Tak ada yang berubah sejak terkahir kali aku masuk kedalam apartemen Sunny. Bahkan aromanya tidak berubah sama sekali. Hanya saja dilantai terdapat beberapa potongan kain berserakan, mungkin berasal dari ruang kerja Sunny.
"Duduklah. Aku akan membuatkan minuman." Ucap Sunny santai sambil beranjak menuju dapur.
Aku memilih untuk duduk di sofa merah yang ada ditengah ruangan ini. Sofa ini memang selalu menarik perhatian ku. Tak hanya karena warnanya yang mencolok tetapi juga karena sofa ini sangat empuk. Bahkan aku masih mengingat betapa empuknya sofa itu saat terakhir kali aku kemari.
Tak lama setelah itu Sunny keluar dengan membawa dua gelas berisikan cairan berwarna kuning. Tampak seperti jus mangga. Apakah ini minuman lezat yang di maksud Sunny?.
"Maaf … aku lupa kalau minggu ini aku belum belanja, jadi hanya ada jus mangga didalam kulkas." Sunny menampakan raut wajah tidak enak hati kepada ku.
"It's okay. Ini saja sudah cukup." ucap ku sambil tersenyum berharap Sunny tidak lagi merasa tidak enak hati kepada ku.
Suasana pun mulai menghening. Sunny memang selalu tak banyak bicara, jadi wajar saja dia tidak akan berbicara jika tidak ditanya. Tapi aku tak ingin kesempatan emas ini hilang begitu saja. Aku mulai berpikir keras untuk mencari topik obrolan dengan Sunny.
"Apa kau sedang mengerjakan baju?." Aku gelisah karena takut Sunny akan menganggap pertanyaan ku sangat aneh.
"Ahh … iya ada beberapa baju yang sedang ku kerjakan seminggu terakhir ini." Sunny menjawab dengan suara yang sangat tenang walau dia masih sering kali menundukan wajahnya.
"Dari mana kau tau?." Celetuknya dengan wajah serius.
"Ahh … itu. Aa … ku melihat beberapa kain berserakan di lantai." Entah mengapa aku mendadak menjadi terbata-bata menjawab pertanyaan Sunny.
"Apa yang kau lakukan Ryu." Aku mengutuk diri ku sendiri.
Melihat ekspresi ku yang tidak biasanya. Sunny tertawa, walau tawa itu masih malu-malu untuk di tunjukannya. Tapi aku bisa merasakan seluruh ruangan ini dipenuhi oleh tawa kecil Sunny yang menggemaskan.
Tanpa sadar mataku sedari tadi hanya tertuju padanya. Pandangan kami pun bertemu. Sunny tampak malu-malu untuk menyembunyikan tawanya.
"Apakah ini yang namanya jatuh cinta?." Gumam ku dalam hati.
Karena saat ini seluruh jiwa dan pikiran ku dipenuhi oleh Sunny. Bahkan tak tersisa ruang lagi untuk ku melarikan diri dari kegilaan ini.
"Mmm …." Sunny berusaha untuk mengatakan sesuatu.
"Aku ingin mengucapkan terimakasih, karena sudah mengirimi ku bunga dan cake strawberry setiap mimggunya." Sunny mengulum bibirnya, tampak ia sangat berusaha untuk menahan malu saat mengatakannya.
"Apa kau menyukainya?."
"Cakenya sangat enak, bahkan aku mencoba untuk mencari di toko kue tapi aku tidak menemukan rasa yang sama persis dengan cake itu."
"Dan juga bunganya selalu aku pajang didalam kamar. Tapi sejujurnya aku lebih suka bunga matahari." Lanjut Sunny dengan sikap polos dan menggemaskannya.
"Baiklah mulai minggu depan akan selalu ada bunga matahari didalam kamar mu."
Sunny nampak terkejut saat. Bola matanya membesar seakan tak percaya.
"Tenanglah … aku dengan senang hati melakukannya untuk mu."
"Aku menantikannya." Senyum Sunny merekah bak bunga matahari.
Berkilau. Senyuman yang tergores diwajah Sunny nampak berkilau dan manis. Bahkan seumur hidup ku, aku tak pernah melihat senyum seindah ini. Apakah aku termasuk manusia paling beruntung karena dapat melihat senyum mu yang bahkan kau sendiri mungkin tidak sadar bahwa senyum mu dapat merubah seluruh dunia ku. Merubah ku dan hati ini.
Apakah ini pertanda bahwa kau sudah mengizinkan ku untuk berada di sekitar mu?. Apakah ini pertanda bahwa kau sudah sepenuhnya menerima kehadiran ku?. Jika ini adalah pertanda dari mu maka aku dengan senang hati menerimanya. Jika ini adalah jawaban atas penantian panjang ku, maka aku akan menyambutnya dengan hangat.
***
Setelah itu obrolan kami mengalir dengan santai, semuanya menjadi terasa lebih mudah ketika Sunny tersenyum kepada ku. Walau hingga saat ini Sunny belum mengatakan apa-apa, tapi setidaknya ada harapan cerah yang menanti ku di ujung.
Tapi entah kenapa selalu ada kegelisahan didalam hati ku. Aku pun memberanikan diri untuk bertanya kepadanya.
"Apakah seterusnya kita bisa mengobrol seperti ini?." Tenggorokan ku bergetar saat aku menanyakan pertanyaan ini kepada Sunny, karena sejujurnya aku belum siap menerima jawaban yang mungkin saja kembali menendang ku ke titik awal, tetapi aku juga tidak bisa hanya memaksakan kehendak ku kepada Sunny.
Sunny tak langsung menjawab pertanyaan ku. Ada kebisuan sebelum jawaban itu keluar dari mulutnya. Lidah ku mulai terasa pahit, karena mungkin saja jawaban Sunny tidak sesuai dengan harapan ku.
"Tentu saja."
Entah mengapa aku merasa ada keterpaksaan dalam jawaban itu. Seperti banyak sekali pertimbangan yang harus dibuat sebelum mengeluarkan kata-kata itu.
"Apakah kau yakin?." Aku kembali bertanya dengan serius.
Sepertinya Sunny menyadari bahwa aku tidak yakin dengan ucapannya barusan.
Wajahnya kembali memasang ekspresi dingin. Bahkan lebih dingin dari pada es. Sunny mengambil napas panjang dan terdengar sangat berat. Seperti ada batu besar didalam hatinya.
"Tentu saja." Jawaban yang sama namun terdengar begitu dingin.
Jawaban yang keluar dari mulut Sunny adalah jawaban yang paling ingin ku dengar darinya. Tapi kenapa dada ku terasa begitu panas. Kenapa aku tidak bisa menerima jawaban itu. Apakah aku mulai serakah?.
Tidak bukan itu. Bukan jawaban seperti itu yang ku inginkan. Aku tak ingin jawaban yang terpaksa seperti itu. Aku tak menginginkannya. Aku tak ingin kau kembali mengabaikan ku seperti sebelumnya. Aku tak ingin semuanya terulang kembali.
"Bukankah kau terlalu memaksakan dirimu Sunny?." Aku meremas jari ku kesal.
"Apa maksudmu?." Suara itu masih terdengar dingin, namun kali ini terselip kekesalan didalamnya.
"Bukankah kau yang paling tau Sunny. Haruskah aku menjelaskan semuanya pada mu."
Sesaat setelah itu Sunny beranjak berdiri. Aku bisa merasakan bahwa dia berusaha menahan amarahnya.
"Aku lelah. Pulanglah ini sudah larut."
"Apakah setelah ini kau akan kembali mengabaikan ku?."
Sunny tidak menjawab apa pun dia bahkan tidak menoleh kearah ku.
"Apakah setelah ini kau juga akan kembali menganggap ku tidak ada di dunia ini?. Apakah diriku sama sekali tidak berarti bagi mu Sunny?. Apakah begitu menyenangkan bagi mu mempermainkan perasaan ku?."
"Apa maksud mu?!!."
"Sunny apakah kau tidak sadar, saat itu kau juga mengatakan akan memulai semuanya dari awal dengan ku tapi setelah itu yang kau lakukan hanya mengabaikan ku. Lalu sekarang kau juga ingin melakukan hal yang sama kepada ku. Kau tau aku juga tidak ingin merepotkan mu dengan semua hal ini, tapi aku juga tidak bisa menahan diri ku, semakin aku ingin melupakan mu semakin aku mengingat mu, semakin aku ingin menjauh dari mu semakin dalam aku merindukan mu. Sejak kau mengabaikan ku, aku semakin hilang akal semua cara ku lakukan untuk bisa dekat dengan mu walau hanya sedikit. Tapi yang kau lakukan hanya mengabaikan ku terus menerus!."
"Aku tak tahu apa yang terjadi dengan diri ku. Seluruh hati ku sudah di penuhi oleh mu. Apakah selama ini kurang jelas. Apakah aku harus teriak terlebih dahulu agar kau tahu AKU MENYUKAI MU SUNNY!." Napas ku tidak beraturan dada ku terasa begitu sesak, aku meremas kuat kedua tangan ku berharap emosi kekanak-kanakan ini dapat ku tahan.
Sunny tidak mengatakan apa-apa bahkan raut wajahnya terlihat kosong, begitu pula sorot matanya. Apakah aku kurang keras mengatakannya. Apakah kurang jelas terdengar di hati mu Sunny?.
"Pulanglah. Aku mohon." Sunny beranjak meninggalkan ku.
"Sunny?." Dengan sisa tenaga yang ada aku mencoba memanggil namanya sekali lagi.
"Pulang!!!." Sunny berteriak kearah ku, kemarahannya sudah tidak bisa terbendung lagi.
Tanpa berpikir panjang aku melangkah keluar dari apartemen Sunny.
***
Berakhir. Semuanya sudah berakhir, karena kebodohan yang ku buat sendiri. Bodohnya aku mengira semua akan berjalan sesuai dengan yang ku harapkan. Aku terlalu percaya diri.
Nasi sudah jadi bubur. Tak ada yang bisa aku ubah satu pun. Aku hanya bisa menertawakan kebodohan yang ku ciptakan sendiri, karena emosi sesaat. Kebodohan yang bahkan tak bisa ku perbaiki lagi. Bahkan bodohnya lagi aku berharap masih bisa memperbaiki kesalahan ini. Padahal aku juga tahu gelas yang sudah pecah sebaik apapun kau menyatukannya kembali kau masih bisa melihat retakannya.
Apakah setelah ini aku harus benar-benar melupakan Sunny?. Lalu bagaimana caranya aku melupakannya jika setiap memejamkan mata aku masih bisa melihatnya. Beginikah akhirnya. Sudah berakhir bahkan sebelum aku memulainya.
Haruskah aku menerima semuanya seperti ini?.
Ahh … maafkan kebodohan ku Sunny, sekarang aku bahkan lupa bahwa akulah penyebab semua ini terjadi.
Haruskah aku benar-benar berhenti Sunny?. Haruskah?. Tapi jika itu yang kau inginkan maka aku akan berhenti. Berhenti mencintai mu?. Entahlah aku rasa hal itu akan memerlukan sedikit waktu. Jadi aku harap kau akan memaklumi untuk hal yang satu ini.
Haruskah sekarang aku mengucapkan selamat tinggal. Haruskah?.
"Maafkan aku Ryu. Aku mengabaikan perasaan mu selama ini. Tapi kau juga harus tahu hal ini juga berat bagi ku. Terlalu berat hingga aku tak berani membagikannya dengan mu. Bisakah kau memberikan waktu untuk ku sedikit lagi?."
"Sunny"