"Zira, cuci baju mama dulu sebelum ke kampus yah!!" Suara sedikit berteriak itu berasal dari Ruma, ibu tiri dari Zira Ayda Hadara.
Gadis cantik dengan gamis hitam itu hanya bisa menghela nafas pasrah menuruti perintah wanita paruh baya yang di nikahi ayahnya satu tahun yang lalu. Hijabnya yang menjuntai panjang ia lipat sedikit agar memudahkan pergerakannya dalam mencuci baju.
"Ya Allah, padahal aku udah harus ke kampus. Gimana ini??" Lirihnya
Zira tak punya pilihan, jika ia tak menuruti perintah Ruma, bisa di pastikan ia tak akan mendapatkan jatah makan malamnya nanti. Selain itu, semburan pedas akan ia dapatkan juga dari mulut ibu tirinya itu.
"Nih, tambah lagi". Ruma, wanita itu tak ada puasnya memberikan pekerjaan pada Zira. Alasannya hanya satu, cemburu. Ruma cemburu karena suaminya yang merupakan ayah kandung dari Zira sangat perhatian pada putri semata wayangnya itu.
"Ma, tapi aku harus ke kampus. Aku akan terlambat dan....."
"Apa? dan apa hah? Kamu tuh bisanya membantah saja. Kerjakan dan jangan banyak memprotes".
Lagi-lagi, Zira hanya bisa menghela nafas pasrah. Gadis muslimah calon bidadari surga itu tak sampai hati untuk melawan dan memberontak pada Ruma. Karena sang ayah sangat mencintai wanita berambut pendek itu, entah keistimewaan apa yang dimiliki Ruma, hingga ayahnya sangat tergila-gila pada wanita itu. Tapi Zira pun sadar, setiap orang, seburuk-buruknya orang, mereka pasti mempunyai sisi keistimewaan yang hanya bisa di lihat oleh seseorang yang tepat.
Satu jam berjibaku dengan cucian pakaian, akhirnya Zira bisa pergi untuk kuliah. Zira salah satu mahasiswi Universitas Negeri di Jakarta. Berkat kecerdasannya ia mendapatkan beasiswa, meski ia berasal dari keluarga menengah, tapi beruntungnya ia menjadi salah satu dari tiga orang yang beruntung mendapatkan rekomendasi beasiswa dari sekolahnya dulu.
Zira bercita-cita menjadi seorang dosen, ia mengambil jurusan ilmu agama sesuai dengan kemauannya.
Setiap hari harus membagi waktu untuk berkuliah dan mengurus rumah. Semua ia lakukan sendiri, dari mulai bangun pukul Empat pagi ia sudah mulai beraktivitas membereskan rumah dan memasak sarapan. Mencuci baju dan peralatan dapur sudah menjadi makanannya, ia juga berteman dengan sapu dan lap pel yang setiap harinya tak pernah absen ia sapa.
Ayahnya mempunyai toko sembako kecil-kecilan di pinggir rumahnya. Sementara ibu tirinya hanya wara wiri tak jelas menghabiskan uang yang di hasilkan dari toko ayahnya. Dan anehnya, Joko, ayah dari Zira itu tak pernah protes dengan apa yang istrinya lakukan.
Dengan menggunakan angkutan umum Zira pergi ke kampus setelah sebelumnya berpamitan pada ayah dan ibunya. Beberapa kali ia melihat jam tangan kesayangannya, hanya tinggal Lima Belas menit lagi jam mata kuliahnya akan di mulai, sementara waktu ke kampusnya harus menempuh sekitar Tiga Puluh menit perjalanan menggunakan angkutan umum. Sudah pasti ia akan terlambat, meski kemungkinan ia tak akan bisa masuk ke ruang kelas, tapi setidaknya ia akan mencobanya.