Dua minggu yang lalu.
Tepat saat penyambutan mahasiswa baru, atau biasa disingkat MABA. Acara yang dilaksanakan selama empat hari tersebut berlangsung sangat meriah. Semua MABA dari berbagai jurusan yang berjumlah lebih dari 6000 orang memadati Dome milik Kampus, salah satu gedung terbesar di kota.
Dihari pertama, saat semua peserta telah duduk di kursi masing-masing dalam Dome dengan auditorium super besar tersebut. Ada salah satu anak yang datang terlambat. Jalannya yang sangat santai dan tenang membuat beberapa panitia geram sambil berteriak.
"Hei, kamu, sudah jam berapa ini!" Salah satu panitia membentaknya. "Bisa jalan gak? Laki-laki kok lembek gitu." Panitia perempuan ikut membentaknya. "Yang cepat dek, acara sudah di mulai tuh." Perempuan yang lain ikut juga.
Teriakan-teriakan itu tetap dihiraukannya, jalannya masih begitu tenang. Saat anak bermasalah tersebut hendak menuju pintu masuk, tiga panitia dengan tubuh yang berfariasi menghadangnya, dari belakang dua panitia perempuan ikut menghadangnya.
"Kamu tau acaranya jam berapa?" Bentak panitia yang terlihat paling garang. "Tau." Jawabnya begitu santai. "Jam berapa?" yang lain kembali bertanya. "Jam 7 pagi." Masih dengan nada sama.
"Sekarang jam berapa?" panitia mulai menggeram.
"Jam 8 pagi." Tetap sama, santai.
"Sekarang sudah terlambat apa belum?" dengan raut wajah amat kesal.
"Terlambat." Jawabannya sedikit acuh.
"Kalau tau terlambat kenapa jalannya masih santai aja!" Seakan mau meledak.
"Kakak-kakak sekalian yang terhormat, sudah tau aku terlambat, kenapa malah dihadang."
Mendapat tanggapan seperti itu, penitia yang menghadangnya sedikit geram dan malu. Lantas, membiarkannya masuk ke dalam gedung. Bahkan para panitia yang dari tadi hanya melihat, ikut geli dengan jawaban yang sangat berani tersebut. Sebagian diam, sebagian Tersenyum, sebagian menggeram, sebagian acuh.
"Tunggu dulu, siapa nama dan dari fakultas mana? Selesai acara akan kami panggil untuk diberikan hukuman."
"Eden, Fakultas Sastra."
Tepat pukul 12.00, saat matahari berada dalam titik tertinggi, semua MABA keluar dari gedung, menuju tempat parkir kendaraan yang sangat luas, persis disamping gedung. Pohon-pohon besar membuat tempat tersebut tidak terlalu panas, kecuali bagian tengah tempat parkir yang kosong. Seorang panitia dengan tanda pengenal pengawas, berdiri tepat ditengah tempat parkir, dengan lantang dia memanggil sebuah nama dengan teriakan yang sangat nyaring.
"Yang bernama Eden, dari fakultas Sastra! Cepat kesini!'
Orang-orang saling memandang, memperhatikan sekitar. Lalu, semua mata terfokus pada salah satu yang berjalan dengan santai dan tenang ke tengah tempat parkir. Cara berjalannya itu membuat orang-orang terpana dan juga merasa kasihan.
Dia akan dimarahi habis-habisan!
"Kau tau apa kesalahanmu?"
Eden hanya diam saja, sambil memandang sekeliling.
"Punya mulut apa tidak! Jawab pertanyaannya."
"Mungkin terlambat?"
Orang-orang yang mendengarnya sedikit geli dan juga kagum dengan keberanian anak tersebut. kemudian datang beberapa panitia pengawas yang mulai geram. Bahkan panitia perempuan juga mulai ikut ketengah lapangan.
Suasana yang sedikit tenang, satu mahasiswa baru berhadapan dengan enam panitia pengawas dengan pita merah dilengan kiri mereka, yang menandakan bahwa mereka adalah panitia paling galak.
"Kenapa ini jadi seperti perkelahian sepihak."
"Diam, kau menjadi maba yang bermasalah sekarang."
Eden kemudian diam, dia memperhatikan setiap mata didepannya yang sedang menatap dengan marah dan jengkel, atau tidak suka. Dipandangi lagi sekeliling, masih banyak orang yang melihat kearahnya.
"Yah, mau bagaimana lagi." Mata Eden balik menatap keenam panitia tersebut, dengan tatapan yang sangat dingin, membuat keenam panitia tersebut merasakan ketakutan yang datang secara tiba-tiba.
"Kalian semua hanya orang-orang yang tidak punya keberanian dan harga diri. Dua pria yang suka menonton vidio porno sambil onani, satu wanita murahan yang menjual dirinya kepada hidung belang. Satu pria yang memacari dua wanita lainnya dan menidurinya bergantian setiap malam."
Sekarang keenam panitia tersebut terdiam seribu bahasa, mimik wajah merekan tidak menyangkalnya, sekaligus bingung.
"Ba...bagaimana kau bisa tau?" "Dasar bodoh, siapa yang menyuruhmu bicara? Dasar tukang onani." Mereka semua lalu menunduk begitu dalam, sambil mengucurkan keringat yang sangat deras. "Sebagai peringatan akan kubiarkan kalian. Tapi lain kali, semua itu akan menyebar sampai lebih baik mati dari pada menanggung malu."
Dengan senyum tipis, Eden berjalan meninggalkan mereka berenam yang masih berdiri mematung. Pikiran yang saling bertanya kenapa rahasia mereka bisa diketahui oleh orang yang baru mereka temui hari ini. Saat mereka sadar semua orang telah mengalihkan pandangan kearah mereka, dengan langkah tegap dan muka galak yang semakin di buat-buat, keenam panitia tersebut berjalan kearah ruang panitia.