Maula dan Saminem terus saja memikirkan jalan keluar melunasi utang yang tersisa dua hari lagi. Mereka tidak ingin para renternir darang untuk menagih dan menghancurkan gubuk tua milik mereka. Gubuk tua itu adalah tempat perlindungan diri dari segala mara bahaya yang alam datangkan untuk para manusia dan juga sebagai saksi perjuangan hidup keluarga Maula.
Maula lahir dari kalangan berada, ia menikahi Saminem yang berasal dari keluarga miskin. Pernikahan mereka tidak pernah mendapat restu dari keluarga Maula sebab tidak ingin Maula menikahi gadis miskin seperti Saminem.
Dulu, Maula bahkan sudah dijodohkan dengan seorang putri dari seorang saudagar di kampungnya. Karena menolak perjodohan tersebut dan memilih menikah dengan gadis pujaan hati, akhirnya Maula dikeluarkan dari kartu keluarganya sebab membangkang perintah orang tua. Maula menerima keputusan tersebut dengan suka rela, ia bahkan tidak memikirkan masa depan yang akan berakhir menderita seperti saat ini.
Maula menghela napas berat. Andai saja dulu ia menuruti permintaan ayah dan ibunya, pasti hidupnya tidak akan menderita seperti ini. Tidak! Seharusnya dulu ayah dan ibu Maula memberikan restu kepadanya untuk menikah dengan Saminem, gadis baik yang telah mencuri hatinya.
Saminem mendekat, duduk di sebelah Maula di teras gubuk mereka. Genteng atap rumah mereka bagian teras sudah banyak yang pecah dan merosot. Tatkala hujan datang maka teras kecil milik mereka akan basah kuyup terkena air.
Wanita tua itu diam beberapa saat sebelum akhirnya bersuara.
"Maafkan aku, Pak. Andai dulu kamu ndak menikah denganku, mungkin kamu ndak akan menderita seperti ini."
Maula menolehkan kepalanya. Ia menatap wajah istrinya yang sayu. Dia tidak mengerti kenapa tiba-tiba Saminem berbicara demikian itu.
"Apa maksudmu, Mbok? Aku ndak menyesal menikah denganmu. Toh, keputusanku sejak awal akan tetap hidup bersamamu apapun keadaanya."
"Benar apa kata orang tuamu dulu, Pak, menikah dengan gadis miskin akan membuat hidupmu tidak jauh berbeda. Terbukti sekarang kamu menjadi orang sepertiku." Saminem menerawang, mengingat berpuluh-puluh tahun lalu saat ia masih muda.
Maula menggeleng tegas. Ia menggenggam tangan istrinya erat.
"Jangan bilang begitu, Mbok. Kita sudah melewati banyak masa, harusnya kita bersyukur dan tidak menyesali perbuatan kita dulu. Sekarang lebih baik kita fokus pada masalah ini, kita bantu anak kita agar bisa melunasi utang sesegera mungkin."
Saminem tersenyum. Dia mengiyakan perkataan suaminya.
"Mbok, Bapak mau keluar dulu ya. Bapak mau pergi ke pasar untuk mencari informasi. Siapa tahu ada orang baik yang mau menolong kita," pamit Maula kemudian.
"Iya, Pak. Hati-hati di jalan ya."
Maula lantas meninggalkan Saminem yang masih duduk di teras melihat kepergiannya. Semangat melanjutkan hidupnya kini kembali membara mengingat Mutia yang juga bekerja keras.
Tiba di pasar, Maula duduk di sebuah emperan pasar tradisional yang tempatnya tidak dipakai untuk berdagang. Siang ini cukup panas dan terik membuat Maula yang berjalan kaki beberapa kilometer sangat lelah. Ia duduk sambil mengibaskan telapak tangannya di depan wajah, menyeka keringat yang bercucuran di dahinya.
"Mau minum, Pak?" tanya seorang pedagang minuman keliling yang berhenti di depan Maula.
Lelaki tua itu menggeleng, ia tidak punya uang untuk menghilangkan dahaganya.
Sang pedagang lantas kembali menjajakan dagangannya ke orang-orang.
Beberapa saat kemudian, seorang lelaki setengah baya duduk di sebelah Maula. Lelaki itu sempat tersenyum kepada Maula sebelum duduk di sana.
"Bapak dari mana?" tanya lelaki tersebut.
"Saya dari desa sebelah," jawab Maula.
"Sedang menunggu istri berbelanja, Pak?"
Maula menggeleng.
"Saya sedang mencari informasi, Pak. Apa anda tahu di dekat pasar ini ada orang yang bisa memberikan pinjaman uang?" tanya Maula pada akhirnya.
Lelaki setengah baya itu nampak berpikir. Keningnya berkerut-kerut.
"Sepertinya ada, Pak. Saya pernah dengar ada keluarga kaya di desa Buaran yang mau memberikan pinjaman," kata lelaki itu.
Mata Maula berbinar mendengar penuturan tersebut. Kebetulan juga desa yang disebutkan lelaki itu tidak jauh dari desanya tinggal.
"Terima kasih banyak ya, Pak. Saya sangat berterima kasih kepada anda. Kalau begitu saya izin pamit dulu ya." Maula beranjak dari duduknya. Ia mengulurkan tangannya menyalami lelaki itu.
"Iya, Pak, sama-sama. Semoga masalah Bapak segera terselesaikan ya."
"Terima kasih."
Bersambung ...