Matahari sudah tidak berada di atas lagi, posisinya semakin menurun seiring berjalannya waktu. Pukul 4 sore, mereka berempat masih berada di kamar, tidak melakukan apa-apa. Lima hari rasanya sudah lebih dari cukup untuk berjalan-jalan, dan sekarang mereka hanya ingin istirahat dan bermalas-malasan di kamar.
Meski begitu, rasanya malas-malasan tidak berlaku untuk ketiga pria yang sedang berpikir keras sekarang ini. Terlebih Danu, ia sangat-sangat gugup dan bingung harus berkata apa kepada Reno nantinya, waktu sudah mepet dan semakin sore juga.
"Ren, saya mau ngomong serius ke kamu. Kalau boleh jujur, saya suka sama kamu" ucap Danu.
Tiga detik setelahnya, rasanya Danu seperti ingin muntah. Rasanya menjijikan sekali melihat dirinya di cermin kamar mandi sambil mengatakan seperti itu. Apakah semua orang yang ingin menyatakan cinta akan mengalami hal yang sama? Jika iya, rasanya Danu tidak menyesal kalau selama ini ia tidak pernah menyatakan cinta.
"To the point aja ya Ren. Saya mau nembak kamu, kamu mau kan jadi pacar saya?" ucapnya lagi sambil menatap dirinya sendiri di cermin.
Lagi-lagi Danu menggelengkan kepalanya, lalu tangannya memijat keningnya karena pusing dan bingung harus bagaimana. Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore, ia tidak punya banyak waktu untuk berlatih. Membaca artikel-artikel pun tidak membantu, hanya membuang-buang waktu saja.
Tak lama pria yang sedang kebingungan itu akhirnya keluar dari kamar mandi, raut wajahnya sulit diartikan. Ketika sudah di luar, Danu melihat mereka bertiga yang sudah menatapnya dengan tatapan penuh kecurigaan.
"Apa liat-liat?" ucap Danu sewot, ia masih terbawa kekesalannya sendiri.
Arsyad tersenyum menceng, alisnya naik-turun. "Hayo abis ngapain? Udah 30 menit lebih lho kamu di kamar mandi. Abis ngasah burung ya?" ledek Arsyad, pandangannya terfokus pada tonjolan celana pendek Danu.
Secara reflek, tangan Danu menutupi tonjolan di celana pendeknya. "Ma-mana ada!" sahut Danu.
"Saya juga denger kok Dan, kamu lagi ngerang-ngerang gitu di dalem. Pasti abis nonton film porno kan?" tebak Bayu. Bibirnya tersenyum menceng layaknya Arsyad.
"Ngawur! Udah, nggak penting saya ngapain di kamar mandi" potong Danu buru-buru.
Mata Danu melirik sekilas, ke remaja yang sebentar lagi akan mendengarkan pengakuan cintanya. Reno sedang tiduran sambil memeluk Arsyad manja, sesekali Danu melihat Reno ndusel-ndusel wajahnya di dada Arsyad. Lalu dengan segera ia menghampiri remaja imut itu.
"Ren ikut saya yuk? Jalan-jalan sebentar?" ajak Danu dengan senyum.
"Males ah Pak" cuek Reno.
Terdengar suara Arsyad dan Bayu yang tertawa cekikikan saat mendengar jawaban Reno. Tumben sekali ini bocah nolak kalau diajak pergi, batin Danu.
"Tumben nggak mau diajak pergi?" Danu sebisa mungkin tersenyum walau dipaksakan. "Ayo dong Ren, mumpung masih di Bali nih. Udah sore juga kan, udah nggak panas" ajak Danu lagi.
"Kaki aku masih pegel Pak, dari kamaren jalan-jalan mulu" keluh Reno. Lalu ia menatap Danu, sambil bibirnya tersenyum nyengir. "Tapi kalo digemblok ya nggak apa-apa, hehe" ucapnya malu-malu.
Danu menghela napasnya, menyentil hidung Reno gemas. "Dasar manja" ledeknya. Setelahnya ia jongkok di samping kasur, bermaksud agar Reno bisa naik dengan mudah ke punggungnya. "Yaudah saya gemblok. Ayo Ren, keburu kesorean nanti."
"Hehe, makasih Pak Danu yang ganteng" ledek Reno balik.
Kemudian Reno naik ke punggung Danu, tangannya melingkar di leher serta kakinya melingkar di bagian pinggang Danu. Terlihat Danu sedikit kesulitan dan tertatih, karena Reno sudah bertumbuh lebih berat dari beberapa bulan lalu.
Segera ia keluar dari kamar, mengajak Reno ke pantai. Memang terbilang cukup mainstream kalau menyatakan cinta di pantai, namun Pantai Seminyak sepertinya pengecualian. Bagi Danu, pantai ini sudah lebih cukup untuk menyatakan cintanya.
"Pak, mau ke mana sih? Tumben ngajak jalan-jalan? Biasanya paling cuek bebek sama aku" tanya Reno. Bibirnya tersenyum simpul, karena ia senang diajak Danu jalan-jalan lagi.
"Enak aja tumben, saya sering ngajak kamu jalan-jalan ya Ren" tukas Danu. Reno hanya cengengesan saja. "Ya mau ke pantai aja sih sebenernya, soalnya ada sesuatu yang mau saya omongin, hehe."
"Pak Danu ke pantainya nggak pake baju?" Terdengar suara cekikikan dari Reno.
Mendengar ucapan Reno membuat Danu sontak saja menoleh ke arah bawah. Ternyata benar, Danu tidak memakai atasan sama sekali. Kalau begini bisa-bisa bukan Reno yang naksir Danu, melainkan bule-bule perempuan atau malah laki-laki. Lagian bagaimana Danu bisa lupa memakai baju?
"Kenapa kamu nggak bilangin saya Ren? Saya nggak pake baju bukannya diingetin eh malah dibiarin. Sengaja ya kamu mau liat badan saya yang seksi?"
"Hehe, salah satu faktornya itu sih Pak. Tapi aku kira Pak Danu mau pamer badan gitu di pantai, secara ini kan di Bali."
"Saya tau badan saya bagus, tapi ya nggak gitu juga. Emangnya kamu mau kalo ada bule yang naksir saya terus saya taksir balik?"
"Eh jangan dong Pak, cuma aku yang boleh naksir sama Pak Danu, hehe."
"Nah gitu dong, ini baru Reno yang saya kenal."
Karena sudah sampai di depan lift, Danu mengurungkan niatnya kembali ke kamar. Ia langsung masuk ke lift setelah pintunya terbuka, menuju ke lobby dan keluar dari sana sesegera mungkin.
Sebelum membawa Reno ke pantai, Danu mampir sejenak ke toko souvenir yang berada tak jauh dari hotel. Ia membeli baju yang ada di sana dan langsung memakainya. Setelah itu barulah Danu membawa Reno ke pantai.
Sore-sore begini, pantai terbilang cukup ramai karena cuaca sudah tidak panas dan langit pun sedang indah-indahnya. Angin sore pantai yang cukup kuat juga membuat udara semakin sejuk lagi, membuat orang banyak keluar di waktu seperti ini.
Beberapa menit Danu berjalan sambil menggendong Reno, akhirnya ia menemukan sebuah spot yang tepat. Tidak terlalu sepi dan tidak ramai juga, meski posisinya agak jauh dari hotel. Segera ia menurunkan Reno, lalu duduk di hamparan pasir dekat bibir pantai.
"Gimana liburannya Ren? Kamu seneng nggak liburan di Bali gini?" tanya Danu penasaran sekaligus untuk basa-basi terlebih dahulu.
"Seneng pake banget, banget, banget. Beneran deh Pak, aku nggak pernah seseneng ini pas liburan, nggak nyangka juga bisa naik pesawat terus nginjekin kaki di Bali." Bibir Reno tersenyum lebar saat mengatakan itu, namun tak lama senyumnya memudar dan ia sedikit cemberut. "Tapi ya, aku sedih aja karena Bapak sama Ibu nggak bisa ikut. Waktu itu pas mau ke Jakarta, Bapak sama Ibu nggak bisa ikut juga, sekarang malah nggak bisa ikut lagi. Padahal aku pengen banget mereka berdua ikut, seru-seruan bareng kita di sini."
Pak Jaka dan Ibu Rina memang tidak bisa ikut, dikarenakan Pak Jaka mendapatkan pekerjaan lagi tepat beberapa hari sebelum mereka ingin berangkat ke Bali. Jujur saja Reno sedih karena kedua orang tuanya tidak bisa ikut, padahal mereka bertiga juga ingin kalau Pak Jaka dan Ibu Rina ikut di liburan kali ini.
Melihat mata Reno yang berkaca, membuat Danu tidak tega. Segera ia memeluk remaja itu tepat sebelum ia menangis.
"Kamu tau kalau Bapak sama Ibu itu orangnya selalu bersyukur Ren, jadi maklum kalau mereka nggak bisa ikut karena kebetulan Bapak lagi dapet kerjaan lagi. Waktu itu Bapak sama Ibu emang nggak ikut ke Jakarta juga, tapi abis kerjaan Bapak selesai, mereka ikut sama kita ke Jakarta. Emang waktunya nggak tepat aja Ren, liburan selanjutnya pasti Bapak sama Ibu ikut" jelas Danu.
"Emangnya Pak Danu bakal ngajak aku liburan jauh-jauh ke sini lagi? Kan harga tiketnya nggak murah, bisa nyentuh jutaan buat satu orang doang. Hotel pun harganya juga mahal, belum lagi makan sama minumnya." Reno kembali memanyunkan bibirnya.
Danu tersenyum simpul, karena sifat Reno mirip sekali dengan Pak Jaka dan Ibu Rina. Mereka sama-sama merasa kurang nyaman jika diberi sesuatu oleh orang lain, terlebih jika nilainya sangat besar, seperti biaya untuk liburan ini. Meski untuk Danu, Bayu, atau Arsyad biaya untuk liburan ini bukan apa-apa. Mereka bisa saja membawa Reno serta Pak Jaka dan Ibu Rina berkeliling dunia jika mau.
"Kita bertiga kan udah bilang sama kamu, nggak perlu pusing soal uang. Untuk kamu, untuk Bapak, untuk Ibu, kita rela keluar uang banyak demi kalian seneng. Tapi ya gitu, kalian suka nolak dengan alasan nggak mau ngerepotin, jadinya kita suka mikir-mikir dulu kalau mau ngasih ini itu."
"Tapi, apa nggak terlalu berlebihan ya Pak? Aku sama Bapak sama Ibu nggak pernah ngasih apa-apa, sementara kalian ngasih banyak banget untuk aku sama keluarga aku? Apa itu sebanding?"
"Kalau nggak ada kamu atau keluarga kamu, kita bertiga pasti udah nggak ada di dunia Ren. Kalau dibilang sebanding apa nggak, tentu jawabannya nggak. Kita hutang nyawa sama keluarga kamu, sebanyak apapun yang kita kasih ke kamu atau ke keluarga ya nggak akan sebanding." Danu menghela napasnya, lalu mengangkat Reno dan memangkunya.
"Saya tau kamu nggak nyaman kalau ngomongin itu, kamu juga tau kalau saya nggak nyaman kalau ngomongin soal uang atau harga. Jadi ya yaudah, abaikan aja yang tadi. Saya ngajak kamu ke sini karena ada yang mau saya omongin ke kamu" ucap Danu serius.
"Mau ngomong apa sih Pak? Kayaknya serius banget?" Reno sudah sangat penasaran.
Jujur saja, Danu sendiri tidak tau apa yang mau ia omongkan. Meski maksudnya ingin menyatakan cinta, namun ia tidak harus berkata seperti apa. Latihan tadi juga rasanya sia-sia saja, karena otaknya seperti berhenti bekerja karena ia sangat-sangat gugup sekarang.
Dengan sendirinya, Danu menurunkan lagi Reno dan mendudukkannya di samping. Tangannya bergerak sendiri, memegang tangan Reno dengan gentle. Meski Danu tersenyum, rasanya ia ingin sekali menghilang dari dunia ini karena tidak tau harus mengucapkan apa kepada remaja yang ada di hadapannya.
"Pak Danu? Mau ngomong apa sih Pak? Bikin penasaran aja" ucap Reno lagi.
"Eh iya, iya Ren, maaf." Menarik napas lalu menghembuskannya kembali, Danu berusaha untuk santai sebelum berbicara lagi. "Kamu tau kan kalo selama ini saya udah sayang banget sama kamu?" tanya Danu.
Reno mengangguk. "Iya, aku tau kok Pak."
"Kalo gitu, kamu sayang juga sama saya juga nggak?" tanya Danu memastikan.
Terlihat Reno tersenyum simpul, ia merasa kalau Danu lucu karena tingkahnya yang tidak biasa. "Sayang Pak, aku sayang banget sama Pak Danu" jawab Reno jujur. Setelahnya ia memeluk erat bapak kostnya itu, membuktikan kalau ia benar-benar sayang kepada Danu.
Pelukan dari Reno terasa sangat hangat di kala angin pantai meniup cukup kuat. Apakah ini tanda kalau Reno akan menerima cintanya? Danu berharap begitu.
Setelah pelukan terlepas, Danu mengambil sesuatu dari kantong celana pendeknya. Sebuah kalung yang terbuat dari emas putih, dengan sebuah gantungan bertuliskan huruf R dan D yang menjadi satu. Agak lebay memang, Danu sendiri mengakui itu. Namun ini adalah syarat dari Bayu, karena katanya harus ada barang yang menjadi bukti kalau Reno menerima cintanya.
Sebenarnya mereka bertiga juga tau, kalau Reno bukan tipe orang yang suka memakai aksesoris seperti gelang, kalung, cincin, apalagi anting. Jam tangan pun Reno tidak mau pakai. Ia tipe orang yang risih dengan aksesoris seperti itu. Tapi mau gimana lagi? Mereka bertiga sudah membeli barangnya masing-masing dengan harga yang tak murah.
"Kalung? Buat apa Pak?" bingung Reno, ketika ia melihat Danu mengeluarkan sebuah kalung dari saku celananya.
Kembali Danu menggenggam tangan Reno, sambil meletakkan kalung itu di dalam genggaman tangan mereka. Reno menatap lekat ke arah Danu, raut wajahnya menunjukkan kalau remaja itu sangat kebingungan. Tatapan dari Reno pun sukses membuat Danu gugup dan pikirannya menjadi kacau.
"Ren, kita udah kenal cukup lama, udah hampir dua tahun semenjak kamu datang ke Jakarta. Mungkin saya cuma bapak kost kamu, tapi saya mau coba mengungkapkan isi hati saya ke kamu Ren." Danu menarik napasnya, lalu menghembuskannya lagi sebelum lanjut berbicara.
"Saya bersyukur karena bisa kenal kamu, ya meski pas kamu ke Jakarta kamu nggak ngenalin saya. Tapi ya nggak apa-apa, karena seiring berjalannya waktu pun kita semakin dekat, sampe bisa kayak sekarang ini. Bukannya itu namanya kita udah ditakdirkan untuk saling dekat? Atau malah saling mencintai? Jujur aja, saya nggak tau apa yang saya rasain ini cinta atau bukan. Tapi yang jelas, saya bisa merasakan perasaan itu terus muncul dan semakin kuat setiap harinya. Kalau kamu nanya kalung ini untuk apa, maka saya akan jawab kalau kalung ini untuk bukti kalau kita udah menjalin hubungan, hubungan sebagai kekasih atau pacar atau pasangan. Maaf kalau omongan saya nggak bagus, karena ini pertama kalinya saya nyatain cinta begini, terlebih ke orang yang kelaminnya sama kayak saya. Tapi saya tau kalau cinta itu buta, jadi saya nggak terlalu musingin soal jenis kelamin kita. Kalau kamu mau nerima saya sebagai pasangan kamu, tolong pakai kalung ini ya Ren" ucap Danu tulus.
Beberapa detik kemudian, rasanya Danu ingin berteriak. Ia tidak tau apa kata-katanya tadi sudah benar atau malah terdengar memalukan. Yang jelas ia hanya berkata sesuai dengan isi hatinya saja.
Suasana berubah menjadi hening, Reno masih menatap lekat ke Danu. Meski sudah tau apa maksud tujuan Danu, namun tetap saja ia kebingungan.
Perlahan kepala Reno menoleh ke arah laut lepas di pantai itu, ia memandang lurus laut biru itu dengan tangan yang masih menggenggam erat tangan Danu. Kemudian Danu melihat wajah Reno yang memerah dan sebuah senyum tipis, membuat Danu merasa damai karena senyum kecil dari remaja itu.
"Pak Danu, apa aku boleh nanya sama Pak Danu?" tanya Reno yang pandangannya masih lurus ke arah laut.
"Tanya aja Ren, pasti saya jawab" sahut Danu penuh keyakinan.
"Apa Pak Danu itu penyuka sesama jenis kayak aku?" tanya Reno dengan suara yang sangat pelan, hampir tidak terdengar. Namun Danu masih bisa mendengarnya dengan jelas karena posisi mereka berdekatan.
"Em, jujur ya Ren, saya sendiri nggak tau." Danu berpikir sejenak sebelum berkata-kata lagi. "Dari SMA pun saya tau, kalau orientasi seks itu ada yang menyimpang juga. Kalau dibilang penyuka sesama jenis, kayaknya nggak? Kalau emang iya, saya pasti udah pacarin Arsyad atau Bayu dari dulu. Kamu tau sendiri kalau mereka berdua juga kelewat cakep, saya sendiri pun mengakui kalau mereka berdua lebih cakep daripada saya. Tapi ya gini, saya suka sama kamu Ren, jadi saya nggak bisa nentuin orientasi seks saya kayak gimana? Walau jujur ya, saya masih suka perempuan, meski sampe saat ini belum ada perempuan yang bikin saya tertarik" jelas Danu.
Reno melirik sekilas sambil memberikan senyumannya ke Danu. Lalu suasana kembali hening di antara mereka berdua, hanya suara keramaian yang terdengar di telinga mereka.
"Yaudah terima kasih ya Pak Danu..." ucap Reno menggantung.
"Terima kasih kenapa Ren?" sahut Danu penasaran.
"Terima kasih untuk segala-galanya pokoknya. Aku bener-bener seneng bisa ketemu dan deket sama Pak Danu, aku nggak tau deh kalau nggak ketemu Pak Danu gimana jadinya aku sekarang ini. Mungkin aku jadi anak yang biasa-biasa aja, dan parahnya aku nggak bisa ketemu Bang Arsyad sama Mas Bayu. Aku yakin hidup sama Pak Danu itu pasti enak dan menyenangkan, aku juga yakin Pak Danu orangnya sangat bisa diandalkan meski cuek-cuek bebek gini. Aku sayang, aku sayang banget sama Pak Danu."
"Jadi?"
Reno menoleh ke arah Danu, bibirnya tersenyum simpul. "Sekali lagi aku berterima kasih banyak sama Pak Danu. Tapi maaf ya Pak, aku minta maaf sebanyak-banyaknya sama Pak Danu. Aku... aku belum bisa nerima cintanya Pak Danu."
Deg... Jawaban Reno sukses membuat Danu terdiam.
Ia tidak percaya, kalau Reno menolak dirinya? Terlebih lagi, apa rasa sakitnya ditolak memang seperti ini? Dadanya terasa sesak, dan tubuhnya seperti tidak punya tulang. Apakah Danu terlalu berharap sehingga rasa sakitnya seperti ini?
Tak lama Reno mengeratkan pelukannya ke Danu. Benar-benar berat baginya untuk berkata seperti itu kepada Danu. Ini adalah pertama kalinya ia melihat ekspresi wajah Danu yang sulit diartikan, dan ia merasa bersalah karena itu.
"Maaf Pak Danu, maaf. Aku beneran belum bisa nerima cintanya Pak Danu ke aku" ucap Reno lirih, tiba-tiba saja ia menangis tanpa alasan.
"Apa saya boleh tau alasannya Ren?" tanya Danu. Ia tidak seharusnya bertanya hal itu, namun ia penasaran apa alasan Reno menolaknya.
Reno mengangguk, remaja itu mengusap air matanya yang mengalir dengan telapak tangannya. Lalu ia menatap teduh wajah Danu.
"Aku pernah pacaran Pak, dan aku tau gimana rasanya itu. Awalnya emang manis, tapi lama-kelamaan jadi pahit. Sekarang pun hubungan aku sama orang itu udah nggak jelas, walau masih kirim-kirim chat tapi ya rasanya lain aja, berasa orangnya beda. Aku nggak mau hubungan aku sama Pak Danu kayak gitu, aku nggak mau pacaran karena aku takut hal yang sama terulang lagi, dan aku nggak mau kedekatan aku sama Pak Danu jadi renggang cuma karena status pacaran yang bisa berakhir kapan aja" jelas Reno.
Bola mata Danu melebar mendengar penjelasan Reno. Sampai-sampai Danu tidak bisa berkata apa-apa, ia kagum dengan jawaban Reno sebelumnya.
"Maaf Pak Danu, maaf. Aku nolak bukan karena aku nggak sayang sama Pak Danu, aku beneran sayang dan cinta sama Pak Danu. Aku harap Pak Danu paham setelah penjelasan tadi, aku bener-bener belum bisa nerima cintanya Pak Danu ke aku" ucap Reno terisak, air matanya kembali mengalir dengan sendirinya.
"Yah, meski kamu belum bisa nerima cinta saya, nggak apa-apa. Alasan kamu tadi bener-bener bikin saya kagum Ren, kamu masih usia segini tapi udah bisa berpikir jauh ke sana. Awalnya saya emang agak sakit hati denger kamu nolak saya, tapi pas kamu bilang kayak tadi, tiba-tiba saja sakit hati saya ilang." Danu kembali mengeratkan pelukannya ke Reno, sambil tangannya mengelus lembut punggung remaja itu.
"Saya ngerti banget, saya bisa ngerti alasan kamu belum nerima cinta saya. Saya juga mau minta maaf karena tiba-tiba nembak kamu, kamu pasti kaget sekaligus bingung. Yang penting sekarang kan udah jelas, kita udah sama-sama ungkapin isi hati kita masing-masing" ucap Danu dengan senyum. "Udah, jangan nangis lagi ya Ren?"
Tidak ada jawaban dari Reno, yang ada malah remaja itu semakin menangis ketika Danu mengucapkan kalimat tadi. "Lho Ren? Kenapa malah tambah nangis? Saya salah ngomong?" heran Danu. Ia sangat kebingungan karena tangisan Reno semakin menjadi dan bukan mereda.
"Pak Danu jangan tinggalin aku, tolong jangan jauhin aku karena aku nolak Pak Danu" ucap Reno terisak. Pikirannya yang tidak jernih benar-benar sukses membuat dirinya sendiri ketakutan.
"Siapa yang jauhin kamu Ren? Siapa yang ninggalin kamu? Udah ah jangan nangis terus Ren, diliatin banyak orang tau. Saya takut dikira ngapa-ngapain kamu" sahut Danu. Ia lumayan panik ketika banyak pasang mata menatap ke arahnya.
Untung saja, tak lama dari itu tangisan Reno mulai mereda. Meski ia masih menangis, namun tidak separah tadi. Reno juga hanya diam sambil memeluk erat Danu, ia benar-benar takut Danu menjauhi dirinya.
Setelah lumayan tenang, Reno menarik kepalanya dari leher Danu dan menatap Danu teduh. Matanya memerah karena tangisan tadi. "Pak Danu..." panggil Reno pelan.
"Kenapa Ren?" sahut Danu lembut sambil mengelus punggung Reno.
"Apa aku boleh pake kalung dari Pak Danu yang tadi? Anggap aja sebagai ucapan terima kasih aku sekaligus balasan atas semua pemberian sama sayangnya Pak Danu." Reno sedikit memohon, karena hanya itu yang bisa ia pikirkan untuk meredakan sakit hati yang dialami Danu.
Tanpa pikir panjang, Danu mengangguk. Segera Danu memperlihatkan lagi kalung itu dan langsung memakaikannya ke leher Reno. Masing-masing dari mereka tersenyum saat kalung itu sudah terpasang, lalu pelukan hangat pun terjadi lagi di antara mereka.
Sakit, tentu saja rasanya sakit kalau cinta ditolak. Untungnya Danu bisa menahan semua rasa sakit itu, semuanya karena ia benar-benar sayang kepada Reno. Meski tidak bisa menjadi kekasih dari remaja itu, tidak masalah bagi Danu. Selagi masih bisa melihat dan dekat dengan Reno rasanya sudah lebih dari cukup. Apalah arti status jika tidak ada kedekatan dan rasa sayang serta cinta di dalamnya.
"Pak Danu, aku sayang Pak Danu. Abis kejadian ini, tolong jangan jauhin aku ya Pak?"
"Nggak akan Ren, saya nggak akan jauhin kamu apapun alasannya. Saya sayang kamu, dan akan selalu seperti itu."
* * *