"Yan, lo yakin si Naya mau dateng?" tanya Liam pada Dian ketika mereka menunggu pertemuan ibu-ibu tetangga lama itu.
"Yakinlah, secara kan Ibu-ibu kita pernah akrab," jawab Dian percaya diri.
Namun, ekspresi Liam seperti gelisah. Hal itu karena perasaan Liam yang tidak menentu perihal kedatangan Naya dan ibunya.
"Perasaan gue gak enak, lo tau kan emak gue udah gak kayak dulu lagi?"
Dian ikut memikirkan hal itu, "iya juga sih. Tapi kita harus belain Naya apapun yang terjadi."
Liam mengangguk, "semoga."
•••
Naya masih gelisah, kehadirannya dan ibunya di sini seolah tak disambut dengan baik. Ia menatap Ristya Dinada, ibu dari Liam teman masa kecilnya yang sekarang menjadi bintang film ngetop.
"Mama Naya gimana kabarnya? Tinggal dimana sekarang?" tanyanya dengan senyum meremehkan.
Sarita Ningsih--ibu Naya tersenyum sopan, "aku tinggal di kampung, alhamdulillah kabarku baik. Aku liat kalian berdua juga baik."
Namun jawaban sopan itu tak disambut dengan baik, "jauh lebih baik malah, kamu sering nonton sinetron dan filmku kan? Aku udah mulai membintangi film dari 15 tahun lalu, tentu saja sangat baik."
"Iya, usaha suamiku juga semakin besar. Kayaknya di Kebumen juga ada cabang Rumah Makan Enak Minang. Yah, harganya cukup serasi dengan kualitasnya (red: mahal) kamu pernah ke sana kan?"
Sari hanya tersenyum menanggapinya, kini ia tau kekhawatiran Naya sebelum mereka tiba di sana, direndahkan dan semua pembicaraannya tentang materi. Apakah ini silahturahmi yang dimaksud?
Naya menatap Liam dan Dian yang juga sedang menatapnya, ia menatap mereka dengan tatapan marah. Naya tak akan semarah ini jika ia yang ditindas, tetapi ini ibunya.
Liam dan Dian membeku, gadis kecil imut yang mereka temui dulu kini berubah menjadi gadis yang memiliki tatapan tajam, mampu membuat kedua pemuda itu berhenti bernafas karena tegang.
Naya beralih lagi ke arah dua wanita yang sedang mengoceh itu, memamerkan kejayaan mereka sampai memamerkan perhiasan, juga memamerkan barang mahal.
Setelah keduanya selesai bicara, sebelum Sari menjawab Naya menjawab terlebih dahulu. Ia tersenyum lebar dengan nada menyenangkan.
"Aduh, Ibu-ibu keceh yang cetar membahana seperti Syahrini. Mohon maaf sebelumnya," ia juga menatap keduanya dengan tatapan membunuh walau senyumnya mengembang manis.
"Saya dan Ibu saya tidak memiliki banyak waktu untuk mendengarkan kisah hidup kalian yang saya sebenarnya gak bisa paham dimana letak bagusnya."
Semua yang mendengarnya langsung tercengang, gadis bertubuh kecil itu sangat berani. Dian dan Liam saling melempar tatapan penuh tanya.
"Kami di sini ingin memenuhi undangan Dian dan Liam yang mengatakan ingin menyambung kembali tali silahturahmi. Oh itu sangat bagus, tetapi ketika kami mendengarkan cerita kalian berdua ini tidak ada hubungannya dengan kami. Buat apa kalian memamerkan kekayaan kalian? Lalu apa maksud kalian mengatakan bahwa pekerjana Ibu saya sebagai penjual sayur adalah pekerjaan kecil? Saya tidak pintar tapi saya tidak bodoh untuk mengerti maksud kalian.
Bu Risty yang bintang film tidak akan menjadi bintang meski anda punya karir di Hollywood dengan sikap seperti ini. Bu Dini, saya pernah beli di tempat kalian. Restorasi dalam dan luar restoran memang sudah oke, bagus. Pak Junadi juga orang yang dermawan dan baik hati, tidak sombong atau merendahkan orang lain, tetapi saya tidak menyangka istri yang dibanggakannya memperlakukan Ibu saya seperti ini. Intinya kalian mengundang kami ke sini hanya untuk memamerkan kekayaan, kemudian menjadikan kami tikus got di atas meja emas. Alih-alih silahturahmi."
Semua melongo mendengar itu, "Naya jangan begitu ..." tegur ibunya.
"Sudah Bu, lagipula Naya sibuk. Sepertinya mereka lebih sibuk dari kita, meski ini weekend." Ia menyeringai, kemudian mengajak ibunya pergi.
Kepergian Naya dan Sari diantar dengan caci maki karena kemarahan yang memuncak. Liam dan Dian menyusul mereka, tetapi Naya memarahi kedua pria itu.
"Kalau Kak Dian sama Kak Liam mau minta maaf dengan benar, jangan temui aku lagi. Itu sudah lebih dari cukup. Faktanya kita emang beda kasta, akhirnya juga aku dan ibuku yang direndahkan. Jadi tolong sadari, meski kalian gak berfikir seperti Ibu kalian, tetep aja kehidupan sosial akhirnya menjatuhkan kami saat kami harus berhadapan dengan kaum kapital seperti kalian."
Liam dan Dian tak bisa berkata-kata lagi, tetapi Liam dengan gigih mengejarnya.
"Setidaknya biar aku antar kamu sampe rumah Nay," Naya menggeleng kemudian bergegas pergi dari pekarangan rumah mewah milik Liam sekeluarga.
"Perasaan gue bener, emak kita bener-bener buat jengkel," gumam Lim memijat pelipisnya kemudian beranjak pergi.
"Mau ikut gak lo?"
"Kemana?" tanya Dian bingung.
"Ngikutin mereka biar tau rumahnya."
"Gue tau tempat tinggal mereka, mereka tinggal di kontrakan. Tapi cuma Naya dan Fajar, ibunya paling cuma nganterin Fajar kuliah abis itu balik kampung lagi."
Liam menatap Dian datar, "Bangke lu! Kenapa gak kasih tau gua sih?" kesalnya.
"Lah lo kan gak nanya!" Dian malah ngegas membuat Liam menaikan satu alisnya.
"Mau kemana lo?" tanya Liam saat melihat Dian kembali ke dalam rumahnya.
Ia mengikuti Dian yang melangkah dengan amarah.
"Mau ngajak emak gue balik, liat aja pasti Bokap gua marahin dia!" geram Dian.
Liam juga merasa demikian dan mereka berdua mulai memarahi ibu mereka.
•••
Benar saja Pak Junadi memarahi Bu Dini, apalagi keluarga Naya adalah tetangga orang tua Junadi di kampung. Pasti setelah ini, Junadi akan dipermalukan di kampung kelahirannya karena istrinya merendahkan Bu Sari.
Tetapi berbeda dengan kondisi Liam, ayahnya justru membela ibunya. Kedua orang tuanya sama saja, sombong. Namun, di akhir perdebatan mereka Liam berkata dan sukses membuat kedua orang tuanya bungkam.
"Papi sama Mami mungkin lupa! Saat Mami dan Papi masih artis kelas bawah dan belum memiliki banyak penghasilan, siapa yang selalu menemani Mami curhat? Bu Sari, Ibu Naya! Bahkan almarhum Papa Naya kenalin Papi sama produser film, sampe akhirnya hari ini Papi sama Mami jadi artis terkenal. Coba Papi sama Mami inget lagi, orang yang ada ketika kalian di bawah adalah orang yang sejatinya setia. Atau mungkin Papi sama Mami lupa, pendidikan yang selalu kalian ajarkan pada kami, agar Liam dan Darren jangan sombong meski kita orang berada, kalau kalian lupa, hari ini Liam ingatkan. Liam kecewa sama Mami Papi, bisa-bisanya kalian malah merendahkan orang lain padahal kalian mendidik kami untuk menjadi pribadi yang rendah hati."
Setelah itu, ruangan menjadi hening. Liam pergi ke apartemennya dan tak berniat pulang kembali. Darren ada di balik tembok, ia anak nakal di keluarga besar mereka, tetapi ia bukan orang jahat dan sombong. Setelah mendengarkan perdebatan itu, Darren paham bahwa pihak yang salah adalah kedua orang tuanya. Ia kembali mengulum permen kemudian kabur lewat pintu belakang, ia pergi ke sirkuit bersama teman-temannya untuk mengalihkan pikiran.
•••