Di atas dek kapal, Liam berdiri menatap sejauh mata memandang. Sayangnya, ia hanya menemuka langit dan lautan menyatu. Padahal, ia berharap ia menemukan pemisah antara keduanya. Sama seperti ketika ia melihat Kimberly bersama dengan sahabatnya sendiri, ia hanya bisa cemburu dalam diam meski dikhianati.
Ia sadar ketika beberapa bulan terakhir, Kim menyebutkan bahwa dirinya sudah tak kuat menjalin hubungan dengannya. Liam gila kerja sampai setahun hanya bertemu empat kali padahal mereka ada di negara yang sama USA. Mereka memang tak cocok sejak awal, Kim butuh pacar perhatian dan Liam yang butuh pacar pengertian juga sabar. Dirinya seorang pengusaha bidang perhotelan dan restoran, anak sulung dua bersaudara dari sepasang aktris dan aktor terkenal. Dirinya pun ikut terkenal, tetapi kehidupannya hampa. Meski awalnya para wanitalah yang mendekatinya duluan, tetapi ia selalu yang berakhir dicampakkan.
Ayah dan Ibunya non muslim, ibunya yang berdarah Belanda ikut agama ayahnya, menjadi penyanyi rohani di gereja pula. Dirinya juga rajin ke tempat ibadah, itu karena ibunya, walau jauh dari Indonesia ibunya sangat rajin mengingatkannya ketika hari minggu, menyuruhnya pergi ibadah. Ia kira semuanya berjalan baik, ia tak memiliki perasaan spesial dalam hidupnya. Semuanya mudah, seperti ayahnya ia cerdas, tegas, dan bertalenta. Pun ia berasal dari keluarga kaya dan terpandang, siapa yang menolaknya kecuali mereka yang sudah merasakan memiliki kisah cinta dengannya yang membosankan itu.
Kuku telunjuk kanannya mengetuk gelas berisi wine, pandangannya masih lurus menatap lautan lepas. Ia sedang menghadiri pesta ulang tahun temannya di kapal pesiar, tetapi hatinya tak semeriah lingkungannya saat ini. Wine yang ia teguk juga terasa hambar, beberapa wanita penghibur juga berhasil ia singkirkan satu persatu. Lalu selanjutnya, apa yang akan ia lakukan?
•••
Ketika minggu berganti bulan, Liam kembali dengan rutinitasnya, memimpin perusahaan. Saat ia mengecek salah satu restoran cabang di Jakarta, ia bertemu dengan teman lama.
"Bang Liam?!" panggil suara ceria itu.
Liam menoleh dan mendapati wajah bermata sipit itu. Ia langsung tersenyum dan menghampiri pria yang dua tahun lebih muda darinya.
"Dian! Apakabar lo? Tambah langsing aja," ujarnya basa-basi, juga ia terkejut lima tahun tak jumpa, Dian yang gendut berubah langsing dengan tubuh kekar yang proporsional.
Mereka kemudian mengobrol lama, dan sampai pada topik yang membuat suasana semakin serius.
"Lo inget Naya?" tanya Dian kemudian menyesap kopinya.
Liam terdiam membuat suasana hening menyelimuti meja tersebut. Meja dengan kursi untuk dua orang, menghadap langsung ke taman buatan dan air mancur yang memberikan kesan asri.
Liam ingat betul gadis kecil berusia tiga tahun saat usianya masih enam tahun. Dulu ia tinggal di kompleks tempat orang-orang biasa tinggal. Mereka bertiga berteman baik, menikmati masa kanak-kanak selama beberapa tahun. Ia dan Dian adalah anak orang kaya, berbeda dengan Naya yang merupakan anak orang sederhana.
Sifatnya anak-anak tak pernah melihat seseorang dari materi, begitupun Liam dan Dian. Bagi keduanya, Naya adalah gadis kecil favorit mereka. Mereka tumbuh bersama di masa itu, bahkan mereka kenal Naya dari gadis kecil itu masih bayi. Mereka memang Naya tetaplah teman favorit mereka. Hampir setiap hari Liam dan Dian mengunjungi Naya, kalaupun tidak Liam, Dian sendirian yang bermain ke kontrakan tenpat Naya tinggal.
Mereka senang sekali mengganggu Naya, gadis itu takut Ondel-ondel dan selalu lari ketika ada Ondel-ondel. Tetapi gadis kecil itu suka sekali topeng monyet, sampai ia memiliki payung yang biasanya dipakai oleh monyet atraksi itu. Sudah lama sekali, harusnya mereka tidak ingat lagi, tetapi begitu spesialnya Naya, ia tetap membekas di benak dan hati dua pria tampan yang sama-sama baru putus dengan pacarnya itu.
Perpisahan mereka memang tidak bisa dibilang buruk, Dian pindah duluan karena pindah rumah di daerah yang berbeda meski masih di wilayah Jakarta. Begitupun Naya, Naya pindah karena tempat kerja sang ayah digusur, gadis kecil itu pindah ke Purwokerto--Jawa Tengah tanah kelahiran sang ayah. Setelahnya, Liam tak tahu kabar gadis itu. Liam adalah orang yang melihat kepergian dua sahabatnya, baginya yang saat itu masih kecil tentu hanya bisa menangis, harus berpisah dengan dua sahabatnya.
Beberapa bulan kemudian saat Dian main ke rumah Liam, keduanya hanya bisa melihat kontrakan tempat tinggal Naya terisi oleh orang lain. Mereka merasa kehilangan tentu saja, gadis kecil itu telah pergi dan tak tau kapan mereka akan bertemu lagi.
"Ingetlah, gak bakal lupa gue sama boneka cengeng itu."
Dian tergelak, ia mengingat betapa Naya sering dibuat nangis oleh mereka berdua, ia pikir Naya itu hobi sekali menangis, apakah tidak lelah menangis terus.
"Gue baru ketemu dia lagi soalnya," ujar Dian yang mendapat semburan kaget dari Liam.
Liam baru saja menyeruput kopinya ketika Dian bilang bertemu dengan Naya, ia tak sengaja menyembur wajah Dian.
"Sorry," ujar Liam mengambil tisu dan menyerahkan pada Dian yang kesal.
"Dimana lo ketemu dia, undang dia gih biar kita bisa nongkrong bertiga. Kagen banget gue sama dia," ujarnya menggebu.
Dian yang habis sembuh dari kekesalannya, tiba-tiba memasang wajah sendu.
"Itu dia Bang, si Naya yang sekarang gak bisa kayak dulu lagi. Jangankan nongkrong, ketemu aja harus sama Emaknya."
"Masih manja dia?" tanya Liam belum paham.
Dian menggeleng, "Bukan gitu. Naya jadi cewek yang agamis, pakai gamis, kerudung gede, pakai kaos kaki, sukanya pergi ke pengajian, diajak salaman aja ragu-ragu gak mau."
Liam jadi frustasi setelah senang mendengar kabar Naya.
"Lo ketemu dimana emang?" tanya Liam lagi.
Namun, ekspresi Dian jadi berlebihan setelahnya, "Nah itu dia. Gue gak tau jodoh atau gimana. Dia Cucu dari tetangga Kakek gue."
Liam terkejut, ini bukan kebetulan namanya. "Lo punya foto dia?" tanya Liam penasaran.
"Punya kok tenang aja, gue sempet ngobrol sama Adeknya, namanya Fajar sama Akbar. Terus gue minta kontaknya Fajar karena Naya gak ngijinin Adeknya ngasih nomor ke cowok lain, sekalian gue minta media sosialnya Fajar, nah di situ gue nemu media sosialnya Naya."
Ia mengotak-atik HPnya sambil terus ngoceh, "Nih!" ujarnya menyerahkan HPnya pada Liam.
Liam dengan antusias melihat media sosial Naya di HP miliknya. Ia mengeryit heran, di akun @nayaka_fajrinnhk itu hanya berisi foto-foto pemandangan dengan caption panjang.
"Kok instagram sama FB-nya gak ada fotonya?"
Dian mengangguk, "Iya emang, semua di akunnya cuma tentang dakwah. Tapi gue nemu fotonya di akun IG si Fajar sama Akbar. Itupun foto keluarga atau fotonya bareng adek-adeknya."
Liam langsung mencarinya juga dan menemukan foto ketiga bersaudara itu di akun @fajar_pagi387 dan @akbargalih_agstian00. Wajahnya banyak berubah, ketiga bersaudara itu mirip dan mereka memiliki gen Jawa rill. Gadis kecil itu berpenampilan sederhana dan syar'i, ia memiliki kulit kuning langsat, wajahnya manis meski tidak cantik. Matanya indah dengan bulu mata dan alis tebal seperti dua saudaranya yang berbentuk pedang. Senyumnya masih sama, manis dan meneduhkan.
Tatapan Liam seperti menyelami ke dalam gambar itu, wajahnya berekspresi lembut dan tersenyum lega.
"Naya tumbuh dengan baik, gue lega."
Dian ikut tersenyum, "Gue juga. Dia jadi gadis yang kuat sebagai pemimpin kedua adiknya. Kakek gue tetanggaan sama Kakek Naya, di Kebumen. Bapak gue cerita katanya Ayah Naya dah meninggal dan Ibunya nikah lagi."
Liam mendengarkan dengan perasaan sedih, "Tapi Bapak tirinya baik kok. Meski begitu, dia bukan dari kalangan mampu, jadi Naya tetap harus kerja buat nyekolahin adek-adeknya. Ibunya dan keluarga di kampung terkenal keluarga yang banyak hutang dan kehidupan mereka berat. Naya hampir putus sekolah, tapi syukur dia nerusin sekolah kejuruan, SMK. Dia berubah jadi pendiam tetapi dia sosok yang pekerja keras. Naya gadis yang kuat, mengingat keluarga dari pihak Ayahnya juga gak membantu banyak meski mereka dari kalangan berada. Hanya membantu beberapa kali pasca kematian Ayahnya."
"Naya kerja dimana sekarang?" tanya Liam tiba-tiba.
"Oh my god, gue gak tanya. Sorry!" Dian nyengir.
"Gue pingin banget ketemu dia," gumam Liam sedih.
Dian tesenyum getir, "Dia aja gak inget muka gue waktu ketemu, kalau aja gue gak dateng sama Bokap Nyokap gue, pasti dia gak inget."
"Kalo gitu dia juga pasti gak inget sama gue yah, padahal warna rambut gue masih sama."
"Tapi wajar sih Bang, kan waktu terakhir dia pindah dia masih kecil banget. Tiga tahunan kayaknya. Gue baru empat tahun, memorinya pasti terbatas. Apalagi kalo dia nemu cowok yang lebih ganteng dari lo, kayak Louis Partidge misalnya."
Dian ngoceh kemudian tertawa, sebenarnya itu hanya candaan. Wajah keturunan Belanda Liam sudah mentok gantengnya. Tak semua bule tampan, tetapi Liam termasuk yang sangat tampan.
Liam menatapnya sengit, enak aja masa dia dilupakan gara-gara cowok yang lebih ganteng sedikit. Liam tidak terima.
"Fuck you!"
•••
"Nay! Tolong ambilin pesenan di resto Lavender yah, gue tadi udah pesen, tapi restonya gak bisa nganter karena lagi rame. Pake taxi ya, nih duitnya."
Perintah Mika atasannya, Naya yang lulusan SMK stuck menjadi karyawan humas kelas bawah yang tidak bisa dipromosikan naik pangkat, kalaupun bisa pun butuh waktu dan kerja keras yang sangat banyak.
"Siap, Mba!"
"Jangan telat yah, jam sebelas harus dah siap."
"Baik!"
****
Di retoran Lavender, Naya langsung masuk ke dalam restoran dan menuju kasir untuk bertanya tentang pesanan.
"Mba saya mau ambil pesanan atas nama Mikaella Louis. Sudah siap kan, Mba?"
Kasir tersebut mengangguk dan tersenyum sopan, "Sudah, Mba. Sebentar yah."
Naya tersenyum dan mengangguk, tetapi ia merasakan ada yang menatapnya. Ia melihat sekeliling dan mendapati seorang pria yang bersandar di pintu masuk ruang karyawan, memakai setelan formal dan wajah yang tampan. Ia jadi ngeri sendiri dan mengeryit tidak nyaman, ia mengalihkan pandangan dan pergi setelah pesanan sudah siap dibawa. Ia dibantu waiters laki-laki dan sopir taxi untuk membatu menatanya di taxi.
Terakhir sebelum pergi, ia menoleh ke belakang dan pria aneh itu masih menatapnya tajam seolah ia target empuk yang siap disantap. Apakah dia vampir.
Liam menghampiri kasir setelah gadis itu pergi, "Pesanan dari mana?"
Kasir itu malu, wajahnya merah dan gugup. "Dari kantor FireMap," jawabnya seadanya.
Kemudian Liam diam, ia mengetikkan nama perusahaan itu dan tersenyum menemukan alamatnya. Ia bahkan mengenal Direktur utama di sana, sebagai rekan bisnis. Ini mudah untuknya.
Bersambung...