Chereads / The First Or The Second / Chapter 2 - 1. Dia, Ranggaku

Chapter 2 - 1. Dia, Ranggaku

Hai, namaku Azizah Syafira Zainal. Aku hanya seorang gadis SMA biasa, tidak ada yang terlalu istimewa dengan hidupku. Aku menjalani hidupku seperti gadis remaja pada umumnya. Ya, memang tidak ada yang spesial.

Hari ini, adalah hari pertama sekolah setelah libur ulangan semester pertama. Aku sungguh tidak sabar untuk ke sekolah. Bukan, bukan karena aku orang yang sangat menyukai sekolah, tapi aku sangat tidak sabar untuk melihatnya. Si cinta pertamaku. Sudah cukup lama aku tidak melihatnya, jadi aku sangat merindukannya. Aku sangat ingin memeluknya jika kami bertemu nanti.

Aku kini sudah sampai di depan gerbang sekolah, dengan langkah lebar aku berjalan menuju kelas. Bibirku 'tak henti-hentinya tersenyum, karena perasaan rindu dalam hatiku benar-benar menggebu. Sejujurnya aku belum pernah merasa serindu ini padanya.

"Kurasa aku sudah sangat mencintainya," lirihku dengan kekehan kecil.

Begitu sampai dikelas aku langsung menghampiri dia yang mejanya berada tepat di depanku. Dengan senyum yang mengembang, aku melambaikan tangan untuk menyapanya.

"Pagi Rangga."

Dia mendongak kemudian tersenyum tipis. "Hmm, pagi." Walaupun singkat, tapi itu disertai senyuman Rangga yang seperti badak bercula satu. Langka!

Aku segera duduk di kursiku dengan jantung yang berdebar. Senyumnya memang tidak pernah gagal membuat jantungku histeris. Aaa, dia sungguh tampan saat tersenyum seperti tadi. Aku duduk dengan bertopang dagu sembari menatap punggungnya yang begitu kokoh. Ini adalah kebiasaan yang tidak pernah bisa kuhilangkan.

Biasanya, kebiasaan ini akan berlangsung sampai guru masuk dan menjelaskan kemudian Rangga akan berbalik dan menjitak kepalaku pelan sambil berkata 'fokus!' dengan diiringi senyum tipis. Dan yah, kali ini itu kembali terjadi.

"Zizi," panggilnya lirih. "Fokus, jangan liatin gue mulu. Nanti nilai kamu makin turun kalo gak dengerin penjelasan guru," ucapnya.

Aku hanya mengangguk dengan senyum tipis, tapi masih belum mengalihkan pandanganku dari wajahnya. Dia menghela napas, kemudian mencubit pipiku. "Nurut, yah. Kalo kamu bisa jawab kuis dari Pak Broto dengan benar, aku bakal terima ajakan kamu untuk kencan nanti sore. Gimana?"

Aku memang pernah mengajak dia berkencan lewat pesan singkat diaplikasi hijau, tapi tidak kusangka dia masih mengingatnya. Jantungku langsung berdebar tidak karuan, aku pun mengangguk dengan begitu semangat dan langsung mengalihkan pandanganku ke Pak Broto yang sedang mengajar. Beliau selalu memberikan beberapa kuis saat mata pelajarannya. Jadi kali ini, aku harus menjawab salah satunya dengan benar. Demi kencan bersama Rangga!

Aku mendengar suara tawa kecil dari arah depanku, kemudian sebuah tangan besar mengacak rambutku. Heh! Gimana mau menjawab kuis kalau begini! Jantung please, kerja sama dong! Demi kencan sama Rangga!

"Seperti biasa, saya akan memberikan kuis sebelum melanjutkan ke materi selanjutnya," ucap Pak Broto. Semua teman-teman sekelasku menjawab dengan suara semangat. Karena ini adalah kelas unggulan dan isinya sebagian besar adalah murid ambisius. Mereka sangat menanti kuis seperti ini karena bisa membuat nilai mereka bertambah.

"Materi yang akan kita bahas selanjutnya adalah persendian. Karena itu saya ingin bertanya, apa ada yang tahu ada berapa macam persendian? Yang bisa menjawabnya, sepertiga biasa akan men---"

Belum sempat Pak Broto menyelesaikan ucapannya aku langsung mengangkat tangan. Tidak sopan memang, tapi aku terpaksa melakukannya agar tidak keduluan orang lain. Semua langsung memandangku dengan heran kecuali Rangga. Menjawab kuis adalah hal yang jarang kulakukan, jadi wajar jika mereka menatapku seperti itu.

"Ya, Zizi. Silahkan menjawab."

Aku mengangguk. "Persendian ada tiga macam, yaitu Sinartrosis, Amfiartrosis, dan Diartrosis."

"Benar! Bagus Zizi, seterusnya terus tunjukan kemampuanmu. Jangan biarkan yang lain terus mendahuluimu," ucap Pak Broto. Beliau memang cukup perhatian pada anak didiknya dan tak jarang pula memberikan beberapa nasehat yang cukup membantu.

"Siap pak!" seruku semangat. Tentu saja aku sangat bersemangat, nanti sore kan aku jadi kencan dengan Rangga. Aaa, aku sangat tidak sabar! Pagi, cepatlah berlalu!

***

Aku menggerakan kakiku ke depan dan ke belakang sembari menoleh ke kanan dan kiri, tapi dia belum juga muncul. Aku menunduk lesu sembari menatap layar hpku yang menampilkan foto Rangga yang tengah tersenyum manis. Namun, tiba-tiba sesuatu yang dingin menyentuh pipiku. Aku menoleh, ternyata Rangga! Akhirnya datang juga dia. Aku menatap Rangga dengan tatapan marah, tapi dia malah tertawa kecil kemudian menyodorkan sebuah ice cream padaku.

"Maaf," ucapnya. Aku menerima ice cream darinya dan merobek bungkusnya agar bisa kunikmati. Dia pun menjelaskan alasan dia terlambat. "Tadi aku harus mengurus ibu dulu, kamu tahu, kan, dia masih belum bisa keluar dari rumah sakit." Mendengar jawabannya, aku langsung menunduk.

Kenapa aku bisa lupa? Padahal baru kemarin lusa aku mengunjungi calon ibu mertuaku yang sedang sakit itu, walau niatku yang sebenarnya ingin bertemu Rangga, tapi dia sedang pergi saat itu. "Maaf, yah. Gara-gara aku, kamu harus tinggalin ibu kamu yang lagi sakit," ucapku lirih.

Dia tidak menjawab, dia hanya menggenggam tanganku kemudian menampilkan senyum hangat. "Tidak, ibu bahkan senang karena aku akhirnya bisa kencan denganmu," ucapnya yang membuatku langsung menunduk malu. Aku dan Ibunya Rangga memang cukup dekat, tidak heran jika beliau menyetujui hubungan kami.

"Apa ... kamu juga senang bisa kencan denganku?" tanyaku malu-malu.

"Tentu."

"Lalu kenapa tidak langsung menerima ajakan kencanku sejak dua minggu lalu?" tanyaku. Dia hanya terdiam membuatku menghela napas. "Sudahlah, 'tak apa. Ayo kita segera ke bioskop agar tidak kehabisan film-nya."

"Maaf, yah." Aku mengernyit, kenapa dia meminta maaf lagi? Dan kenapa raut wajahnya terlihat aneh? Dia terlihat gelisah, tapi kenapa?

"Ayo kita berangkat sekarang." Dia segera menarik tanganku untuk menuju halte bus.

Kenapa aku merasa dia aneh?

***

Film telah selesai, aku dan Rangga baru saja keluar dari gedung bioskop saat seseorang dengan mata teduh menghadang jalan kami. Tubuh Rangga tiba-tiba menegang, aku menggenggam tangannya jadi aku bisa merasakan tangannya ikut merasa tegang. Kenapa?

"D--dito ...." Rangga berucap lirih dengan raut wajah gelisah, dia segera melepaskan genggaman tangannya denganku.

Sahabat Rangga yang bernama Dito itu menatapku dengan sorot mata teduh dan lembut, tapi saat menoleh ke arah Rangga sorot matanya malah berubah tajam. Aneh! Dito tiba-tiba menarik Rangga menjauh dariku. Keduanya terlihat membicarakan sesuatu, tapi aku tidak bisa mendengarnya karena cukup jauh. Namun, aku bisa melihat kalau mereka sedang bertengkar. Beberapa menit setelahnya mereka kembali, tapi wajah Rangga terlihat begitu datar, lebih dari biasanya.

"Zizi. Maaf, aku gak bisa pulang bareng kamu. Aku ada urusan mendadak, jadi kamu pulang sama Dito aja." Belum sempat aku menjawab, Rangga langsung pergi meninggalkan aku dan Dito. Ada apa ini?

"Ayo kita pulang, Zii," ajak Dito.

Aku mendongak menatap Dito kemudian mengangguk lesu. Kami melangkah beriringan menuju halte. Saat kami akan naik bus, dia tiba-tiba menggenggam tanganku. Aku mendongak menatapnya.

"Maaf lancang, tapi aku takut kamu terlalu jauh dariku," ucapnya kemudian menuntunku untuk naik ke bus. Alasan sekali, aku kan bukan anak kecil!

Kami duduk di kursi yang kosong, aku memilih untuk duduk disamping jendela agar bisa memandangi jalanan. Ini menyebalkan, kenapa dia malah meninggalkanku dengan sahabatnya? Huh!

"Mau mendengarkan musik?" tawar Dito sembari mengulurkan earphone-nya padaku. Satu bagiannya sudah terpasang ditelinga kirinya. Aku mengangguk dan hendak meraih earphone itu, tapi dia sudah lebih dulu memasangkannya ke telinga kananku. "Ingin memilih lagunya?"

Aku menggeleng sembari tersenyum tipis. "Aku suka lagu ini."

"Oh, yah? Kebetulan sekali, ini adakah lagu kesukaanku," serunya dengan raut wajah antusias.

Aku terus mengobrol dengannya sepanjang perjalanan, walau sebenarnya aku tidak ingin berbicara dengannya, tapi aku ini orangnya tidak enakkan. Jadi susah untuk mengabaikannya.

Aku menghela napas saat dia selesai mengoceh kemudian kembali menatap jalanan dan mulai menghiraukannya. Aku sungguh bosan mendengar celotehannya.

***

Bersambung ....