. Bahkan air mata ini tak pernah ku bayangkan akan dia jatuhkan untuk diri ku.
Aku menepuk-nepuk lembut kepalanya, perlahan tangisnya pun mereda.
Ryu kembali mengangkat wajahnya dan menatap ku. Beberapa tetes air mata masih terlihat membasahi pipinya, dengan lembut aku mengusap air mata itu dari pipinya.
"Aku baik-baik saja, kau sudah tidak perlu khawatir." Aku tersenyum kepadanya.
Ryu hanya mengangguk pelan dan membalas senyum ku.
"Sekarang kau istirahatlah. Aku akan ada disini jika kau membutuhkan ku."
Dan malam itu berakhir dengan kecupan lembut di atas kening ku.
"Apakah akhirnya kita bisa bersama Sunny?."
"Ryu"