Sam mendengus berat melihat kebodohan Sofia. Wanita itu nampak menyesali keteledorannya.
"Sayang, sejak kapan kamu pulang? Aku tidak mendengar suara mobilmu!" imbuh Nico, mengulas senyuman pada kedua sudut bibirnya.
"I-iya Mas, aku baru saja datang!" lirih Sofia seraya mengigit bibir bawahnya.
"Oh ... Dengan siapa kamu pulang, sayang?" cerca Nico.
"Aku pulang naik taksi, Mas!" kilah Sofia.
"Oh, aku kira kamu pulang bersama Sam," tutur Nico mengangguk-angguk.
Sam yang berdiri di belakang Sofia mendengus berat. Wajahnya nampak sangat kesal sekali.
"Tidak Mas, Sam sedang ada meeting di kantor," seloroh Sofia melirik pada Sam yang kesal. "Aku tidak ingin supir baru Mas, kan di rumah ini sudah ada Mang Ujang," debat Sofia.
"Mang Ujang kan sudah tua, sayang, Mas takut jika terjadi apa-apa di jalan sama kamu. Apalagi kamu sekarang sering keluar kota, Mas takut jika kamu bawa mobil sendirian." Nico mengarahkan tatapannya pada Sofia yang mematung tidak jauh dari pintu. Meskipun dengan tatapan mata kosong.
Sam menyetuh lembut bahu Sofia yang meradang.
"Jangan bilang karena sudah ada Sam ya, sayang?" celetuk Nico membuat Sofia semakin gugup, wajah putihnya seketika bersemu merah.
"Bu-bukan begitu Mas!" Sofia berdecak kesal. Nico dapat mendengar keluh wanita itu.
"Baiklah, jika kamu tidak mau. Biar si Jodi jadi sopirku saja. Lagi pula saat Mang Ujang mengantarkan kamu aku juga kebingungan mencari orang yang bisa mengantarkan aku saat aku jenuh berada di rumah. Tapi saat kamu pergi ke luar kota, Jodi harus ikut dengan kamu," cetus Nico memberikan penekanan pada ujung kalimatnya.
Sofia menghela nafas panjang. Melirik pada Jodi yang terperangkap dalam situasi yang sulit itu.
"Terserah kamu saja, Mas. Aku mau pergi ke kantor lagi. Ada meeting dengan Pak Suryo," decih Sofia kesal, melangkahkan kakinya menuju pintu keluar diikuti Sam di belakang punggungnya.
_____
Nico masih berpura-pura tidak melihat di depan supir barunya. Ia meminta di antarkan ke rumah Pak Aris, sekertaris kepercayaan Nico yang sudah Sofia pecat karena telah meminta dokter penganti untuk melakukan operasi pada Nico, yang justru mendatangkan kesembuhan untuk Nico.
"Tuan, kita sudah sampai di kompleks perumahan indah nomor 201, tapi kenapa rumahnya sepi sekali ya, Tuan?" tutur Jodi mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah berlantai dua yang ada di hadapannya.
Nico sebenernya menyadari jika rumah yang ia berikan pada Sekertaris Aris sebagai inventaris itu nampak sepi dari luar pagar. Namun, nampak sebuah mobil terparkir di dalam garasi rumah tersebut.
"Saya mau turun Jodi," pinta Nico.
"Baik Tuan!" Jodi yang sedari tadi memperhatikan Nico dari kaca spion mobil bergegas turun dan membukakan pintu mobil untuk Nico lalu membantu lelaki itu masuk ke dalam rumah.
Tok! Tok!
Jodi mengetuk daun pintu rumah berlantai dua yang berada di perumahan elite tersebut. Sementara Nico menunggu di belakang punggung Jodi.
"Siapa?" seorang lelaki bertubuh tinggi besar muncul dari balik pintu rumah yang terbuka.
Deg!
Nico terkejut, melihat sosok lelaki yang muncul di balik pintu rumah yang terbuka itu bukanlah Pak Aris, sekretaris pribadinya.
"Orangnya sudah keluar, Tuan!" tutur Jodi.
Nico mengukir senyuman, meskipun ia tahu lelaki yang berdiri di dalam pintu itu bukanlah orang yang ia cari.
"Selamat siang, maaf menganggu waktunya," ucap Nico ramah.
Lelaki yang berdiri di ambang pintu itu sedari tadi memperhatikan Nico dengan tatapan aneh.
"Iya, selamat siang!" jawabnya melihat dari ujung kaki hingga ujung kepala Nico.
Nico mengisyaratkan gurat wajah berbeda. "Maaf, apakah Pak Aris ada?" tanya Nico.
"Pak Aris, Aris siapa ya, Pak?" balas lelaki itu mengeryitkan dahi.
"Pak Aris yang tinggal di rumah ini!" seru Nico.
"Maaf, saya tidak mengenal Pak Aris dan saya menyewa rumah ini sudah dua minggu yang lalu," tutur lelaki itu.
"Dari siapa ya, Pak?" tanya Nico.
"Dari Pak Samantha."
Alis Nico seketika saling beradu. Wajahnya sedikit menegang. Beberapa kali ia menghela nafas panjang untuk meredam gemuruh yang ada di dalam dada.
"Baiklah, mungkin saya salah' orang!" tutur Nico tersenyum sinis.
"Iya Pak!" balas lelaki yang ada di dalam pintu.
Sepanjang perjalanan Nico hanya terdiam dengan wajah berpikir. Beberapa kali Jodi melirik pada Nico dari kaca spion yang ada di atas kemudi.
"Kasian sekali, sudah buta di hianati istrinya lagi!" gumam Jodi dengan suara pelan menatap iba pada Nico.
"Jodi, apakah kamu bicara sesuatu?" celetuk Nico membuat Jodi tergeragap. Ia kira Nico yang sedari tadi melamun, sama sekali tidak mendengar ucapannya.
"Ti-tidak, Tuan! Mungkin saja Tuan salah dengar," jawab Jodi terbata. "Tuan, ini kita mau kemana lagi?" seloroh Jodi.
"Aku lapar, mampir ke Solaria saja," jawab Nico.
"Baik Tuan!" balas Jodi mengangguk, satu kakinya segera mengijak pedal gas cukup dalam dan melajukan kemudi dengan kecepatan sedang.
Tiga puluh menit mobil yang Jodi kendarai akhirnya tiba di depan sebuah restoran cepat saji yang ada di ibu kota.
"Pilih bangku yang ada di sudut ruangan, Jodi! Saya malas bertemu dengan siapapun," seru Nico.
"Baik, Tuan!" balas Jodi. Nico mengedarkan pandangannya ke sekeliling restoran yang cukup besar itu.
"Ada, Tuan!" jawab Jodi. Nico mengangguk dan siap mengarahkan tongkatnya pada bangku yang ada di sudut ruangan.
Beberapa saat kemudian, seorang pelayan datang menghampiri meja Nico. Setelah memesan, kedua lelaki itu nampak menunggu. Nico hanya terdiam dengan wajah berpikir sementara Jodi nampak sibuk dengan gawainya.
"Jodi, jika istri saya menanyakan sesuatu padamu, jangan katakan jika kita pergi ke perumahan tadi," celetuk Nico membuat Jodi tergeragap. Hampir saja ponsel yang ada di tangannya itu terjatuh.
"I-iya, Tuan!" balas Jodi terbata. Sesaat sorot matanya melihat pada Nico dengan tatapan aneh. Tapi Jodi, tidak peduli. Bagi Jodi Nico hanyalah lelaki buta. Jodi kemudian kembali mengalihkan tatapannya pada ponsel yang ada di tangannya.
"Silahkan Tuan!"
Pelayan wanita itu meletakkan semua pesanan Nico di atas meja.
"Terimakasih!" balas Nico.
Dengan meraba Nico mengambil piring, lalu mengisi piring tersebut dengan steak yang baru matang.
Jodi memerhatikan Nico, ia nampak heran melihat Nico bisa melakukannya sendiri.
"Jodi, kenapa kamu hanya terdiam?" ucap Nico yang tidak mendengarkan suara dentingan sendok Jodi. Padahal Nico sadar jika Jodi sedari tadi hanya memperhatikannya.
Jodi terkejut. "I-iya Tuan!" Jodi terbata. Ia segera meraih piring dan mengisinya dengan makanan yang berada di atas meja.
"Jangan heran jika aku bisa melakukan semuanya sendiri, Jodi. Selama satu tahun ini aku sudah membiasakan melakukan apapun sendiri," tutur Nico membuat Jodi kagum.
Jodi menarik kedua sudut bibirnya tersenyum kecil. "I-iya Tuan!" balas Jodi.
Nico nampak menikmati makanannya. Satu tangannya menyuap potongan daging yang sudah ia potong kecil-kecil ke dalam mulut. Bagitu juga dengan Jodi, pemuda itu nampak sangat lahap sekali.
Gerakan tangan Nico sesaat menelan, sorot matanya tertuju pada dinding kaca restoran yang sekelilingnya di batasi oleh kaca.
"Sam!" batin Nico memperhatikan lelaki yang sedang berjalan dengan seorang wanita dengan perut berisi. "Siapa wanita itu, mengapa aku tidak pernah melihatnya." Nico memperhatikan dengan seksama, takut jika penglihatannya sedang berbohong.
_____
Bersambung ....