25 tahun yang lalu. Seorang bayi perempuan yang cantik telah lahir ke dunia dengan selamat, dan tanpa ada satupun kekurangan. Bayi itu pun langsung menangis ketika melihat dunia untuk pertama kalinya.
Bayi itu adalah Stevi Anjali Putri. Kelahiran Bandung, 22 Mei 1995. Dia lahir dari pasangan suami istri Astina dan Eman Suherman.
Stevi sejak usia 6 bulan dia sudah mulai menunjukan keaktifan dirinya. Dia juga mulai mengoceh dan banyak mencetuskan bahasa-bahasa unik, yang tentu membuat orang-orang sekitar menjadi senang.
Stevi tumbuh dengan kasih sayang yang melimpah dari kedua orang tuanya. Dia anak tunggal dari keluarga itu. Jadi, wajar semua kasih sayang diberikan kepada Stevi seorang.
Gadia itu beranjak tumbuh, hingga di usianya yang baru genap lima tahun, Stevi sudah masuk Sekolah Dasar (SD).
Jika kebanyakan anak-anak akan cenderung mendaftar di usia 6 sampai 7 tahun, lain dengan Stevi.
Di usianya yang masih dini, Stevi sudah bisa berhitung, dan mengeja namanya. Bahkan dia sudah mengenal huruf alfabet hanya dalam beberapa bulan saja.
Kepintarannya tidak serta merta Stevi dapatkan dengan begitu saja. Kedua orang tuanya adalah orang-orang yang jenius.
Ayah Stevi adalah agen di BIN (Badan Intelijen Negara) sedangkan ibunya adalah dokter bedah umum, rumah sakit terkenal di jakarta.
Tidak ada yang tidak mengenal kedua orang tua Stevi. Bahkan kepintaran Stevi dikait-kaitkan dengan kecerdasan dari kedua orang tuanya.
Sangat mudah bagi Stevi untuk berteman. Dia langsung memiliki banyak teman di hari pertamanya masuk sekolah.
***
Hari-hari gadis itu sangatlah cerah. Banyak yang meramal Stevi akan menjadi orang sukses nantinya.
Para guru di sekolah tersebut, selalu menyanjung kepintaran Stevi. Bukan niat ingin pipih kasih, tetapi Stevi memang ada yang jenius.
Dia bahkan lulus SD di usianya yang tepat menginjak 8 tahun. Ya, benar di usia 8 tahun Stevi sudah lulus SD.
Bukan kemauan Stevi lulus di usia yang masih dini, tetapi IQ Stevi berbeda dengan anak-anak seusianya.
Pikirkan. Pelajaran yang hanya ada di kelas 6 saja, Stevi bisa menjawabnya. Sedangkan mereka kakak-kakak kelas Stevi tidak bisa mengerjakan tugas tersebut.
Dari sana sudah terbayang bagaimana Stevi nantinya? Mungkin dia akan menjadi peneliti atau seseorang yang menciptakan sesuatu, sejenis benda-benda yang tidak ada di dunia. Entah?
Stevi tetaplah, Stevi. Gadis 8 tahun yang harus naik kelas tanpa perlu dia belajar dengan keras.
Hingga di usianya yang menginjak 10 tahun. Stevi menorehkan rekor kembali. Di usianya yang sekarang Stevi sudah lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan bahkan detik ini Stevi akan melakukan kelulusan Sekolah menengah Akhir (SMA).
Percaya tidak? Pasti tidak percaya bukan? Bagaimana bisa Stevi lulus SMP dan SMA-nya hanya kurun waktu dua tahun saja. Entah tidak ada yang bisa mendiagnosa Stevi. Bahkan para ilmuwan dari luar negeri ingin meneliti Stevi, layaknya kelinci percobaan.
Seluruh masyarakat tercengang. Bahkan media luar negeri pun, turut memberitakan tentang prestasi yang Stevi dapatkan.
Nama keluarga mereka semakin terkenal. Bahkan seantero negeri mengenal keluarga ini.
Akan tetapi, dari sanalah bencana muncul. Astina dan Eman mulai dikenal lebih luas. Meskipun nama ayahnya sebatas nama kampung, namun Stevi tidak memperdulikan mereka.
****
Stevi berjalan pulang dari sekolahnya. Ada banyak mobil yang terparkir di rumahnya, tetapi tidak sedikitpun Stevi memiliki ketertarikan dengan harta.
Selama perjalanan menuju rumah, selama itu juga Stevi bersiul dan bersenandung. Dia melakukan itu untuk menghibur dirinya agar tidak bosan saat di jalan.
Keluarganya memang boleh terkenal dan kaya raya, tetapi Stevi bukanlah orang yang seperti itu.
"Dari pada aku naik mobil, lebih baik aku naik bus saja. Pasti sensasinya akan sangat berbeda."
Ungkapan itu yang selalu Stevi ingat-ingat dalam benaknya. Duduk di salah satu kursi penumpang. Membuka jendela mobil bus tersebut, lalu membiarkan udara luar menerpa wajahnya.
Dia terus memandang keluar jendela, menikmati pemandangan Ibu kota yang selalu saja ramai.
Meskipun dia lahir di kota Bandung, tetapi Stevi besar di kota Jakarta. Tidak ada yang menyangka gadis desa yang lugu adalah seseorang yang sangat jenius.
15 menit berselang. Stevi sampai di pemberhentian terakhir. Jarak rumahnya sudah tidak jauh dari sana.
Stevi berjalan santai seperti biasanya. Menikmati jalan setapak yang selalu sama.
Gang perumahan yang setiap harinya Stevi lewati. Dia tidak merasa bosan, walau pemandangannya itu-itu saja.
Hingga akhirnya Stevi sampai di pekarangan rumahnya. Dia menampakkan wajah terkejut. Hal aneh dirasakan oleh Stevi ketika melihat pintu rumahnya yang terbuka lebar.
Dor ….
Belum juga dirinya masuk, sudah terdengar suara tembakan dari dalam. Tentu yang pertama kali terbesit dalam benaknya adalah Ibu dan Ayahnya.
"Ibu!" Tasnya sampai terjatuh dan Stevi tidak memperdulikan hal tersebut.
Stevi sampai di dalam. Suara tembakan tadi bukanlah simulasi atau main-main yang ayahnya ciptakan. Melainkan sekelompok pria bertopeng manyantroni rumahnya.
"Kalian siapa?!" Dia dengan beraninya berteriak. Stevi tidan mengenal rasa takut, meski mereka membawa senjata di tangan masing-masing.
Hahaha …
Tertawa. Mereka menertawakan Stevi. Gadis belia yang berani membentak mereka.
Sungguh ini yang disebut meremehkan seorang wanita. Stevi tidak suka jika ada yang menertawakan dirinya seperti itu.
Meskipun mereka memakai topeng, tetap saja suara mereka masih bisa terdengar oleh telinga.
"Hei, gadis manis jangan main-main kau, atau kedua orang tuamu ini akan kami celakakan," ujar salah seorang dari mereka.
Terdengar mengancam, tetapi bukan Stevi yang langsung takut dengan ancaman.
Dia memandang sinis mereka. Otaknya mencoba merekam setiap detail yang ada pada diri mereka.
Seperti mesin ketik berjalan. Stevi menggambarkan apa yang mereka kenakan dan bawa. Itu semua tidak luput dari perhatian Stevi.
"Kemari kau!" panggilnya memaksa.
Stevi tersendak. Dia sempat melamun, hingga akhirnya dia tersadar kembali.
"Tidak mau. Mengapa juga aku harus mendatangi kalian? Memangnya kalian ini siapa yang harus aku datangi? Orang penting? Pejabat daerah, atau bahkan Presiden?" kata Stevi menebak-nebak.
"Tentu kalian bukan orang-orang yang aku sebutkan tadi. Jelas. Kalian bukanlah orang hebat, melainkan sekelompok pria yang hanya berisikan para pecundang saja," sindir Stevi menambahkan.
Stevi tidak menampik bahwa dirinya sungguh ketakutan. Lihat saja bagaimana kedua tangannya bergetar, ketika dia berkata tadi.
Memang tubuhnya tidak mengeluarkan keringat, tetap saja ada rasa takut yang mendiami hati Stevi.
"Berani kau berkata seperti itu, Bocah ingusan!" dengus seseorang yang memakai topeng beruang hitam.
"Kau tidak tahu siapa kami, ah?" tambah dia menantang.
Meskipun usia Stevi 10 tahun, bukan berarti dia harus lemah? Tentu Stevi memiliki strateginya sendiri.
Saat ini setiap inci dari gerakannya sangat berarti besar. Stevi harus menyelamatkan kedua orang tuanya yang diikat di sana.
Benar sekali. Stevi bahkan bisa merasakan bahwa kedua orang tuanya tengah memintanya untuk pergi.
Namun, bukan Stevi yang akan lari dari setiap masalah. Dirinya harus memutar otak untuk menyelamatkan orang tuanya tanpa terjadinya pertumpahan darah.
Bagaimana kelanjutan kisah Stevi?
JANGAN LUPA BACA BAB SELANJUTNYA!