"Apa-apaan pengacara itu! Dia sepertinya akan menguasai harta Kak Mahardika sendirian suamiku?!"
Zalina terus menggerutu, lantaran tidak terima di usir oleh Surya Kencana, sang pengacara yang setia mengabdi pada Mahardika.
"Sudahlah, Istriku! Lagi pula kita masih diperbolehkan mengurus Perusahaan Mahardika Group, untuk aula balet itu ya tidak apa-apa lah di kelola Oleh Orang lain!"
"Kamu ini bagaimana? Justru Aula baletlah yang jadi sumber penghasilan terbesar Kak Mahardika, itu bukan hanya Aula balet, tapi gedung kesenian yang tersohor di negeri ini, kenapa kau tidak pernah paham sih!" kesal Zalina terhadap suaminya.
"Sudahlah, ayo kita pulang! Untuk Gedung kesenian kita pikirkan lagi!" Darwin menyela ucapan Istrinya.
Zalina dengan Darwin meninggalkan rumah kediaman Surya Kencana, mereka memasuki mobilnya kemudian pergi dari rumah pengacara terkenal itu.
"Darwin-Darwin... kenapa kau tidak pernah berubah, pantas saja Tuan Mahardika mengkhawatirkan Putrinya, untung saja beliau sudah mengamankan hartanya!" ucap Surya Kencana menggeleng kepalanya menatap kepergian Darwin adik kandung dari Almarhum Mahardika.
Malam itu, Zalina dengan Darwin sangat kesal, rencananya gagal total. Mobil yang di kendarai Darwin dengan istrinya kini telah sampai di Mahardika Mansion.
Zalina melangkahkan kaki memasuki rumahnya mendahului Darwin. "Sial, capek-capek menemuinya, Pengacara menyebalkan itu malah menolak menyerahkan surat kuasanya!" kesal Zalina, terus menggerutu sambil melangkahkan kakinya memasuki mansion megah milik almarhum kakak iparnya.
"Bukan hanya kamu yang kesal Istriku, saya juga sangat kesal!" tukas Darwin meraih gagang pintu, lalu membuka pintu utama rumah megah itu.
Pada saat mereka berdua masuk, di ruangan keluarga Riana putri mereka sudah menunggu kedatangannya. "Astaga, kalian dari mana saja? Aku menunggu kalian, Mam's... Dad's!" ucap Riana sambil menyilang kakinya, menatap kedatangan kedua orang tuanya.
Zalina menatap pada putrinya, dia memijat kepalanya. "Hah! Mama haus, tolong ambilkan air minum!" perintahnya sambil meletakkan pantatnya, di sofa.
"Ambil sendiri Mam's, atau enggak suruh saja Si Yunita, dia kan Pembantu di sini!" gerutu Riana, kesal.
"Ya, kamu benar! Di mana dia?" tanya Zalina mengitarkan pandangan ke sekeliling. Namun, Yunita tidak ada di sekitarnya.
Sementara Darwin lebih memilih menemui keponakannya, Darwin masih belum menyerah untuk mendapatkan semua aset kekayaan kakaknya. Dia berniat membujuk keponakannya, agar meminta surat wasiat Mahardika, dari tangan Surya Kencana.
Tok! Tok! Tok!
Marcella belum tidur, dia masih duduk di kasur dalam kamarnya, sedang berpikir tentang langkah yang akan dia ambil selanjutnya. Tiba-tiba saja tatapannya beralih pada pintu kamar yang di ketuk oleh seseorang.
"Siapa?" Marcella sedikit mengeraskan ucapannya.
"Ini Om Marcella!" jawab Darwin masih berdiri didepan pintu kamar Marcella.
Marcella segera bersiap-siap, dia kembali berpura-pura buta, ketika berhadapan dengan Darwin.
Marcella sangat bingung dengan kedatangan Darwin ke kamarnya, padahal, selama ini Darwin tidak pernah menemuinya. Bahkan, Darwin seperti tidak peduli padanya.
'Om Darwin... tumben sekali dia mau menemuiku di kamar?' batinnya bertanya-tanya. Marcella secepatnya bangkit, lantaran dia tidak mau Omnya itu curiga padanya, jika dia hanya berpura-pura buta selama ini.
"Marcella! Sayang... keponakan tercinta Om, buka pintunya sayang!" Darwin merayu Marcella, dengan tutur kata lembutnya.
"Iya, Om. Sebentar!" Marcella segera berjalan dengan tongkat di tangannya.
C'klek!
Pintu kamarnya dibuka oleh Marcella, akan tetapi matanya menatap ke arah lain, seolah-olah Darwin tidak terlihat olehnya.
"Om... benarkah itu Om?"
"Iya sayang... ini Ommu, Darwin!"
Kemudian Marcella mempersilahkan Darwin memasuki kamarnya. "Ayo Om, masuk!" ajaknya.
"Ya, terima kasih Marcella!" Darwin memasuki kamar Marcella yang dahulu adalah gudang, Darwin mengitarkan pandangan ke sekeliling kamar keponakannya.
"Tumben Om mau masuk kamarku?" Marcella senagaja mengalihkan perhatian Darwin.
"Eum... enggak sayang, Om hanya ingin berbicara denganmu saja!"
"Maaf, Om mau membicarakan tentang apa ya, dengan Cella?" Marcella semakin curiga terhadap Darwin, dengan gerak geriknya.
"Om hanya ingin minta maaf, karena selama ini Om kurang memperhatikanmu. Bahkan, Om pun nyaris tidak tahu kegiatan kamu setiap hari," Darwin duduk di kasur dalam kamar Marcella, sambil memijat keningnya, dan berpura-pura menangis.
Marcella tidak suka dengan sikap munapik Omnya itu, Marcella berusaha menahan kekesalannya, dia tidak mau gegabah, terlebih lagi Marcella hanya sendirian di Rumah megah ini.
Marcella pun berpura-pura baik pada Darwin, dia tidak menunjukkan sikap tidak sukaannya. "Om... kamu kenapa menangis?" Marcella menggerakkan tangannya, memapar wajah Darwin, dan menyeka air matanya.
'Kau pikir aku akan tertipu oleh akal bulusmu Om? Benar-benar tidak tahu diri!' gumamnya membatin, dengan tangan yang masih meraih kedua pipi Omnya.
HIKS!!!
Darwin pura-pura sedih, agar di kasihani oleh Marcella. "Plish Om, jangan menangis!" ucap Marcella
"Om sangat sedih Marcella, Om kasihan, sama kamu Cella!" lirih Darwin.
"Kenapa Om harus kasihan pada Cella Om? Cella kan hanya Keponakan Om, jadi kenapa harus kasihan pada Cella!" ucap Marcella berpura-pura baik. "Lagi pula, ini sudah nasib Marcella jadi seperti ini!" lanjutnya.
"Bagi Om, kamu bukan hanya keponakan, tapi sudah Om anggap seperti Anak sendiri!" lirih Darwin, berusaha meluluhkan hati kecil keponakannya
"Tentu saja Om menganggapku seperti Anak Om sendiri, Cella pun anggap Om sudah seperti Papa sendiri, apalagi Om Adiknya Papa!" timpal Marcella.
Darwin tersenyum setelah mendengar penuturan dari Marcella, wajah yang semula dibuat terlihat sedih, tiba-tiba saja terlihat sumringah. "Benarkah, yang kau rasakan sama seperti Om?"
"Ya, apa yang Cella rasakan, sama seperti yang Om Rasakan. Memangnya kenapa Om?" Marcella sengaja mengulur waktu obrolan dengan Darwin, padahal Marcella sudah tahu arah pembicaraan Darwin akan ke mana.
Darwin menangkup kedua tangan Marcella, dia berusaha membujuk Marcella. "Begini Marcella... Om inginkan kamu meminta surat wasiat yang telah dibuat oleh Papamu, Om takut Pengacara Papamu itu membalik nama semua aset Papamu, Om hanya ingin memperjuangkan hak kamu, sebagain Anak dari Kak Mahardika!" bujuknya.
'Susah dapat kupastikan, jika dia berbaik hati seperti ini padaku, pasti ada maunya!' kesal Marcella dalam hatinya.
"S-surat kuasa?" Marcella berpura-pura tidak tahu soal surat wasiat sang papa. "Justru Marcella baru mengetahui ini dari Om, Cella tidak tahu, kalau Papa meninggalkan surat wasiat untuk Cella!" imbuhnya lagi.
Kemudian Marcella melanjutkan ucapannya. "Kalaupun Surat itu ada, bagaimana Cella akan membacanya Om?" tanya Marcella.
Darwin menelan ludahnya, sambil memijat kepalanya, dia melupakan sesuatu jika Marcella sekarang mengalami kebutaan. 'Sial... benar juga yang dia katakan!' gumam Darwin dalam hatinya.
Sejak tadi Yunita berdiri dibalik pintu kamar Marcella, menguping percakapan Darwin, dan Marcella. Namun, Yunita tidak benar-benar sengaja mengupingnya. Dia berdiri dibalik pintu kamar Marcella untuk mengantarkan makanan.
"Permisi Tuan... Nona!" Yunita berpura-pura tidak tahu.
"Ya," Darwin menoleh.
"Saya mau memberi makan Nona Marcella dulu Tuan, tolong jika ada keperluan lain, tanyakan saja sesudah Nina Marcella makan!" secara tak langsung, Yunita mengusir Darwin dari kamar Marcella.
Bukan tanpa sebab Yunita mengusir Darwin, itu semua karena Yunita tidak ingin Darwin mengbil alih kekayaan yang di tinggalkan Mahardika untuk Putrinya.
Bersambung...