"Maaf, Ra. Tapi kita gak bisa ngelanjutin hubungan ini lagi. Kamu tau kan aku gak mungkin ngelawan orang tua aku?"
Sakura menatap hampa pria yang sudah 1 tahun ini menemani dirinya. Menjadi orang yang spesial di hatinya. Begitupun sebaliknya.
Iya, kan?
"Jokes kamu garing tau gak."
Sakura mencoba untuk tertawa. Walau yang terdengar justru suara tawa sumbang. Terlebih melihat ekspresi wajah kekasihnya yang penuh penyesalan.
Oke. Ini benar-benar tidak lucu untuk hati Sakura.
Detik berikutnya tawa Sakura meredam. Di gantikan oleh hembusan napas berat dari sela-sela giginya, saat menyadari keseriusan dalam raut kekasihnya. Mencoba mengalihkan pandangannya ke samping mejanya dan mendapati seorang pemuda tengan memperhatikan mereka.
Memperhatikannya.
Dan saat ini Sakura masa bodoh dengan hal lain. Hubungannya lebih penting ketimbang memperhatikan anak laki-laki itu.
Sakura menggenggam tangan pria di depannya. Meremasnya dengan hati getir. "Tapi kamu bilang kalau kamu cinta aku." Dia mengguncang tangan itu. "Kamu cinta aku kan, Vano?"
"Sakura, aku emang cinta--"
"Bohong. Kalau cinta kenapa gak di pertahankan? Kenapa kamu gak mertahanin cinta kita?"
"Aku di jodohin, Ra. Aku cinta sama kamu. Tapi aku lebih cinta keluarga aku. Aku gak mau durhaka sama mereka. Kamu paham kan maksud aku?"
Ya, Sakura paham. Tapi kenapa mendadak seperti ini? Di saat hati lagi sayang-sayangnya?!
"Kalau kamu di posisi aku, kamu pasti juga ngelakuin hal yang sama, Ra."
"Tapi--"
Ucapan Sakura terpotong oleh suara wanita yang berjalan ke arah meja mereka.
"Hei, Vano."
Serentak, mereka menoleh ke sumber suara. Sakura mendongak, melihat seorang wanita cantik dengan dandanan yang agak berlebihan dan pakaian kasual.
Wanita itu tersenyum manis. Dan Vano segera menarik tangannya yang Sakura genggam dengan cepat, berdiri, lalu memberikan ciuman pipi pada wanita itu.
Sakura menahan diri untuk tidak menyiram mereka berdua dengan es kopi hazelnut miliknya. Dia tidak ingin mempermalukan dirinya sendiri di depan pelanggan lain. Seakan-akan dirinya korban pelakor.
Walau secara tidak langsung kenyataan itu memang sedang terjadi.
"Maaf lama. Tadi ada urusan bentar."
Vano mengangguk dan tersenyum. Sakura mengalihkan netranya ke depan. Mengabaikan perasaan cemburu yang melingkupi hatinya. Rasa sakit di dadanya...
"Gak apa-apa."
...tapi nyatanya dia tidak bisa.
Sakura berdiri. Meraih salah satu lengan Vano. Menariknya lembut. Mencoba memberi kode agar mereka tidak berdekatan seperti itu. Tatapannya menjadi pilu saat Vano melepas pegangan tangan sakura dari lengannya.
"Vano--"
"Sakura. Ini Dila. Calon istri aku." Vano memotong ucapan Sakura sekaligus memperkenalkan kedua wanita itu, "Dan Dila, ini Sakura, mantan pacar aku."
Sakura tidak bisa lagi memendam lebih lama air mata yang sedari tadi dia tahan. Apa-aaan? Dia bahkan belum mengiyakan permintaan Vano, tapi pria itu justru mengatakan seakan-akan bahwa mereka sudah lama berpisah.
Tapi karena ke sangsiannya, Sakura hanya menunduk menyembunyikan air matanya dan kembali duduk. Mencecap minumannya sambil lalu.
"Pergilah." Mengibaskan sebelah tangannya, yang di beri kutek warna kulit, ke udara. "Semoga kalian bahagia."
Vano terdiam. Entah reaksi apa yang harus dia berikan. Dan akhirnya hanya ucapan 'terima kasih' dan 'maaf' yang terlontar. Lalu Vano dan Dila berjalan beriringan dengan saling menggenggam tangan satu sama lain.
Meninggalkan duka di hati Sakura. Yang diam-diam, menahan teriakan tangisnya dalam bekapan tangannya. Bahunya bergetar. Hatinya terguncang.
Kenapa semuanya jadi seperti ini?
Apa kesalahannya hingga Tuhan memberikan ujian yang begitu besar dan berat seperti ini?
Untuk beberapa saat, Sakura hanyut dalam lamunannya. Mencoba untuk menerima apa yang terjadi. Memberi dorongan kuat untuk dirinya sendiri karena telah di campakkan oleh salah satu orang yang dia cintai.
Dan tanpa disadari, hal itu tidak pernah lengah dari pandangan pemuda di sampingnya.