Luna telah selesai mengadakan pesta ulang tahunnya yang kedelapan belas tahun bersama teman- teman kampusnya yang ia adakan dengan sederhana karena ia hanya mengundang tiga teman akrabnya di kampus dan dua teman akrabnya di kampus juga di panti asuhan tempat Luna pernah tinggal, dimana panti asuhan itu sendiri sudah ia anggap rumah, dan orang-orang yang berada disana sudah ia anggap sebagai keluarganya karena sejak kecil Luna sudah hidup dan besar disana, termasuk dengan Alan dan Nina yang kini satu kampus dengannya walau mereka berbeda jurusan.
Luna tinggal di asrama selama ia kuliah dan dengan beruntung ia juga mendapatkan beasiswa hingga ia hanya perlu bekerja paruh waktu untuk uang tambahan kebutuhannya. Di dalam kamar asrama itu, Luna menatap meja disamping tempat tidur kecilnya yang di atasnya terdapat lima buah hadiah dari teman-temannya dengan ukuran, warna, dan bentuk yang berbeda-beda.
Senyuman terukir diwajah Luna, ia cukup bahagia dengan acaranya sendiri yang walau sederhana namun perasaannya begitu hangat bersama teman-temannya, terutama dengan Alan yang sudah ia anggap sebagai adik laki-lakinya dan Nina yang sudah ia anggap kakak perempuannya.
Luna akrab dengan Alan dan Nina di panti, namun sejak kedua teman akrabnya itu di adopsi, Luna jadi kesepian ditambah tempat panti asuhan yang juga merupakan sebuah gereja yang sederhana itu kini telah tidak ada, hanya tersisa reruntuhan bangunan itu saja, dan bahkan orang-orang yang ada di gereja itu kini hanya tinggal nama di ingatan Luna, kecuali Alan dan Nina karena mereka di adopsi sebelum malam itu tiba dimana semua berakhir dengan cepat dan membuat Luna memiliki trauma terhadap dua warna.
Luna menatap bulan purnama yang sangat terang mala mini, yang mengingatkannya pada malam purnama di malam yang sudah berlalu sepuluh tahun lalu.
"Siapa orang-orang itu?," fikir Luna, dan fikirannya pun melayang saat umurnya berusia tujuh tahun.
***
Seorang gadis dengan rambut yang dikepang dua tengah berlari menuju seseorang yang memanggilnya untuk makan malam karena gadis itu selalu masih berada di luar saat malam tiba, apalagi jika bulan purnama akan muncul.
"Luna, ayo masuk untuk makan malam!," teriak suster Anna pada gadis berambut coklat muda itu.
Luna pun segera memenuhi panggilan suster dan berlari masuk ke gereja untuk makan malam Bersama dengan sepuluh orang anak yang memiliki nasib yang sama dengan Luna, juga dengan seorang pastor dan dua orang suster yang telah merawat dan mengadopsi mereka.
"Luna, Selamat ulang tahun!," teriak semua orang yang berada dalam satu ruang makan yang besar itu yang menyatu dengan dapur dan kamar mandi.
Luna yang baru saja duduk hanya terdiam karena terkejut lalu dengan cepat menunjukan wajahnya yang bahagia karena bahkan ia sendiri tidak tau kalau hari ini adalah hari ulang tahunnya, lebih tepatnya hari dimana ia ditemukan di depan pintu gereja tentunya saat masih bayi karena orang tuanya membuangnya.
"Luna, suster buatkan pai apel kesukaanmu, ayo makan Bersama dengan yang lainnya. Semoga tuhan memberkati kita semua di hari ulang tahunmu," ucap sister Anna yang sangat penyayang pada semua anak-anak di gereja dimana ia juga tidak pernah membandingkan mereka dan selalu bersikap adil yang membuat semua anak-anak di gereja sangat menyukai suster Anna karena tidak pilih kasih karena bagaimana pun mereka semua adalah anak yang menginginkan merasakan sebuah kasih sayang dari orang tua mereka. Dan suster Anna memberikan itu dengan adil.
"Terimakasih suster Anna!, terimakasih semuanya!," ucap Luna dengan bahagia lalu ia bangkit dari tempat duduknya untuk membagikan pai apel yang sudah di potong sama rata untuk semua anak dan dirinya.
Pesta ulang tahun Luna pun terlaksana dengan kehangatan semua orang di gereja yang sudah seperti keluarga besar yang hidup sederhana namun penuh dengan kebahagiaan, dan Luna pun merasa beruntung dapat tinggal di gereja itu dengan dikelilingi orang-orang yang saling menyayangi walau nasib mereka tidak terlalu baik, tapi takdir masih baik mempertemukan mereka di satu tempat itu.
Setelah membagikan pai apel, Luna kembali ke kursinya dan memakan pai apel itu dengan bahagia, hingga ia mengingat Alan dan Nina yang sudah tidak lagi makan Bersama di sampingnya karena mereka sudah di adopsi.
"Suster. Apakah Alan dan kak Nina juga makan pai apel disana?," tanya Luna dengan sedih karena ia tidak dapat membagi pai apel dengan Alan dan Nina.
Suster yang mendengar pertanyaan Luna hanya tersenyum lalu menjawab dengan lembut, "tentu saja mereka juga makan pai apel. Jangan sedih, ini adalah hari bahagia Luna oke?, jika Luna sedih mereka bisa sedih juga lho…" ucap suster Anna yang membuat Luna kembali memakan pai apelnya dengan lahap dan bahagia, ia juga yakin jika Alan dan Nina di keluarga baru mereka juga pasti bahagia dan dapat memakan pai apel yang lezat.
"Hwaa, pai apelku habis!," teriak Lulu seorang anak perempuan berusia empat tahun dan yang paling kecil di gereja setelah Alan.
Suster Anna yang mendengar tangisan itu menjadi khawatir karena ia tidak lagi memiliki sisa pai apel dan bahkan bahan untuk membuatnya juga sudah habis karena ia hanya memiliki sedikit untuk membelinya, dan itupun menggunakan tabungan pribadinya, bukan uang dari para donator yang setiap bulan menyumbang ke gereja sekaligus panti asuhan itu.
Luna segera bangkit kembali dari bangkunya dan berlari kecil ke Lulu untuk memberikan pai apel miliknya yang masih tersisa setengah.
"Lulu, makanlah pai apel milik kakak Luna. Jangan menangis lagi oke?, dihari ulang tahun Luna semuanya harus bahagia dan tersenyum," ucap Luna yang tidak terlalu dimengerti Lulu namun ia tetap tersenyum bahagia karena mendapatkan pai apel lagi.
"Terimakasih kak Luna!," ucap Lulu dan ia pun makan dengan lahap pai apel milik Luna, dimana Luna sendiri lebih menyukai seseorang yang bahagia karenanya.
"Maafkan suster ya, Luna. Suster tidak memiliki sisa pai apel lagi," jelas suster Anna.
"Tidak apa-apa suster, terimakasih. Pai apel buatan suster benar-benar lezat!, kapan-kapan ajari Luna cara membuatnya ya!," ucap Luna dengan bahagia namun hari dimana ia untuk belajar membuat pai apel dari suster Anna tidak pernah datang. Bahkan ia tidak pernah menyangka bahwa hari membahagiakannya malam itu akan menjadi hari yang sangat membuatnya sedih bahkan diirnya memiliki trauma.
"Sungguh menyedihkan pai apelmu harus dihabiskan oleh anak itu, padahal itu milikmu," ucap seseorang yang tiba-tiba masuk melalui pintu yang membuat semua orang yang ada di ruangan itu terkejut.
Semua anak langsung bangun dan berlari bersembunyi di belakang pastor dan suster Anna juga suster Lily, tak terkecuali dengan Luna yang langsung dapat menatap pria asing yang memiliki mata berwarna emerald itu.
"Maaf, anda siapa masuk tiba-tiba tanpa mengetuk pintu dahulu?," tanya pastor Alex yang maju untuk berbicara pada pria asing yang terlihar berumur sekitar tiga puluh tahun itu.
"Oh maaf. Aku tadi sudah mengetuk pintu tapi sepertinya kalian terlalu sibuk berpesta sehingga tidak mendengarnya?," jelas pria asing itu santai sambil mengambil kursi kayu milik Luna lalu duduk di kursi yang terletak paling ujung dekat dengan pintu.
"Maaf jika begitu. Apakah tuan memiliki keperluan datang malam-malam begini?," ucap pastor Alex berusaha tenang karena ia merasakan sesuatu yang buruk dari pria asing yang sudah duduk tanpa dipersilahkan duduk itu.
"Aku ingin mengadopsi seorang anak dari sini, malam ini juga," jelas pria itu.
"Tapi tuan, mohon maaf. Untuk mengadopsi anak dari panti kecil kami pun ada aturannya dan tuan harus melengkapi dokumen serta membuat perjanjian terlebih dahulu dengan kami sebelum mengadopsi," jelas pastor Alex yang walaupun ia sadar pantinya hanya panti kecil, namun semua anak-anak yang ia adopsi benar-benar ia fikirkan dan tidak ia biarkan sembarangan orang mengadopsinya karena ia akan memeriksa terlebih dahulu siapa yang akan mengadopsi mereka, apakah mereka bisa dipercaya atau tidak, apakah mereka baik atau tidak untuk menjadi keluarga baru anak yang di adopsi dari panti itu.
"Tuan yang diberkati tuhan. Aku sangat mengerti apa maksudmu, tapi aku benar-benar ingin mengadopsi seorang anak malam ini dan aku berjanji akan memenuhi semua persyaratan besok dan bahkan aku akan menyumbang setiap bulan ke panti ini," jelas pria asing itu.
"Mohon maaf yang sebesar-besarnya tuan, tapi kami benar-benar tidak bisa. Jika mau anda bisa datang lagi besok pagi, dan jika memang benar-benar butuh untuk mengadopsi seorang anak, mungkin anda bisa mencoba ke panti asuhan lain," jelas pastor Alex yang sepertinya sudah merasa tidak nyaman.
"Benar tuan, lagipula kenapa untuk mengadopsi anak anda sangat terburu-buru?, apakah anda harus pergi jauh hari ini dan dengan syarat membawa seorang anak Bersama anda?," ucap suster Lily yang bantu angkat bicara jika sudah berurusan dengan orang luar karena suster Lily selalu mengurus banyak hal Bersama pastor Alex.
Pria asing itu hanya tersenyum lalu menjawab pertanyaan Lily yang membuat semuanya berubah dalam satu malam, "ya. Aku membutuhkannya untuk kubawa dan kuberikan pada seseorang yang sudah sangat kelaparan," jelas pria asing itu dan dapat dilihat dengan jelas warna matanya yang berwarna emerald seketika berubah menjadi warna merah yang takkan pernah Luna lupakan karena mata itu langsung tertuju padanya, "aku mau anak itu untuk ku adopsi," ucap pria asing itu yang langsung mengeluarkan kuku-kuku panjangnya dan menusuk suster Lily hingga tak bernyawa.
"Vampir?!" pastor Alex sangat terkejut dan langsung sadar jika ia sedang berhadapan dengan seorang vampir. Pastor alex mengeluarkan kalung salibnya dan membaca doa namun gerakannya terlalu lambat bagi vampir itu hingga ia pun mati ditangan vampir itu dengan sekali tusuk seperti suster Lily.
Semua anak di ruangan itu berteriak dan menangis ketakutan tak terkecuali dengan Luna yang hanya bisa terdiam ketakutan dengan tubuhnya yang bergetar seluruhnya sambil memeluk Lulu karena ia berfikir bahwa vampir itu menatap ke arah Lulu.
"Lulu tidak apa-apa, kakak Luna akan melindungi Lulu," ucap Luna dengan berbisik.
Hingga vampir itu bergerak menuju tempat mereka berkumpul di satu titik dengan suster Anna yang berusaha melindungi mereka semua dimana ia dengan cepat mengambil sebuah senapan dari balik lantai kayu yang ternyata sebagai tempat penyimpanan senjata yang dibuat khusus untuk menempatkan berbagai macam senjata untuk berburu dan membunuh mahluk-mahluk jahat yang keberadaan mereka diyakini ada saat itu oleh pastor Alex.
"Jangan mendekat!," teriak suster Anna yang sudah bersiap dengan senapannya. Disaat yang bersamaan sebuah suara mengikuti ucapan suster Anna lalu seseorang dengan mata berwarna kuning keemasan terang menyerang vampir itu.
"Jangan mendekat kau vampir menjijikan!."
Keduanya pun bertarrung satu sama lain dimana vampir itu tetap mengambil satu persatu anak dan mengambil darahnya untuk menambah kekuatannya.
Malam itu menjadi malam berdarah dengan dua cahaya merah dan kuning saling berbenturan dari mata mereka.
***
Luna menyudahi menatap bulan karena ia merasa mual saat mengingat itu walaupun ingatan itu sudah agak samar, namun ia dengan Ajaib satu-satunya anak yang bisa kabur dan selamat karena ditolong seseorang yang juga ia hanya ia ingat dengan samar.
Luna memutuskan tidur, namun sebelum tidur ia seperti biasa selalu mandi air hangat. Setelah mandi ia masih saja terbayang bagaimana vampir itu menggigit Lulu sampai tak lagi bernyawa dimana saat menggigitnya ia dengan jelas melihat warna merah di mata vampir itu.
Luna bercermin menatap dirinya yang masih hidup, "siapa orang yang menolongku saat itu ya?," guman Luna mencoba mengingat namun tetap saja ia tidak ingat karena ia hanya sekilas melihatnya karena dirinya tak sadarkan diri setelahnya dan saat tau ia sudah terbaring di rumah sakit lalu di adopsi oleh dua orang tua yang kini telah tiada.
Luna kembali memandang wajahnya saat mencoba mengingat wajah orang yang menolongnya yang tertimpa cahaya rembulan, "oh matanya!," teriak Luna yang akhirnya mengingat warna mata orang yang menyelamatkannya dimana itu membuat dirinya terkejut. Namun Luna bukan terkejut karena mengingat warna mata orang yang sudah menolongnya, melainkan karena ia melihat kedua matanya yang ada di pantulan cermin berwarna merah di kanan dan kuning di kiri.
"Mataku!."