*BAB 5*
Setelah selesai melakukan ritual di pagi hari, Xander siap untuk berangkat menuju kantor miliknya menggunakan mobil mewah yang sangat nyaman untuk di tumpangi. Tanpa melakukan sarapan pagi terlebih dahulu, padahal Nora sudah menunggu Xander dengan setia di ruang makan yang ada mansion miliknya. Kesetiaan Nora selalu berujung dengan sia-sia, karena Xander tidak pernah bergabung dengan dirinya untuk melakukan sarapan pagi. Xander lebih memilih langsung pergi menuju kantornya, tanpa berniat menghabiskan makanan yang sudah di buat oleh para koki handal yang bekerja di mansion mewah nan besar itu. Entah apa alasan Xander, yang membuat pria itu enggan mengisi perutnya di pagi hari. Bahkan sebelum adanya Nora di mansion itu, Xander juga tidak pernah melakukan sarapan pagi.
"Paul, apakah semuanya sudah siap?." Panggil Xander pada orang kepercayaannya, yang duduk di samping supir.
"Semuanya sudah siap Tuan, dan perwakilan dari JB's group akan segera tiba." Paul menjawab pertanyaan dari Xander dengan sangat jelas. Tidak hanya menjadi orang kepercayaan Xander saja, namun Paul juga merangkap menjadi asisten pribadi Xander. Pria itu mengetahui segala kegiatan yang akan di lakukan Xander pada hari itu. Usia Xander dan Paul tidak beda jauh, hanya berjarak 6 tahun saja. Jadi usia Paul saat ini adalah 35 tahun. Namun meskipun usia Paul lebih tua di bandingkan dengan Xander, ia harus tetap hormat dan patuh kepada Tuannya.
Xander hanya membalas jawaban Paul dengan gumaman saja. Ia tidak memiliki niat untuk melanjutkan percakapan mereka. Seperti itulah mereka berkomunikasi satu sama lain, hanya berbicara mengenai persoalan yang penting saja, yang terkait dengan masalah pekerjaan Xander.
Saat ini Xander menjabat sebagai CEO di Hampton groups, perusahaan terkemuka di dunia yang berfokus pada hasil bumi, salah satu contohnya adalah migas. Perusahaan ini menjadi raja di seluruh belahan dunia, karena hampir semuanya berasal dari Hampton groups, tak heran jika perusahaan ini menjadi perusahaan yang paling maju di seluruh dunia.
Ini adalah tanggung jawab besar yang harus Xander pikul seorang diri, menjadi CEO bukanlah perkara yang mudah. Segalanya Xander lakukan seorang diri, mulai dari mengurus perusahaan ini hingga harus hidup dalam kesendirian. Seseorang yang berada di sekitar Xander hanya mengetahui dirinya dari luar saja, karena Xander membuat dinding yang sangat tebal, agar tidak sembarang orang bisa mengetahui kelemahannya. Karena Xander di kenal banyak orang dengan kepribadian yang angkuh, sombong, serta dingin. Itu memang sikap asli Xander yang terbentuk karena masa lalunya yang kelam.
"Silahkan Tuan." Tanpa terasa mobil mewah yang di tumpangi Xander telah berhenti di depan gedung pencakar langit yang memiliki 73 lantai.
Dengan merapikan jas mahalnya, Xander melangkahkan kaki lebarnya menuju ruangan miliknya yang berada di lantai 69, angka keberuntungan Xander. Ia tidak menghiraukan sapaan serta tatapan kagum dari para karyawan wanita yang bekerja di perusahaan ini. Dengan cekatan, Paul menahan pintu lift untuk mempersilahkan Xander masuk ke dalamnya, lift yang akan membawa Xander menuju ruang kerjanya. Lift ini hanya di khususkan untuk Xander dan Paul saja, sedangkan untuk orang lain, sudah di sediakan di tempat yang berbeda. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya motif jahat yang dapat mencelakai Xander.
Hari ini Xander akan melakukan beberapa meeting dengan kolega bisnisnya, ia mulai di sibukkan dengan meeting sedari pagi sampai siang hari. Hingga tidak tahu jika ada seseorang yang telah menunggunya di dalam ruang kerja miliknya.
"Tuan besar dan Nyonya berada di ruang kerja anda, Tuan." Ucap Paul menghentikan langkah kaki Xander, jika Paul tidak berhati hati ia bisa saja menabrak punggung tegap milik Xander.
"Apa kau yang telah mengizinkan mereka memasuki ruang kerja ku?." Tanya Xander menahan gejolak amarah di dalam dirinya. Tanpa menyebutkan siapa nama orang-orang itu, Xander sudah tahu siapa yang sedang berada di dalam ruang kerja miliknya.
"Aku sudah memperingatkan mu untuk tidak mengizinkan kedua orang itu menginjakkan kaki di ruang kerjaku Paul !!!."
"Apa kau sudah mulai berani melawan perintahku, huhh?." Dua orang itu, adalah orang yang paling Xander benci dan tidak ingin ia temui lagi. Entah apa yang membuat dua orang itu jauh-jauh pergi untuk mengunjungi Xander.
Xander meninggikan suaranya, hingga membuat Paul serta anak buahnya sedikit terkejut karenanya.
"Ma-maafkan saya Tuan."
"Tuan besar memaksa ingin masuk dan bertemu dengan anda, ada yang ingin mereka bicarakan." Jawab Paul dengan perasaan takut, ia hanya bisa berharap agar Tuannya ini tidak meluapkan emosi kepada dirinya.
"Argh, brengsek." Umpat Xander dengan tangan terkepal yang memukul angin.
Tanpa basa-basi, Xander langsung mempercepat langkahnya agar bisa segera tiba di ruang kerja miliknya. Dan benar saja apa yang di ucapkan Paul tadi, dua orang itu sudah berada di ruang kerja Xander sedang menikmati secangkir teh hangat sembari berbincang hangat, duduk di atas sofa empuk yang berada di dalamnya.
"Cihh." Xander berdecih begitu melihat dua orang itu yang terlihat begitu mesra. Dada Xander seperti tertusuk oleh ribuan besi panas yang membuat hatinya terasa sakit serta sesak. Melihat mereka berdua semakin membuat Xander membencinya, membuat luka di masalalu yang berusaha ia lupakan kembali muncul di permukaan dengan begitu saja.
"Bagaimana kabarmu X." Pria paruh baya itu mengeluarkan suaranya ketika melihat Xander berdiri di depan pintu ruang kerjanya sembari mengepalkan kedua tangan, terlihat dengan sangat jelas jika Xander sedang berusaha meredam emosi di dalam dirinya. Pria paruh baya itu berdiri di ikuti oleh wanita yang terlihat sedikit lebih muda darinya, perlahan berjalan menghampiri Xander yang menatap mereka dengan tatapan yang sulit untuk di jelaskan, tatapan yang kosong serta dingin.
"Kami merindukanmu X." Ucap wanita itu dengan tersenyum tulus.
Mendengar kalimat itu, membuat Xander harus memejamkan matanya selama beberapa detik.
"Apa yang kalian lakukan disini?."
"Apakah aku tidak boleh mengunjungi putra ku sendiri?." Jimmy justru balik bertanya kepada Xander. Tanpa mengindahkan pertanyaan Xander yang di layangkan terlebih dahulu. Jimmy Hill Hampton, pemilik serta pendiri Hampton groups, dan juga ayah kandung dari Xander Hill Hampton.
"Hahaha, apa yang sebenarnya ingin kalian katakan?." Xander tertawa remeh, ia seperti mendengar kalimat lucu yang baru saja di ucapkan oleh Jimmy, padahal apa yang di katakan oleh Jimmy tidak lucu sama sekali.
"Kau tidak bisa ku ajak berbasa-basi nak." Balas Jimmy yang kini berubah menatap Xander dengan tatapan serius.
"Cihh, aku adalah anak yatim piatu. Lantas siapa yang kau sebut dengan panggilan nak?."
"Apakah anak haram dari wanita yang berada di sampingmu itu?."
"Ah aku bahkan tidak yakin jika anak itu adalah anak hasil dari hubungan terlarang kalian." Xander sedikit mencondongkan tubuhnya agar bisa menatap wanita yang berdiri di sebelah Daddynya itu.
"Jaga ucapan mu X!!!."
"Dia adalah Mommy mu, dan kau bukanlah yatim piatu."
"Kau harus menghormati dia." Jimmy meninggikan suaranya, tidak terima dengan kata-kata yang keluar dari dalam mulut anaknya itu.
"Apakah aku harus menghormati wanita murahan seperti dia?." Xander menggerakan bahunya sembari tersenyum miring, sekedar melihat wajah wanita itu saja enggan Xander lakukan apalagi jika ia harus memanggil wanita itu dengan sebutan "Mommy".
"Wanita yang sudah menghancurkan kehidupan Mommy!!!." Teriak Xander tidak terima dengan kenyataan pahit yang harus ia terima kala itu.
Apa yang di ucapkan Xander memang benar adanya, maka dari itu sedari tadi Hellen hanya bisa menatap Xander dengan tatapan yang berkaca-kaca.
"Tidak Jimmy, jangan lakukan hal itu." Hellen menghentikan gerakan tangan Jimmy yang hendak menampar wajah tampan Xander.
"Kau harus bisa mengendalikan emosimu." Hellen tidak boleh membiarkan kedua pria ini termakan oleh emosinya masing-masing. Karena tujuan mereka datang kemari bukan untuk hal itu, tujuan mereka datang kesini untuk hal yang baik.