Aku sudah mengira kalau Yati akan melaporkan ancamanku ke ibunya dan juga Nawang. Pulang sekolah, aku sengaja menunggu Mbak Is dan Mbak Sri. Aku ingin pulang bersama mereka, bukannya takut pada Nawang, tapi sedang malas saja menghadapinya.
Aku menunggu kedua kakakku di warung Mbok Turah, di sana aku lebih aman karena Mbok Turah sangat menyayangiku seperti anaknya sendiri. Aku juga tidak segan menceritakan semua kejadian yang aku alami hari ini, dari berangkat paling pagi hingga harus terusir di bangku paling belakang karena ulah Yati dan Nawang. Walaupun usia Nawang lebih tua dariku, aku tetap memanggilnya Nawang, bukan Mbak atau pun panggilan lainnya sesuai usianya. Dalam pikiranku, Nawang adalah anak dari Mbok Lastri yang merupakan istri kedua ayahku, tentu saja aku lebih patut dipanggil Mbak, karena aku anak dari istri pertama. Entah dari mana pemikiran itu muncul, tidak ada yang memberitahuku juga tentang itu.
