Pak Anton menoleh dan tersenyum pada mereka berdua sebelum membuka pintu kelas. Rei merasa kakinya mulai lemas, dia gemetaran dan hanya mampu berlindung di belakang punggung Nara saat selangkah demi selangkah dilaluinya dengan penuh kegugupan. Rei takut dibenci, ia takut dicaci maki karena wajahnya yang seperti perempuan.
Seketika kelas yang awalnya sedikit bising berubah menjadi sangat sunyi. Semua mata tertuju pada Rei yang berlindung di balik punggung Nara, ada yang memasang ekspresi malu dan bersalah, ada juga yang diliputi rasa iri hati karena melihat Rei yang begitu mudah mendekati Nara.
Bukan rahasia umum lagi kalau Nara begitu populer di antara para gadis. Reputasinya sebagai ketua tim basket serta wajahnya yang terbilang sangat tampan seakan mendukung hal tersebut.
"Ada yang ingin mengatakan sesuatu pada Rei?" tanya Pak Anton halus. Matanya menyapu ke seisi kelas dan melihat seorang pemuda berkaca mata tebal mengacungkan jarinya. Pak Anton kemudian menunjuk pemuda itu. "Silakan, Daniel."
Siswa bernama Daniel berdiri dari kursinya. Dia menatap takut-takut pada pelototan Nara dan memilih untuk menatap Rei saja. Walau lelaki itu masih bersembunyi di belakang punggung sahabatnya.
"Rei, k-kami minta maaf. Seharusnya kami tidak menertawakanmu saat Genta membullymu di depan kelas tadi."
Lalu pemuda yang berada di sebelah Daniel juga ikut berdiri.
"Benar, kami minta maaf. Kami sudah menjadikanmu lelucon padahal itu sama sekali tidak lucu. Maafkan kami, Rei."
Pak Anton memberi tepuk tangan sebagai hadiah keberanian mereka dalam mengakui kesalahan dan meminta maaf.
"Lalu bagaimana denganmu, Genta?" Mata Pak Anton menyapukan pandang ke arah wajah Genta yang kini terlihat membiru hasil pukulan Nara. Lelaki itu terlihat mendecih dan masih tampak membenci Rei.
"Saya tidak melakukan kesalahan, Pak. Wajah Rei memang seperti banci, saya mengatakan kebenaran."
Beberapa siswa memberinya sorakan mencemooh, bahkan ada yang terang-terangan mengatai Genta sebagai lelaki yang tidak bertanggung jawab. Mereka berpikir, Daniel dan teman sebangkunya yang tidak terlalu banyak menertawai Rei saja berani untuk mengakui kesalahan, tapi Genta yang jelas-jelas menjadi biang onar pembullyan Rei dan yang paling bersalah atas itu malah enggan meminta maaf.
Rei merasa perkataan itu lagi-lagi menusuk hatinya. Jarinya meremas ujung seragam Nara dan kepalanya terus-terusan menunduk. Seandainya Rei bisa mengubah wajahnya ini menjadi wajah lelaki normal, tentu ia akan melakukannya sejak dulu. Tapi jika ia berpikir seperti itu sama saja ia menghina paras ibunya. Karena Kak Evan selalu bilang kalau wajah Rei mirip dengan mendiang ibunya, wajah Rei itu anugerah yang dititipkan Tuhan. Tidak ada salahnya ia terlahir dengan wajah yang cantik, karena para idola di suatu negara saja sampai rela mengoperasi plastik wajahnya agar terlihat cantik.
"Sudah, sudah, tenang dulu anak-anak." Pak Anton berusaha menenangkan kegaduhan di kelasnya. "Genta, kamulah yang paling bersalah disini. Sudah sepatutnya kamu meminta maaf pada Rei."
Genta terlihat abai mengenai nasihat Pak Anton. Dia justru mengirimkan tatapan permusuhan pada Rei dan Nara yang tanpa disadari orang-orang sudah mengepalkan kuat kedua tangannya. Nara merasa gatal dan sangat ingin menghajar wajah Genta sampai tidak berbentuk lagi. Tapi kalau ia lakukan disini, itu hanya akan memicu keributan di dalam kelas. Kalau sudah seperti itu mau tidak mau Rei pasti akan terseret-seret ke dalam kasus yang besar. Jadi Nara mencoba untuk menahan emosi dan hanya membalas sinyal permusuhan Genta dengan tatapannya yang kelewat dingin.
"Tidak masalah jika dia tidak mau meminta maaf pada Rei, Pak. Karena kamipun tidak berniat untuk memaafkannya."
Kelas lagi-lagi menjadi sunyi ketika Nara berbicara. Pak Anton sudah kepalang pusing mengenai permasalahan ini. Yang satu berkata tidak ingin meminta maaf, yang satunya berkata tidak akan memberi maaf, lalu yang satunya lagi—yang menjadi pusat di dalam masalah ini justru hanya menunduk ketakutan.
"Silakan Bapak mulai saja pelajarannya." Nara berkata lagi sambil menuntun Rei menuju meja siswa di barisan paling ujung dekat dengan pintu masuk kelas.
Rei pikir Nara akan membawanya menuju kursi yang paling belakang di barisan itu, karena hanya tempat itu saja yang masih kosong. Tapi rupanya Nara justru berhenti di kursi yang paling depan yang saat ini sudah diisi oleh dua orang siswi.
"Bisakah kalian pindah ke belakang? Kami ingin duduk disini karena Rei akan kesulitan mengikuti pelajaran jika pandangannya terhalangi."
Kedua gadis itu gugup berhadapan dengan Nara dalam jarak sedekat ini. Pesona Nara sebagai siswa populer dan wajahnya yang tampan akhirnya sanggup membuat kedua gadis itu mengangguk dan rela pindah duduk di belakang.
"Nara, seharusnya kamu tidak melakukan itu." Rei berbisik saat melihat gadis-gadis itu berjalan ke kursi paling belakang, dia juga melihat teman-teman sekelasnya yang lain yang saat ini masih menjadikan mereka pusat perhatian. Rei hanya tidak sadar kalau hampir seluruh gadis di kelasnya memandangi Nara dengan tatapan mengagumi, lalu ketika melirik Rei yang berada di samping Nara justru membuat mereka semakin bertambah iri.
"Jadi kau tidak ingin duduk disini?" tanya Nara tajam sambil mendorong Rei agar duduk di kursi paling dalam dekat dinding, sementara Nara mengambil sisi terluarnya.
"Bukan begitu."
"Sudah, diam."
Rei akhirnya memilih bungkam. Suara Pak Anton mulai terdengar untuk beramah tamah pada murid-muridnya, diawali dengan absensi, lalu harapan-harapan ke depannya saat menjadi wali kelas mereka. Setelah itu barulah beliau memulai mata pelajaran matematika-nya. Sebenarnya rumus ini sudah dipelajari mereka saat di kelas satu dulu, tapi Pak Anton memberikan beberapa contoh agar mereka dapat mengingatnya kembali dengan jelas.
Diam-diam Rei melirik pada Nara, ia ingin bertanya karena Rei kesulitan mengerjakan salah satunya yang tidak dicontohkan Pak Anton di depan papan tulis, tapi Rei merasa ragu. Nara terlihat diam dan fokus pada rumus-rumusnya, berbeda dengan Dakka yang biasanya akan bertanya apakah Rei sudah mengerti atau tidak, apakah ada soal yang menurut Rei sulit dan perlu dibantu olehnya. Nara sama sekali tidak bertanya, lelaki itu begitu diam dan tenang.
Akhirnya Rei mencoba untuk mengerjakannya sendiri. Dia mencoba-coba beberapa rumus dan hasilnya nihil. Ada bagian yang tidak lengkap dan Rei kebingungan bagaimana mengisinya.
"Em, Nara." Tak tahan dengan ketidak tahuannya, Rei akhirnya mencoba memanggil Nara.
"Hm?"
"Aku tidak mengerti soal ini."
Fokus perhatian Nara beralih dari lembaran buku tulisnya menjadi ke arah Rei yang tampak gugup.
"Yang mana?"
Rei segera menunjuk soal nomor tiga. Nara hanya mengangguk kemudian mengambil buku tulisnya yang dijadikan tempat untuk mencoret-coret rumus.
"Dengarkan baik-baik." Nara mulai memberi contoh, goresan pulpennya begitu lihai dan tegas ketika menulis. Penjelasan Nara begitu singkat tapi entah mengapa Rei mudah mengingatnya. "Paham?"
Rei mengangguk dan mulai mencobanya sendiri. "Terima kasih."
Setengah jam kemudian mereka selesai mengerjakan soal-soal itu. Rei mengeluh sambil meregangkan otot-otot tangan serta lehernya yang kaku. Dia berbaring di atas meja seperti orang yang kelelahan lalu merasakan kepalanya ditepuk pelan, dan pelakunya adalah Nara.
"Kerja bagus."
Hah? Rei melongo. Ini berbeda dengan Dakka yang biasanya hanya terkekeh dan bertanya apa yang ingin dimakan Rei saat jam istirahat nanti sebagai pelepas penat. Nara justru malah memuji dan menyentuh kepalanya. Walau Nara biasa melakukan hal itu tapi kali ini rasanya berbeda. Rei seperti merasa sudah menyelesaikan tugas paling berat lalu dipuji karena keberhasilannya. Ini terasa jauh lebih menyenangkan.
&&&
"Dakka!" Rei berlari menghampiri Dakka yang sudah menunggu kedatangan mereka di kantin.
"Bagaimana hari pertamamu di kelas baru?"
Rei duduk sambil menunduk, ia jadi teringat perbuatan buruk Genta yang membully-nya. Juga teringat bagaimana memalukannya Rei yang menangis di depan kelas lalu berlindung di balik punggung Nara.
"Rei? Apakah ada sesuatu yang terjadi?"
Saat Dakka bertanya hal itu, Nara baru saja bergabung dan duduk di hadapan mereka.
"Tidak ada. Semua berjalan dengan lancar."
Jawaban Rei barusan menyebabkan kening Nara mengernyit. Tidak biasanya Rei berbohong seperti itu tapi ketika Rei menatapnya dengan tatapan memohon akhirnya Nara berusaha bungkam.
"Kalian duduk sebangku, kan?"
Rei. "Iya, rasanya ini pengalaman baru untukku. Nara berbeda dengan Dakka."
Dakka terkekeh seperti biasa. "Berbeda? Apanya?"
"Biasanya Dakka yang selalu bertanya apakah ada yang tidak kumengerti, apakah ada yang perlu kau ajarkan padaku, ya hal-hal semacam itu. Tapi kalau Nara dia selalu diam dan aku harus berinisiatif untuk menanyakannya sendiri."
Nara yang sedang diperbincangkan dan dibanding-bandingkan dengan Dakka berusaha abai. Dia fokus pada grup chatnya di ponsel dan terlihat sibuk membalas pesan.
"Tapi Nara tetap mengajarimu, kan?"
"Memang sih. Tapi Nara terlalu cuek, aku ingin sekelas dengan Dakka saja."
Dakka lagi-lagi terkekeh melihat sikap manja Rei padanya. "Sayang sekali ya. Omong-omong aku akan memesan makanan, kalian ingin apa?"
Rei. "Aku ingin ayam bakar."
Nara. "Yang biasa saja."
Dakka lalu bangkit berdiri. "Oke." Kemudian berjalan menuju konter pemesanan.
Fokus Nara pada ponselnya berakhir. Dia menatap Rei sambil menumpukan kepalanya pada sebelah lengan di atas meja.
"Kenapa tadi berbohong?"
"Hah? Soal aku yang menutupi kejadian hari ini?"
Nara mengangguk.
Rei menghela napas berat. Kedua tangannya saling bertaut di atas meja. "Aku tidak ingin Dakka khawatir. Lagipula itu memalukan, aku hanya bisa menangis dan berlindung di balik punggungmu. Jadi jangan beritahu Dakka ya."
Nara terlihat berpikir, dia sengaja ingin menjahili Rei. Melihat ekspresi Rei yang tegang dan menatapnya dengan penuh permohonan seperti itu tentu saja membuatnya gemas.
"Akan kupikirkan."
"Nara—"
Rei membungkam keinginannya untuk memprotes saat Dakka telah kembali sambil membawa nampan berisi makanan dan minuman mereka.
"Kalian mengobrol apa?"
"Ten-tentang pelajaran kok. Iya kan Nara?"
"Seperti yang Rei katakan." Nara berkata cuek. Dia mengambil pesanannya yang ada di atas nampan kemudian memakannya dengan lahap. Diikuti Rei dan Nara yang juga memakan pesanannya.
&&&
Ruang praktikum kimia dilanda kesunyian. Semua sibuk menakar bahan untuk membuat replika letusan gunung berapi dengan sosok monster yang seakan keluar dari luapan magma.
"Jangan sampai salah menakar, semua harus sesuai komposisi, oke?" Pak Donnie lagi-lagi memperingati para siswanya. Beliau berjalan dari satu meja ke meja lainnya, setelah merasa yakin jika semua murid di ruang praktikum ini telah mengikuti instruksinya dengan benar, ia akhirnya kembali ke meja paling depan. "Jangan lupa pakai sarung tangan dan jaga jarak saat menyalakan pemantik."
Seluruh murid lagi-lagi mengikuti instruksi itu. Beberapa diantara mereka menyiapkan kamera ponsel untuk mengabadikan letusan gunung berapi dengan sosok monster yang mereka ciptakan.
"Berani taruhan, monsterku pasti yang paling menakjubkan untuk dilihat."
"Belum tentu. Aku yakin monster milikku yang terbaik."
Mereka saling berlomba-lomba untuk memuji hasil karya masing-masing. Hingga satu persatu murid mencoba untuk membakar tumpukkan serbuk yang telah mereka takar. Ada yang berhasil, ada yang gagal dan hanya berupa tumpukan abu saja, ada juga yang tidak menghasilkan reaksi apapun. Lalu tiba giliran Nara yang mencoba hasil takarannya, Ammonium dichromate miliknya mulai menyala seperti gunung berapi yang meletus, tak lama sosok monster yang menyerupai sulur-sulur tentakel seperti bangkit dari letusan gunung berapi itu. Murid-murid yang menyaksikan hasil karya Nara mulai berkumpul untuk merekam dan melihat prosesi itu. Rasanya seperti melihat film horor dimana monster besar seperti terlahir dari kerak gunung berapi untuk menginvasi dunia.
"Nara hebat."
"Ini menakjubkan."
Rei yang berada di samping Nara juga ikut terpukau. Dia yakin hasil karyanya juga akan sebagus Nara, karena dia telah mengikuti instruksi Pak Donnie dengan benar, bahkan Nara juga ikut membantunya saat menakar.
"Sekarang giliranmu. Hati-hati saat menyalakan pemantiknya," peringat Nara. Ia memberikan pemantik pada Rei dan berusaha melihat hasil karya sahabatnya bersama teman-teman sekelasnya yang lain.
Rei begitu percaya diri saat menyulut api. Dia melihat serbuk yang dibakarnya mulai menyala menyerupai letusan lahar, lalu sosok monster dengan sulur besar mulai keluar. Tapi ada yang berbeda, kenapa letusan gunung berapinya seperti mengeluarkan percikan kembang api, lalu tentakel yang keluar dari dalam letusan gunungnya juga terkesan besar. Sebelum Rei menyadari ada yang tidak beres dengan hasil takarannya, suara berat Nara terdengar berteriak di samping telinganya.
"REI!"
Si pemilik nama hanya terlonjak dan berusaha menoleh. Ia masih belum paham ketika Nara menariknya menjauh dari meja, begitu juga dengan murid-murid lainnya yang mulai berlari menjauh. Rei hanya mendengar suara dentuman dari letusan gunung berapinya disusul kobaran api besar seperti menyambar-nyambar di atas meja. Reaksi api dan asap yang mulai memenuhi ruang praktikum memicu alarm kebakaran menyala dan menghasilkan air. Beberapa murid dengan sigap membuka jendela-jendela yang ada di ruangan itu. Mereka terbatuk, berusaha menghirup udara dari luar jendela. Barusan mereka menyaksikan hal yang luar biasa gila. Gunung berapi milik Rei seperti letusan di akhir zaman. Mengerikan.
Rupanya asap yang keluar dari jendela memancing beberapa orang guru untuk datang dan bertanya apa yang telah terjadi disana.
"Hanya kecelakaan kecil."
Begitulah yang disampaikan oleh Pak Donnie. Meski para guru tak bertanya lebih lanjut, tapi murid-murid yang berada disana menatap Rei seakan ia telah melakukan kesalahan paling fatal. Tatapan-tatapan itu membuat tubuh Rei gemetar dan otaknya seakan berhenti bekerja. Dia masih berada di dalam rengkuhan Nara, karena memang hanya Nara yang bisa melindunginya dari tatapan menusuk itu.
"Kau berhasil membuat keributan dan hampir menyebabkan kami celaka," tuding Genta. Bagaimanapun Genta masih menaruh dendam terhadapnya. "Kalau alarm kebakaran tidak menyala entah bagaimana nasib kami yang berada di ruangan ini." Dia tersenyum sinis sambil bertepuk tangan dengan sangat keras. "Kau luar biasa, Rei."
Bisik-bisik mulai terdengar. Teman-teman sekelasnya yang lain seperti membenarkan perkataan itu dan lagi-lagi menatapnya dengan tatapan menuding. Sebagian tatapan itu berasal dari para gadis yang memang iri dengan Rei.
"Maaf ..." Suara Rei begitu lirih, teredam oleh bahu lebar Nara yang masih mendekapnya penuh perlindungan.
"Sudah, jangan memancing keributan. Ini hanya kecelakaan kecil." Pak Donnie menengahi. "Apa ada yang terluka?"
Beruntung para murid menggeleng sehingga Pak Donnie bisa bernapas dengan lega.
"Ini salahku, akulah yang membantu Rei menakar bubuk itu." Nara menjelaskan dengan tegas. "Tapi, rasanya aneh. Aku menakar milik Rei sama seperti punyaku tapi kenapa hanya milik Rei yang bereaksi berbeda."
Murid-murid saling pandang. Jika memang benar demikian, itu memang terkesan aneh.
Genta mendecih. Dia mulai menyulut keributan lagi. "Apa buktinya kalau kau membantu Rei menakar bubuk itu dengan benar? Bisa saja Rei menambahkan sesuatu saat kau lengah."
Mata tajam Nara memicing penuh intimidasi. "Darimana kau bisa menyimpulkan hal itu? Rei tidak bodoh, dia tidak akan melakukan sesuatu yang ceroboh seperti itu. Lagipula mejamu berada di samping Rei, bisa saja kau yang mencampurkan sesuatu ke dalam takaran bubuk milik Rei ketika teman-teman sekelas sibuk berkumpul di sekitarku."
"Apa buktinya?!"
Nara menyeringai. Ekor matanya melirik ke sudut atas ruangan. "Kita bisa melihatnya dari rekaman cctv di ruangan ini."
Wajah Genta berubah pucat. Dia lupa bahwa ruangan praktikum dilengkapi oleh cctv untuk mengantisipasi hal-hal buruk terjadi.
"Bisa kami lihat rekaman cctv-nya, Pak?" pinta Nara lugas. Entah dari mana datangnya keyakinan itu. Bisa saja Rei memang melakukan kesalahan saat Nara lengah. Tapi, Nara seakan ingin bertaruh mengenai hal ini ketika ia menyaksikan bahwa Genta terlihat gelisah ketika ia meminta untuk melihat rekaman cctv di ruangan ini. Jika seandainya Genta tidak terbukti mencampurkan sesuatu ke dalam takaran bubuk milik Rei pun, Nara akan tetap melindunginya dan berkata bahwa ialah yang ceroboh disini.
Pak Donnie menggangguki permintaan itu, beliau lantas mengajak seluruh siswa yang berada di ruang praktikum untuk menyaksikan rekaman cctv kejadian barusan.
Setelah menjelaskan apa yang telah terjadi pada petugas yang menjaga ruang kendali monitor, mereka kemudian menyaksikan saat-saat ketika seluruh murid berkumpul di meja praktik Nara dan Rei, menyaksikan ketika letusan gunung berapi milik Nara menari dan menciptakan monster yang luar biasa menakjubkan. Lalu di tengah-tengah prosesi itu, terlihat Genta yang diam-diam mencampurkan sesuatu ke bubuk milik Rei tanpa diketahui siapapun. Seketika perhatian murid-murid mengarah pada sosok Genta yang pucat pasi di sudut ruang kendali. Mereka menyoraki dan menghujatnya dengan kalimat-kalimat cacian.
"Jika aku jadi kau, aku pasti malu sudah menuduh Rei yang tidak-tidak."
"Dia pasti lupa kalau di ruang praktikum ada cctv."
"Bodoh sekali, jika ingin menuduh seharusnya berpikir dulu lebih cerdik."
Rei merasa napasnya kembali. Ia lega. Nara berhasil membuktikan kalau Rei tidaklah bersalah. Tapi, hal ini justru akan membuat Genta lebih membenci dan menaruh dendam terhadapnya.
"Tenang saja, selama ada aku, dia tidak akan bisa macam-macam."
Perkataan Nara berhasil membuat hatinya lebih tenang.
Pak Donnie kemudian memberi hukuman pada Genta atas apa yang telah diperbuatnya di ruang praktikum kimia. Selain menuduh dan melimpahkan kesalahannya pada Rei, dia juga hampir membuat teman-teman sekelasnya celaka. Itu termasuk pelanggaran paling berat. Genta tak hanya mendapatkan hukuman dan kecaman, pihak sekolah bahkan memberi surat pemanggilan orangtua dan memberi skorsing selama satu bulan penuh padanya. Berharap semua hukuman itu akan membuat Genta jera, tapi yang terjadi malah sebaliknya, Genta malah semakin berhasrat ingin membalas dendam pada Rei dan Nara.
&&&
"Aku mendengar apa yang terjadi di ruang praktikum. Rei, kau tidak apa-apa, kan?" Saat bertemu di depan gerbang sepulang sekolah, Dakka langsung bertanya mengenai hal itu.
"Aku tidak apa-apa. Meski awalnya aku tidak mengerti apa yang terjadi, Nara sudah lebih dulu menangkap sesuatu yang ganjil dan menarikku untuk menjauhi meja praktek."
"Benarkah Gentala yang melakukan semua hal berbahaya itu?"
Rei membenarkan hal itu dengan mengangguk. "Dia terbukti mencampurkan sesuatu ke dalam bubuk milikku."
"Astaga, seandainya aku berada disana aku pasti sudah menghajarnya tanpa ampun." Dakka terlihat berapi-api. Rei terkekeh melihatnya.
"Aneh kau malah terkesan seperti Nara yang biasanya, padahal saat di ruang praktikum Nara terkesan tenang seperti Dakka ketika memecahkan suatu masalah."
Dakka menepuk dahinya sendiri sambil tertawa. Nara melirik Rei yang ternyata sudah lebih dulu tertawa dengan geli.
"Siapa yang bilang aku bersikap tenang seperti Dakka? Saat itu aku justru sangat emosi, tapi kalau aku maju dan langsung menerjang Genta, kita pasti akan berakhir masuk ke dalam perangkapnya." Nara mengepalkan tangannya dan meninju udara sekuat tenaga. "Walau berhasil membuktikan dia bersalah, aku masih menahan keinginanku untuk menghajarnya sampai mati."
Dakka menepuk bahu Nara dan ikut merasa kesal. "Aku mendukungmu melakukan hal itu kawan."
Nara menyeringai kemudian merangkul bahu Dakka. "Masih ada kesempatan, setidaknya bulan depan dia akan mendapat satu kejutan dariku."
Tumben sekali Nara dan Dakka bersatu merencanakan pembalasan dendam.
"Sudah, jangan memperkeruh suasana."
Dakka. "Rei, kau tidak kesal sama sekali?"
Rei. "Aku kesal tapi tidak akan ada habisnya jika kita saling membalas dendam. Aku hanya ingin tahun-tahun terakhirku di SMA berjalan dengan damai."
Nara memandang wajah murung Rei kemudian melirik Dakka yang juga sedang menoleh padanya. "Baiklah, jika itu keinginanmu. Tapi kalau dia macam-macam lagi, aku tidak akan menahan diri, Rei."
Senyum Rei mengembang. "Aku tahu. Nara pasti akan berkata begitu." Dia melompat ke tengah-tengah sahabatnya sambil meraup sebelah lengan mereka. "Terima kasih, kalian adalah sahabat terbaikku. Beruntungnya aku memiliki kalian berdua."
Nara dan Dakka hanya membalas ungkapan itu dengan mengacak-acak rambut Rei sambil tertawa lepas bersama.
Dakka. "Bagaimana kalau kita makan es krim di kedai langganan?"
Nara. "Ide bagus, yang terakhir sampai di kedai harus mentraktir."
Nara dan Dakka saling berpandangan lalu tersenyum jahil. Dalam hitungan detik, mereka langsung berlari meninggalkan Rei yang terbengong di tempat.
"Sebentar ... yang terakhir sampai harus ..." Mata Rei melebar. "Heh, kalian curang!" Lalu dia berlari menyusul kedua sahabatnya yang sudah berada jauh di depan sambil tertawa terbahak-bahak.