Aku menggenggam buket bunga itu dengan kedua tanganku. Tanpa mendongak, aku berucap dengan begitu lirih. "Kenapa harus sekarang Ga?" Genggamanku pada buket bunga itu semakin erat, dengan perasaan jengkel aku mendongak dan menatap wajah yang selalu beraut datar, tapi kini tengah tersenyum hangat padaku.
"Kenapa harus sekarang lo perlihatin perasaan lo? Kenapa harus saat gue udah mulai ngelupain lo? Kenapa, Ga? Kenapa?!" pekikku dengan begitu keras, hingga dia bahkan tersentak.
Selanjutnya senyumnya luntur dan dia hanya diam, tapi tidak denganku. Aku sangat merasa jengkel dengannya. Aku sudah berusaha mendekatinya sejak lama, awalnya dia memang meresponku dengan baik bahkan cukup perhatian padaku, tapi lama-lama dia mulai cuek dan selalu mementingkan cewek lain dibanding aku.
Hingga akhirnya aku menyerah, dan mulai melabuhkan hati ke cowok lain, tapi dia malah dengan santainya kembali masuk dalam hidupku dengan membawa sejuta perhatian yang belum pernah dia berikan sebelumnya. Sungguh menyebalkan bukan?
"Apa maksud lo lakuin semua ini, hah? Apa lo emang sengaja ingin mempermainkan perasaan gue? Jawab Ga! Jawab!"
Bibirnya mulai terbuka hendak bersuara, sepertinya dia terlihat sangat sulit mengatakan apa yang dia ingin katakan. Aku menanti kata-kata dia dengan mata yang memanas. Oh, ayolah air mata, kumohon jangan jatuh sekarang!
"G--gue ... minta maaf," lirihnya.
Apa-apaan itu? Dengan mudahnya dia meminta maaf. Sungguh menyebalkan! Dengan perasaan kesal aku memukulnya dengan buket bunga yang diberikannya padaku tadi.
"Gue tahu gue salah, Zi. Gue tahu gue emang brengsek, tapi gue mohon dengerin penjelasan gue dulu. Kasih gue kesempatan Zi, buat gue perbaikin semuanya. Gue mohon Zi," pintanya sembari menggenggam kedua tanganku.
Belum sempat aku menjawab, seseorang sudah lebih dulu menyela.
"Lebih baik lo pergi aja! Zizi udah jadi milik gue!" Aku tersentak begitu Vino melepaskan tangan Rangga dari tanganku dengan begitu kasar. Cowok yang tiba-tiba saja datang itu menarikku ke dalam pelukannya, dia berbisik lirih. "Nangis aja, Zii."
Aku menurut. Aku memeluknya dengan begitu, wajahku kutenggelamkan ke dadanya agar tangisku tidak terlalu terdengar. Aku mendengar Rangga memanggilku lirih, tapi tidak kupedulikan.
Aku memang masih mencintai Rangga, tapi aku juga mulai mencintai Vino yang begitu perhatian dan menyayangiku.
Bersambung ....