Mutia beranjak bangun dari duduknya dan bergegas menuju kamar untuk mengambil pakaian bersih. Ia menuruti perintah ayahnya yang masih duduk bersama Saminem di ruang tamu.
Ia tidak ingin menambah pikiran kedua orang tuanya dengan cara tidak mematuhi perintah mereka. Dengan segera ia membersihkan diri, menyiram seluruh tubuhnya dengan air dingin di waktu menjelang magrib ini.
Mutia tidak terbiasa mandi dengan air hangat. Ia akan merasa badannya pegal-pegal jika tidak mandi dengan air dingin. Meski begitu, sejauh ini ia jarang jatuh sakit.
Mutia bersyukur karena diberi kesehatan dan imun tubuh yang kuat karena ia harus lebih bekerja keras untuk merubah nasib perekonomian keluarga menjadi lebih baik. Setidaknya ia harus membantu ayah dan ibunya dalam melunasi utang mereka bagaimana pun caranya. Mutia akan mencari jalan keluar setelah makan malam.
Usai mandi, Mutia lantas menyiapkan makan malam seadanya. Nasi putih hangat yang didampingi dengan sambal terasi dan lalapan adalah menu istimewa bagi keluarga Mutia. Terkadang bisa menikmati sedikit lauk-pauk adalah menu mewah yang harus lebih disyukuri.
Perempuan itu harus pandai dalam mengatur keuangannya. Gaji yang tidak seberapa besar nominalnya harus ia kelola dengan baik agar bisa mencukupi kebutuhan selama satu bulan, kalau bisa lebih maka ia akan menabungnya.
Akhir-akhir ini, Mutia memang tidak terlalu memerhatikan menu makanan yang selalu ia makan bersama keluarganya. Sebab ketika ia sampai di rumah setelah seharian bekerja, Saminem telah menyiapkan makanan dan ia hanya menyantap tanpa berkomentar apapun. Mutia juga lupa bahwa beberapa minggu yang lalu, lemari pakaiannya terisi dengan beberapa pakaian baru yang dibelikan oleh ibunya.
Sejenak, gadis itu merasa menyesal. Seharusnya ia menyadari beberapa perbedaan yang telah terjadi di rumahnya. Jika saja ia lebih tanggap sejak awal maka bisa dipastikan Mutia bisa mencari tambahan pekerjaan lebih cepat.
Ia menghela napas berat.
Waktu yang diberikan oleh rentenir hanya tiga hari saja sesuai dengan permintaannya. Kini ia harus memutar otaknya agar bisa menemukan jalan keluar secara tepat.
Mungkin besok pagi ia akan sedikit meminta bantuan sahabatnya untuk mencarikan pekerjaan tambahan untuknya.
***
"Pak, Mbok, Mutia berangkat kerja dulu ya," pamitnya sembari menyalami tangan kanan kedua orang tuanya yang sedang berkumpul di ruang tamu seusai sarapan bersama.
"Iya, Nduk. Kamu hati-hati berangkatnya, bekerjalah dengan giat," jawab Saminem.
"Siap, Mbok."
"Kamu ndak usah memikirkan kejadian kemarin, Nduk. Ini risiko yang harus Bapak dan Simbok terima, biar kami yang cari solusinya." Maula menatap lekat putrinya. Dia tidak ingin putri semata wayangnya ikut campur dalam masalah yang sedang ia hadapi.
Mutia menggeleng. "Tidak, Pak. Mutia juga salah. Seharusnya aku nggak meminta waktu tiga hari sama mereka, biar kita bisa cari jalan keluarnya dengan waktu yang cukup." Ia lantas menarik pergelangan tangan Maula, membawanya dalam genggamannya. "Mutia yakin kita bisa melunasinya, Pak. Mari kita berjuang bersama."
Mutia meyakinkan dirinya dan kedua orang tuanya agar mereka tidak merasa resah. Ia mengamati wajah mereka yang penuh dengan gurat kekhawatiran. Mutia tidak ingin ayah dan ibunya jatuh sakit karena hal tersebut.
"Aku berangkat ya, Pak, Mbok. Assalamualaikum."
Mutia meninggalkan pekarangan rumahnya yang tidak besar. Ia berjalan kaki menyusuri jalanan menuju tempat bekerjanya sambil memikirkan solusi yang tepat.
Ia pun sudah membuat beberapa rencana yang hendak ia lakukan hari ini. Di antaranya ia akan meminta gaji bulan ini lebih dulu untuk membayar utang orang tuanya dan untuk kebutuhan hingga akhir bulan, Mutia masih sedikit menyimpan uang sisa gaji bulan lalu.
Sampai di toko, ia bertemu Uni yang ternyata datang lebih dulu. Perempuan itu menyapa Mutia dengan senyumnya yang indah.
"Hai, Mutia. Tumben baru berangkat?"
Mutia tersenyum membalas sapaan Uni. Ia meletakkan tas selempangnya yang sudah usang di loker lantas membantu sahabatnya itu merapikan barang di etalase.
"Kamu yang datang lebih cepat, Ni," sahut Mutia.
"Eh, iya ya? Aku nggak sadar karena nggak lihat jam saat mau berangkat." Uni sedikit terkekeh kecil.
"Ni, aku mau minta tolong sama kamu, boleh?"
Uni menoleh, memandang Mutia yang juga sedang menatapnya. "Minta tolong apa?"
Mutia ragu sejenak. Sebenarnya ia enggan meminta bantuan perempuan itu.
"Kamu bisa bantu aku cari kerjaan lagi nggak?"
"Hah? Maksudnya apa? Kamu mau resign?" pekik Uni terkejut.
Mutia segera menggelengkan kepalanya cepat, meralat perkataannya tersebut.
"Bukan itu maksudku. Aku masih kerja di sini, tetapi aku mau cari kerjaan lagi untuk tambahan."
Uni mengelus dadanya yang masih berdetak kencang mendengar pertanyaan Mutia barusan. Ia mengembuskan napas lega setelah mendengar penjelasan dari perempuan di sebelahnya itu.
"Kalau boleh tahu, kamu kenapa mau cari kerjaan tambahan Mutia?"
Mutia terdiam. Ia ragu ingin menceritakan masalah yang sedang ia hadapi atau menyimpannya sendirian.
"M-maaf kalau kamu emang nggak bisa cerita sama aku. Akan kubantu kamu cari kerjaan, siapa tahu kakakku ada info lowongan lagi ya," kata Uni kemudian.
Mutia mengiyakan. "Terima kasih ya, Uni. Maaf karena aku belum bisa cerita sama kamu."
"Tidak apa-apa."
Pukul lima sore Mutia sudah berada di rumah. Hari ini toko memiliki pengunjung yang tidak terlalu banyak dan pemilik toko meminta para karyawannya untuk pulang sedikit lebih awal.
Mutia pun siang tadi telah mencoba menjalankan rencanyanya yang ia susun semalaman. Bu Rina selaku pemilik toko tempat dimana ia bekerja memanglah baik hati. Ia tadi sempat meminta kasbon lebih dulu dan Mutia pun mendapatkan keinginannya.
Bu Rina memahami masalah yang sedang Mutia hadapi karena itu wanita setengah baya itu mau menolongnya ditambah sedikit memberikan pinjaman kepada Mutia untuk melunasi utang orang tuanya. Kebetulan Mutia adalah karyawan terlama yang bekerja di sana dan Bu Rina sudah mengenal Mutia dengan sangat baik.
Kini, di tangannya sudah ada amplop cokelat dengan berisikan uang. Nominal yang didapatnya memang masih sedikit namun ia masih tetap bekerja keras untuk mencari tambahan lagi. Mutia lantas menyimpan amplop tersebut di dalam laci meja riasnya, menaruh kuncinya di bawah kasur agar tidak dibuka oleh orang lain.
Bukan berarti Mutia mencurigasi ayah dan ibunya akan mengambil uang tersebut. Ia hanya khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti pencurian. Mutia bergidik ngeri membayangkan hal tersebut. Ia segera keluar kamar menemui Maula dan Saminem yang sedang mengobrol di teras rumah.
"Sini, Nduk, duduk sama kami," ajak Saminem kala melihat putrinya keluar rumah.
"Iya, Mbok."
Mutia lalu duduk di antara Maula dan Saminem di kursi bambu panjang.
"Nduk, seharian ini Bapak sama Simbok sudah memikirkan solusi yang tepat dan kami dapat satu solusi. Semoga kamu setuju ya," ujar Maula lembut kepada Mutia.
"Apa jalan keluarnya, Pak?"
"Bagaimana kalau kamu menikah saja, Nduk?" tanya Simbok lirih.
Mutia mengernyit mendengar pertanyaan yang baru saja ia dengar.
"Maksud Simbok apa?" Ia benar-benar tidak mengerti maksud dari Saminem yang tiba-tiba menyuruhnya untuk menikah di saat keluarga sedang terlilit utang.
"Benar, Nduk. Bagaimana kalau kamu menikah saja dan meminta mahar sejumlah utang untuk melunasinya?" kata Maula membenarkan.
Kedua mata Mutia membulat sempurna, mulutnya menganga mendengar penuturan tersebut. "Maksud Bapak sama Simbok, Mutia dijual begitu?"
"Bukan dijual, Nduk. Kamu menikah, membina rumah tangga," jawab Saminem.
"Loh, itu artinya aku dijual demi melunasi utang, Mbok." Mutia masih tidak terima jika ia disuruh menikah di saat genting seperti ini.
"Bukan begitu, Nduk. Toh, kami ini juga sudah tua, sudah saatnya juga kamu berumah tangga. Bapak khawatir tidak bisa memenuhi kebutuhanmu sehari-hari."
"Pak, Mutia masih sanggup bekerja. Bapak tidak perlu mencukupi kebutuhan Mutia, biar aku saja ya," kata Mutia menenangkan Maula.
"Umur tidak ada yang tahu, Nduk."
Mutia terdiam. Ia berpikir sejenak tentang perkataan ayah dan ibunya.
"Dengan siapa Mutia menikah, Pak? Mutia bahkan tidak dekat dengan laki-laki," kata gadis itu memberitahu.
Saminem dan Maula kini berganti terdiam. Mereka bahkan tidak memikirkan hal tersebut. Lama mereka diam dalam pikiran masing-masing, akhirnya Mutia berani menengahi pikiran mereka.
"Begini saja, Pak, Mbok. Mutia akan kerja keras lagi, waktunya tersisa dua hari lagi dan kita harus segera mendapatkan uang untuk melunasinya. Aku akan coba cari kerjaan tambahan dan kemungkinan buruknya jika aku tidak bisa mendapatkan tambahan ya kita harus pinjam ke Pak Kades. Siapa tahu beliau mau membantu kita."
Maula dan Saminem mau tidak mau mengiyakan perkataan putri mereka sembari memikirkan hal lain. Mereka hanya bisa mendukung dan mendoakan Mutia agar selalu diberikan kesehatan mengingat betapa kerja kerasnya ia.
Bersambung ...