"Aku gak mau kita putus!" Suara itu terdengar tegas dan mantap tidak akan goyah walau badai menghadang.
"Tapi, aku udah dijodohin sama Papi," ucap Dean dengan putus asa. Dia menatap kekasih-nya atau mantan kekasihnya karena baru saja dia memutuskannya secara sepihak, mereka sudah tidak bisa melanjutkan hubungan keduanya ini. Orang tuanya sudah memilihkan pria lain yang katanya lebih baik dari kekasihnya ini. Padahal, kurang apa kekasihnya. Dia cowok tampan, yang sekali lirik wanita atau pria bisa tunduk padanya tetapi, sayang beribu sayang pria ini malah cinta mati padanya, mengejarnya tanpa lelah.
Sebenarnya hubungan mereka pun baru seumur jagung. Baru berjalan satu bulan, belum melakukan hal lain seperti kencan penuh seharian atau berciuman di bawah langit malam. Mereka baru saja ditahap pegangan tangan, kecup pipi kanan kiri saja bahkan, jalan-jalan saja hanya bisa disekitar kampus atau makan bareng pun tidak akan jauh dari tempat kegiatan masing-masing. Keduanya pun sibuk dengan kuliah dan pekerjaan masing-masing. Hatinya pun masih sedikit tak rela, mereka belum bahagia dan belum tentu juga tunangannya akan setampan kekasihnya ini tapi, ….
"Aku gak peduli! Karena yang kamu cintai itu, aku."
"Tara."
Lihat saja saat ini diputuskan saja tidak mau, didua-kan saja tidak keberatan. Kurang baik apa lagi kekasihnya ini. Ah, jangan salah dia seorang model dan sudah sangat mapan hasil usaha sendiri. Rumah, Apartemen, mobil bahkan, sudah berhasil juga mengangkat derajat keluarganya. Tidak berllebihan tiap kali liburan kekasihnya akan memboyong keluarganya liburan ke luar negeri. Bukankah itu menunjukan jika, dia memang pria yang bertanggung jawab dan layak dipertahankan. Sebenarnya, apa yang kurang dari kekasihnya ini? Sampai orang tuanya memilih orang itu.
Tara menghela lalu, menarik tangan Dean meremasnya lembut. "Aku percaya kita bisa pertahanin cinta kita ini, Dean. Mari kita berjuang, Sayang."
Dean sendiri merasa bingung dan cukup sedih, apa yang dilakukannya dengan memilih putus dengan Tara tidak akan membuatnya menyesal? Apa calon tunangannya benar-benar lebih baik seperti yang dikatakan orang tuanya dalam semua aspek? Ah, dirinya sendiri belum bertemu dan tidak bisa menilainya sesuai perkataan orang tuanya saja tapi berbeda, kekasihnya yang ini sudah jelas. Dia tampan dan baik hati, tepat berada di depannya. Menggenggam tangannya, mengatakan cinta padanya dan bukan tidak mungkin juga, akhirnya akan memberikan kebahagian untuknya.
"Yah, aku pasti akan bicara lagi dengan kedua— " Tiba-tiba perkataan Dean terputus, dia diam seakan terpesona. Seseorang baru saja datang.
Tak … tak … tak
Terdengar suara sepatu pentofel itu kian mendekat, sinar matahari tampak datang menyinarinya dari arah belakang punggungnya membuat seolah-olah sosoknya dikelilingi cahaya dan senyuman manisnya seakan –akan menggetarkan semua orang yang melihat. Sangat-sangat tampan pria ini bak Dewa Zeus. Dewa dari pada dewa. Terlalu silau tetapi, siluetnya terlalu sempurna. Rambut hitam, wajah oval dengan mata dan alis yang tegas, hidung mancung, bibir tebal dan merah segar persis seperti buah Plum.
"Halo, Dean!" sapanya, dengan senyuman yang terlihat lebih tampan dari sebelumnya. Dia berdiri di depan Dean dengan tangan terulur untuk berjabat tangan.
"Siapa?" tanya Dean, yang gugup dan merasa belum pernah melihatnya apalagi berkenalan. Tidak mungkin orang setampan ini akan dilupakan dengan mudah. Wajah tampan adalah yang paling berharga.
"Senang bertemu denganmu, Aku … Reygan Adnan calon suami kamu?!"