"Rania! dimana kau! teriak Ridho tangannya membuka handle pintu.
Mbok Yem takut, melihat Ridho tiba- tiba marah, lututnya bergetar.
" Mbok Yem, Rania mana?" tanya Ridho menahan amarah. Tangannya mengepal, rahang mengeras. Netranya Mengedarkan pandangan mencari keberadaan Rania.
"Mbak Rania belum pulang Mas," ucap Mbok Yem dengan bibir bergetar. Kaki juga gemetaran mendengar suara keras Ridho. Kenapa dia semarah ini. Ada apa ?
"Jangan bohong mbok, ini udah jam empat, biasanya Rania sudah pulang!" bantah Ridho keras. Mbok Yem sampai kaget mendengar suara keras majikannya itu. Ridho tersadar tak seharusnya membentak orang yang lebih tua. Ia segera meminta maaf.
Ridho mendengus kasar, tak percaya begitu saja ucapan Mbok Yem, Ridho mencari ke seluruh ruangan ini. Hingga ke kamar, di kamarnya juga kosong. Emosi Ridho naik ke Ubun- ubun. Kabar Rania memilih bercerai darinya membuatnya emosi. Rania masih perawan, ia tak rela ada laki- laki lain yang mencicipinya. Saat hendak keluar rumah, ia menendang guci di pojokan. Melampiaskan emosinya.
"Prang!!" Pecahan guci berserakan menyebar di seluruh ruang tamu. Puas lampiaskan emosi Ridho keluar. Mbok Yem menahan napas melihat pecahan guci itu Berserakan, ia Shock. Padahal selama ini ia melihat Ridho sosok yang baik, sopan. Jarang marah tapi ini kayak singa keluar dari kandangnya.
Sepulang kerja, Mbok Yem menyambutku. Ia tergopoh- gopoh. Wajahnya tegang. "Ada apa mbok?" tanyaku heran pada mbok yem.
"Tadi Mas Ridho kesini, dia ngamuk. Nanyain Mbak Rania juga," ucap Mbok Yem mengatur napasnya sejenak.
"Kapan mbok," tanyaku kaget. Ada dia udah di kasih tau Ayah?
"Setengah jam yang lalu, dia juga pecahin guci di pojokan itu. Sudah aku bersihkan. bibir Mbok Yem bergetar ada ketakutan menyelimuti hatinya.
"Pantesan nggak ada guci di pojokan?" tanyaku shock. Lututku lemas mendengar cerita mbok Yem. Itu guci kesayanganku.
Mbok Yem mengangguk, wajahnya pucat. Aku terduduk di ruang makan. Memijit pelipisku sebentar. Pusing.
"Maaf kira- kira ada apa ya mbak, kenapa Mas Ridho bersikap seperti itu?" tanya mbok Yem kepo.
Aku terdiam, sementara tak ingin Mbok Yem tau masalah ini. Kami sebentar lagi akan berpisah. Tapi Ridho tak mau menceraikan aku. Aku menatap lurus mbok Yem, takut kalau ia akan bersedih mendengar kami akan berpisah.
"Kenapa mbak? Ko wajahnya murung gitu?" tanya Mbok Yem. Aku tau dia perhatian padaku. Kami dekat, sejak datang ke sini. Mbok Yem menyambutku hangat. Tak ada sekat di antara hubungan kami. Bercanda sambil masak bareng, nasehati aku saat Ridho dingin dan cuek, juga mensupport aku ketika Arini datang ke rumah ini.
Ia berpesan Untuk selalu sabar menghadapi Ridho, suatu saat Ridho luluh padaku. Omongan mbok Yem terbukti. Ridho sedikit demi sedikit berubah baik padaku. Ia juga memberi nafkah lahir, sebuah ATM berisi 50 juta untukku. Hanya nafkah batin yang belum ia berikan padaku. Mungkin tubuhku tak menarik di mata Ridho. Dulu aku merana, harga diriku tersinggung. Tapi sejak dia menikah lagi, aku malah tak ingin di sentuh olehnya.
"Nggak ada apa-apa mbok, mungkin Mas Ridho lagi banyak masalah," ucapku tak ingin membuat mbok Yem khawatir.
Suara ponsel berdering dari tasku. Nama Ridho terpampang di layar ponsel. ku tolak panggilan dari Ridho tapi belum matikan data. Selang beberapa menit ada notif pesan dari Ridho.
"Aku tak akan pernah menceraikanmu Rania, cankam itu!"
Aku cuma read aja, tak ku balas. Gegas naik tangga. Aku ingin berendam di bathup sambil menghirup sabun aroma therapy.
Hampir setengah jam aku berendam, seluruh badan dan pikiranku rilex. Keluar dari kamar mandi aku mendengar Suara teriakan memanggil namaku. Jantungku berdegup kencang. Ku tajamkan pendengaran. Ternyata Ridho yang datang. Gegas berganti pakaian. Lalu menuruni tangga. Ridho menatapku tajam. Ada kemarahan yang tersembunyi di kedua bola matanya.
Aku menanggapi santai, mencoba tersenyum manis. Juga menyapanya.
"Gimana kabarnya Mas? Maaf lama menunggu, aku habis mandi." memperhatikan dia yang ingin lampiaskan emosinya. Ridho mencekal tanganku.
"Jangan coba- coba minta cerai dariku,Rania!" ancam Ridho menyeringai.
Aku mencoba melepas cekalan tangannya. Semakin ingin ku lepas, tapi cekalan semakin mengeras.
Aku memberanikan diri menatap matanya. "Kenapa kalau aku minta cerai?!"
"Kau jangan kurang ajar, Rania!" bentak Ridho di telingaku. Ingin menangis tapi ku tahan.
Aku mengibaskan tangan Ridho. Emosi Ridho naik, aku takut dia berbuat kekerasan padaku. Melirik Mbok Yem yang mengintip di balik pintu. Aku mengedipkan mata, beri kode. kalau ada- ada, minta tolong Mbok Yem. Tiba-tiba Ridho menarik tanganku.
"Ayoo... Ikut denganku!" Lenganku di seret menaiki tangga, menuju kamar. Ia hempaskan tubuhku di atas bed.
Aku takut, memegang kaos baju. Ridho mendekat, aku semakin takut.
"Mas Ridho, mau apa?" tanyaku panik. Ia memegang daguku, lalu bibir nya menyeringai. Aku begidik ngeri. Apa kehormatan ku akan terenggut hari ini? Padahal aku berusaha mempertahankan kegadisan ini. Ingin persembahkan untuk suami keduaku. Aku ingin masih gadis walau status janda.
Wajahku pucat, keringat dingin keluar dari pelipisku.
Wajah Ridho tersenyum sinis melihat ketakutanku.
"Kenapa? kamu takut Rania? Aku suamimu. Aku berhak atas tubuhmu!" Ia dekatkan bibirnya ke arahku. ingin mencium bibirku. Aku mengelak, saat baru menikah dulu, aku menginginkannya tapi sekarang jijik.
Melihat aku melengos, Ridho menekan leher, dia melumat bibirku dengan kasar. Aku pukul- pukul dada bidang untuk melepas pagutanya. Namun tenagaku kalah lemah. Setelah puas mencium ku ia tersenyum lebar.
"Bibirmu sangat manis Rania," ucap Ridho mesum.
aku mengusap bibirku, tak rela di cium olehnya. Ada kilatan amarah di mata Ridho, melihat tindakanku.
"Ingat Rania! Kamu masih istriku, aku berhak menyentuh tubuhmu!" tak ku dengarkan ucapan Ridho, wajahku memandang lain arah. Muak lihat wajah dia. Aku juga tak rela tubuhku di jamah olehnya. Ku dengar dia menghela napas pelan, menurunkan emosinya. Dia tau aku tak suka di kasarin.
"Rania," rayu Ridho, ia juga melembutkan suaranya. Tubuhku menegang mendengar suaranya.
Dia mencium pipiku lembut, tak ada jarak di antara kami. Hembusan napas birahi sangat bisa aku rasakan. Ridho mengecup leher, membuat tanda kepemilikan di sana. Tangannya membuka kaos yang aku kenakan. Segera ku tahan. Aku ingin mempertahankan kegadisanku. Walau nafsu mulai menguasai tubuhku.
Mata Ridho sendu, aku menahan tangannya. Suara dering ponsel. Mengagetkan kami berdua.
"Mas, ada telepon," ucapku sambil menbenarkan baju
"Siapa yang ganggu sih!" gerutu Ridho. Aku bernapas lega, setidaknya aku bisa melepas jeratan nafsunya.
"Halo Mas Ridho, kemana aja sih! Aku di Toko tapi nggak ada Mas di sini?" tanya Arini curiga. Aku sudah batin pasti Arini yang telepon.
"Jangan bilang, Mas di rumah Rania ya! Kalau ada di rumah Rania awas! Aku akan labrak dia!"
"Eng- gak Arini, Mas di rumah klien ingin order perlengkapan rumah," ucap Ridho berbohong. Tak mau dengar percakapan mereka. Segera keluar dari kamar ini. Tengorokanku mendadak haus.
Bersambung.