"Tentu saja, Ben. Dad-mu akan selalu berada dalam pikiranku selamanya."
"Tapi kan Mom akan menikah dengan Liam hari ini," protes Ben.
"Ya, memang. Aku akan menikah dengan Liam." Ibunya langsung menaruh tangannya di dahi. "Maafkan aku, Ben. Aku terlalu … aku terlalu tegang."
Mata ibunya tampak berkaca-kaca lagi. Ia nyaris menangis. Buru-buru, Ben mengambil tisu dan menyerahkannya pada ibunya.
"Milly, ingat. Jangan menangis," ucap Lindy. "Kalau kamu menangis, kamu akan sulit sekali untuk berhenti."
Ben terkekeh. Lindy yang sudah menjadi sahabat ibunya tentunya tahu jika ibunya sudah menangis, maka tidak akan ada yang bisa menghentikannya. Mungkin lubang air mata ibunya terlalu besar, jadi terlalu mudah untuk bocor.
"Iya, iya. Maafkan aku."
"Mom, jangan bilang maaf terus. Come on. Cerialah sedikit. Berikan senyuman terbaikmu sekarang," pinta Ben.
Ibunya menggelengkan kepalanya. "Tidak bisa, Ben. Aku masih sulit mengontrol emosiku."
