"Sam, kenapa diam?" Sam mengerakan telapak tangannya di depan wajah Sofia. Seketika wanita ayu itupun tersadar dari lamunannya.
"Iya, Sam?" sahut Sofia tergeragap. "Aku tidak mungkin melakukan hal itu, Sam. Sekalipun semua orang yang ada di perusahaan ini sudah mengetahui hubungan kita, hanya saja untuk hak perusahan aku belum bisa melakukannya," tolak Sofia, mengigit bibir bawahnya, menatap lekat pada Sam.
Sam mendengus berat, kekecewaan tergambar jelas dari wajah lelaki itu. Satu tangan Sam menyetuh lembut pada bahu Sofia. "Kenapa sayang?" Sam menjatuhkan tatapan teduh pada Sofia. "Apakah kamu meragukan kepiawaianku mengurus perusahaan ini?" cetus Sam. "Aku sudah mengabdi hampir lima tahun di perusahaan ini sayang, jadi kamu tidak perlu meragukannya lagi kemampuanku," desak Sam.
Sofia semakin gugup, sesaat ia memperhatikan dua bola mata Sam yang menatapnya penuh keyakinan.
Tok! Tok!
Segera Sam menarik kedua tangannya dari bahu Sofia. Seorang wanita sedang berdiri di luar pintu ruangan Sofia. Nampak dari pintu yang terdapat kaca di bagian atasnya.
"Kita bicarakan hal ini nanti saja, ya, Sam!" Sofia mengenggam sesaat tangan Sam. Lelaki dengan wajah kecewa itupun hanya mampu mengangguk lesu. Sebelum meninggal ruangan Sofia, Sam menjatuhkan kecupan kecil pada kening wanita itu.
"Jangan lupa, transfer uang yang aku butuhkan ya sayang!" tutur Sam sebelum ia membukakan pintu ruangan.
"Iya!" ucap Sofia menghela nafas panjang.
"Selamat pagi, Pak?" sapa wanita berkerudung jingga saat Sam membukakan pintu ruangan Sofia.
Lelaki berhidung mancung dengan netra indah itu hanya menganggukkan kepalanya kemudian berlalu. Sikap angkuh Sak memang selalu seperti itu pada setiap karyawan. Lelaki itu terkenal dingin dan jarang bicara.
"Masuk, Raya!" panggil Sofia pada Raya yang berdiri di ambang pintu.
Raya meletakan setumpuk berkas di atas meja kerja Sofia. Sesaat wanita dengan setelan kerja yang duduk di hadapan Raya itu melihat pada tumpukan berkas yang ada di atas meja.
"Apa ini, Ray?" tanya Sofia mengeryitkan dahi mengalihkan tatapannya pada Raya yang telah duduk.
"Ini adalah berkas-berkas yang harus Tuan Nico tanda tangani. Seseorang mau membeli perkebunan itu sesuai dengan hutang-hutang yang perusahaan pinjaman ke Perusahaan Pak Santoso," jelas Raya.
"Apakah tidak bisa lebih, Ray?" Sofia menautkan kedua alisnya. Menjatuhkan tatapan getir pada Raya.
"Saya sudah berusaha melakukan negosiasi dengan orang tersebut, akan tetapi mereka terus menolak, Bu!" tutur Raya.
Sofia menghela nafas panjang, menyadarkan tubuhnya pada bangku untuk sesaat. Sorot matanya menerawang jauh dengan wajah berpikir.
"Siapa yang sudah membeli perkebunan itu, aku sendiri yang akan mencoba untuk melakukan negosiasi dengannya?" seloroh Sofia menarik tubuhnya ke dekat meja.
"Beliau adalah investor asing Bu, jadi tidak mungkin beliau datang ke Indonesia," ucap Raya. "Kami melakukan negosiasi lewat chat," imbuh Raya.
"Apa? Bagaimana mungkin dia percaya pada kita, tanpa melihat dulu perkebunan yang akan kita jual, Ray?" Sofia mengeryitkan dahi, membulatkan matanya.
"Beliau bilang, dulu pernah datang ke perkebunan Tuan Nico. Maka dari itu saat saya memasang iklan jika perkebunan itu di jual, beliau langsung ingin membelinya," jelas Raya, penuh keyakinan.
"Baiklah!" Sofia menarik sudut kanan bibirnya seraya mengangguk-angguk tanda jika ia mengerti.
"Jadi yang ibu harus lakukan adalah meminta tanda tangan Tuan Nico untuk berkas-berkas ini." Raya membuka tumpukan berkas yang ada di atas meja, menunjukan surat pemindahan kepemilikan perkebunan luas milik Nico yang ada di kota Bandung.
"Memangnya tidak bisa, kalau aku saja yang menandatanganinya?" tanya Sofia menatap lekat pada gadis muda yang duduk di hadapannya.
"Sepertinya tidak bisa, Bu, karena perkebunan itu adalah milik Tuan Nico. Sedangkan Tuan Nico masih ada jadi tidak mungkin untuk di wakilkan."
Sofia mendengus berat, seketika otaknya bergereliya mencari cara untuk membohongi Nico agar mau menandatangi berkas-berkas itu.
"Bu!"
Panggil Raya membuyarkan lamunan Sofia.
"Iya, apalagi, Ray?" ucap Sofia tergeragap.
"Tadi saya juga sudah menegosiasi pihak perusahaan Pak Santoso untuk memberikan tengang waktu pelunasan pinjaman perusahaan kita. Dan beliau menyetujui hal itu."
Semburat senyuman seketika tersungging dari kedua sudut bibir Sofia. Netranya nampak berbinar.
"Dan beliau memberikan estimasi satu minggu ke depan untuk melunasi semuanya," imbuh Raya dengan wajah senang.
"Huf! Sofia menghempaskan tubuhnya bersandar pada tempat duduk, wajahnya nampak berbinar dan lega.
"Kerja kamu hebat, Raya, baru beberapa bulan saja kamu bekerja di sini, kamu mampu menghandle semua permasalah pelik di perusahaan ini. Bulan depan aku akan memberikan kamu bonus." Sofia tersenyum lebar, semua masalah yang menganggu pikirannya telah selesai dalam satu hari.
"Terimakasih, Bu!" ucap Sofia menganggukkan kepalanya, tanda memberikan penghormatan pada Sofia.
______
Jendela kaca mobil yang membawa Sofia masih berembun. Hujan yang turun sepanjang hari, membuat kaca mobil itu menjadi buram, tidak jelas untuk melihat pemandangan yang ada di luar mobil.
"Mang Ujang, memangnya tadi hujan turun deras sekali, ya?" seloroh Sofia melirik pada lelaki yang berusia sekitar empat tahun itu dari kaca spion mobil yang ada di atas kemudi.
Sekilas Mang Ujang melirik pada Sofia dari kaca spion yang sama. "Iya, Bu tadi hujan turun sangat deras sekali," jawab Mang Ujang.
"Oh Iya Mang, kemarin Sam mengajak Mang Ujang pergi ke mana?" tanya Sofia.
"Oh, hari itu!" Sejenak Mang Ujang terdiam, wajahnya nampak berpikir. "Tuan Sam hanya minta diantarkan makan di restoran saja, Nyonya!" ucap Mang Ujang, ekor matanya beberapa kali melirik pada Sofia.
"Kalian pergi sama siapa saja, Mang? Tumben Sam makan di restoran sendirian," celetuk Sofia tidak biasa.
"Sendirian Nyonya, hanya saya dan Tuan Sam." Wajah Mang Ujang nampak gugup, ekor matanya lagi-lagi melirik pada Sofia yang nampak mempercayai ucapannya.
Satu jam perjalanan akhirnya mobil yang membawa Sofia tiba di depan rumah berlantai dua milik Nico. Lelaki yang memilih kesederhanaan meskipun sudah bergelimpangan harta.
"Bik, di mana Tuan Nico?" seloroh Sofia saat melihat ART di rumahnya sedang beberes di ruang tamu.
"Tuan, Nico ada di dalam kamar, Nyonya!" balas Bibik.
Sofia segera berlalu menuju lantai atas. Membuka pintu kamar yang tertutup, nampak Nico tengah meringkuk di atas ranjang. Sekilas Sofia melihat pada beberapa obat milik Nico yang tergelatak di atas nakas samping ujung ranjang.
"Sepertinya Mas Nico masih berada di dalam pengaruh obat tidur," guman pelan Sofia. Ia meletakan tumpukan berkas yang ia bawa dari kantor di atas meja yang berada di dalam kamar luas itu.
"Baiklah, aku tunggu saja Mas Nico bangun. Nanti aku baru akan membujuknya untuk menandatangi berkas-berkas itu," ucap Sofia berjalan ke arah kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.
____
Bersambung .....