Prisya mengernyitkan keningnya saat dirinya baru saja melihat ke arah lapangan dan ada Marsell yang tengah berdiri sambil menghormat bendera bersama dengan dua anak cowok yang lainnya, Prisya tidak tahu apa alasan yang membuat mereka dihukum seperti ini.
"Itu cowok lo kan Cha? Eh—maksud gue cowok yang udah nyium lo?" tanya Deta. Deta ikut memperhatikan cowok yang sekarang tengah menghormat tiang bendera, tapi lebih fokus pada Marsell, dibandingkan dengan dua cowok yang lainnya.
"Mereka kenapa dihukum ya?" lanjut tanya Lily.
"Lo semua duluan, gue ada urusan." Tanpa menunggu respons dari mereka Prisya langsung melangkahkan kaki menjauh dari tempat di mana mereka berada. Ada sebuah hal yang ingin Prisya lakukan sekarang, tapi dirinya tidak tahu hal apa yang membuat dirinya ingin melakukan ini.
Setelah itu Prisya kembali melangkahkan kakinya sendiri menuju ke tempat yang sudah sejak tadi dia perhatikan. Prisya merasa silau saat melirik ke arah atas melihat teriknya sinar matahari yang sekarang sudah berada di atas kepala. Panasnya cahaya matahari begitu terasa, terlebih mereka yang sekarang tengah berada di tengah lapangan.
Marsell melirik ke arah samping saat dia baru saja mendengar suara langkah kaki, dia mengernyit saat melihat ada sebuah tangan yang mendekatkan satu botol minuman ditangannya. Marsell memperhatikan cewek berambut hitam yang kali ini diikat, ekspresi cewek itu terlihat begitu santai, bahkan ada segaris senyuman yang tercipta di bibir merah cewek itu.
Bibirnya merah alami, bukan seperti mereka yang menggunakan pewarna bibir atau lipstick. Tidak ada niatan dalam diri cewek itu untuk melakukan hal seperti cewek-cewek yang sudah berpenampilan begitu berlebihan, menggunakan kosmetik yang ia rasa tidak pantas untuk anak sekolah.
"Minumannya buat gue?" tanya Marsell sambil memperhatikan Prisya. Kejadian ini mengingatkan dirinya akan kejadian pertama dirinya berpapasan dengan Prisya.
Prisya menganggukkan kepalanya. "Kali ini minumannya memang untuk lo, tapi lo gak perlu membagi minuman ini dengan alasan lo membantu gue untuk menikmatinya. Gue sudah pernah menikmati minuman ini. Jadi, minumannya biar lo nikmati sendiri."
Prisya juga menjelaskan hal yang sedikit menyinggung akan kejadian waktu itu. Sepertinya kejadian waktu itu memang kejadian yang sulit untuk dilupakan begitu saja, terlebih untuk Prisya yang waktu itu merasa begitu aneh dengan sikap Marsell yang mendadak menciumnya.
Sebenarnya Marsell bukan orang yang gampangan, terlebih melakukan hal seperti itu pada cewek yang sama sekali tidak dia kenali. Banyak cewek yang mengejarnya juga tidak bisa sedekat itu dengannya, hanya sebatas dekat untuk suka-suka saja. Entah kenapa saat melihat Prisya dirinya ingin melakukan hal itu.
"Wajah lo kenapa?" tanya Prisya setelah dia melihat ada luka di wajah Marsell yang sekarang sudah berubah membiru.
Marsell menggelengkan kepalanya. "Gak papa," jawab Marsell dengan begitu santai.
Tatapan mata Prisya berubah, Prisya memperhatikan Marsell dengan tatapan yang begitu serius. "Gue bukan orang bego yang bakalan percaya kalau luka ini muncul secara tiba-tiba!" ketus Prisya sambil menatap Marsell dengan tatapan yang penuh dengan kekesalan.
Prisya berbeda. Marsell merasakan perbedaan yang ada dalam diri Prisya. "Gue habis berantem sama cowok yang tadi dihukum sama gue," jawab Marsell dengan cukup jujur. Sepertinya akan jauh lebih baik jika dia mengatakan hal yang sejujurnya pada Prisya, dibandingkan dengan memendam semuanya.
"Lo berantem karena apa?" tanya Prisya. Semakin lama Prisya merasa penasaran dengan Marsell, padahal sebelumnya Prisya sama sekali tidak ingin berhubungan lebih lanjut dengan Marsell.
Marsell terdiam sejenak memikirkan kejadian yang membuat dirinya sampai berkelahi dengan mereka. "Untuk hal itu lo gak perlu tahu." Marsell tidak ingin kalau Prisya tahu alasan yang membuat dirinya sampai bisa bertengkar dengan mereka.
"Kenapa?" Prisya merasa semakin penasaran serta merasa heran kenapa Marsell mengatakan kalau alasan di balik berantemnya Marsell dengan kedua cowok itu tidak perlu untuk dia ketahui.
"Lo mau masuk gak? Kalau enggak, mending temenin gue ke Kantin. Gue lapar."
Prisya berpikir sejenak dan mengingat mata pelajaran sekarang. "Gak, yuk kalau mau ke Kantin. Gue males di kelas," ujar Prisya dengan nada yang begitu santai. Akhirnya Marsell dan juga Prisya berjalan dengan begitu santai menuju ke Kantin.
*****
"Eh—h apa ya, bingung gue ngomongnya." Lidah Prisya mendadak terasa kesullitan untuk mengucapkan apa yang semula berada dalam pikirannya saat dirinya tengah memperhatikan Marsell.
Alis Marsell mengernyit bingung. "Apa? Kenapa bingung? Tinggal ngomong, lo gak akan nembak gue kan?" tanya Marsell dengan nada yang begitu enteng. "Atau memang lo ingin nembak gue?" lanjut tanya Marsell.
Dengan cepat Prisya menggelengkan kepalanya. "Ih, geer amat lo? Gak. Bukan itu yang gue maksud. Gue cuma mau ngomong, apa luka lo gak mau diobati?" tanya Prisya sambil memperhatikan beberapa luka di wajah Marsell yang sudah membiru.
"Mau lo obatin?" tanya Marsell dengan nada yang cukup serius sambil menatap Prisya.
Prisya menganggukkan kepalanya. "Gue kasihan sama lo. Kalau mau gue bisa obatin luka lo, kalau dibiarin nanti malah tambah sakit lho." Ada sebuah rasa kasihan yang mendadak muncul dalam diri Prisya setelah sedari tadi dirinya memperhatikan beberapa luka yang sudah mulai membiru di wajah Marsell.
Marsell mengangggukan kepalanya. Melihat Marsell yang menyetujui hal ini, akhirnya Prisya juga bangkit dari tempat duduknya. Mereka melangkahkan kakinya menuju ke arah UKS bersama. Ada sebuah rasa yang membuat Marsell penasaran kenapa dirinya bisa merasa nyaman bersama dengan Prisya.
Ada beberapa orang yang sedang berlalu lalang. Melihat Prisya yang sekarang bersama dengan Marsell membuat mereka semakin membicarakan Prisya dan menjadi punya pikiran yang semakin jauh akan hubungan antara Marsell dan juga Prisya.
"Lo merasa terganggu atau risih dengan semua ini?" tanya Marsell. Marsell juga mendengar perbincangan mereka sekarang, karena memang mereka membicarakan dengan nada yang masih cukup akan terdengar oleh orang yang mereka bicarakan.
Prisya menghentikan langkah kakinya. "Jujur, gue risih. Gue terganggu dengan apa yang mereka bicarakan, tapi gue udah gak terlalu memikirkan itu." Sekarang Prisya sudah masa bodo dengan apa yang sedang mereka bicarakan.
Entah memang Prisya sudah bodo amat dengan semua ini atau sekarang pemikiran Prisya sedang berjalan normal. Di mana Prisya tidak ingin memikirkan hal yang sama sekali tidak mengandung sebuah manfaat untuknya. Mencoba bodo amat dengan keadaan yang penat.
"Lo gak peduli dengan mereka yang tengah membicarakan lo, tapi kenapa lo bisa sampai peduli pada gue?" tanya Marsell dengan nada yang terdengar cukup datar serta serius.
Mendengar pertanyaan ini membuat Prisya berpikir dengan begitu serius, dirinya juga merasa kebingungan akan alasan yang dia miliki kenapa sekarang dirinya bisa sampai peduli pada Marsell. Apakah ada sesuatu hal yang membuat Prisya bisa sampai peduli pada Marsell?