Di area pemakaman. Niken terus saja menangis kepergian Ayahnya, ia sangat menyesal karena tidak bisa membuat ayahnya selamat, ia sangat menyesal karena belum bisa membuat Ayahnya bahagia.
Niken merasa sangat gagal sebagai seorang anak, di saat-saat terakhir Ayahnya, ia malah tak bisa membuat Ayahnya kembali sembuh.
Dion yang sangat kasihan melihat Kakanya itu, langsung memegang tangan Kakanya dan mengajak Kakanya itu untuk kembali ke kediaman mereka. Karena hari juga sudah mulai senja
"Ka, ayo kita pulang. Kaka harus istirahat Ka, Kaka belum makan dari tadi pagi," ucap Dion sambil memegang tangan Niken.
"Dek, Ayah sekarang udah gak sakit lagi Dek, Ayah udah bahagia sama Ibu di sana," ucap Niken dengan air mata yang terus saja berurai.
Akhirnya Niken ikut dengan adiknya untuk pulang kerumahnya, rumah yang sangat banyak menyimpan kenangan dirinya dan juga ayahnya
Skip
Niken sedari tadi hanya diam dan meneteskan air matanya. Dirinya tak tau harus bagaimana lagi, karena dirinya sudah mengorbankan apa yang telah ia jaga selama ini demi kesembuhan ayahnya. Tapi, ternyata Tuhan berkehendak lain.
"Ayah, apakah Ayah sudah bahagia di sana? Ayah sekarang sudah tidak merasakan sakit lagi, maafkanlah Niken iya Ayah, Niken belum bisa membahagiakan Ayah," ucap Niken sambil mengusap Poto mendiang ayahnya.
"Nak, sudahlah ikhlaskan kepergiannya Ayah kamu, biarkanlah dia tenang di sana. Bibi tau jika kamu sangat sangat terpukul atas kematian Ayah kamu, tapi, kamu harus kuat Nak," Sambil memeluk tubuh Niken.
"Tapi, Bi. Bagaimana dengan hidup kita, kedepannya. Bagaimana dengan hidup Bibi jika Ayah tiada? kita belum bisa hidup tanpa ayah Bi, Niken belum bisa jika menjalani hari hari tanpa sosok seorang Ayah," Niken menagis dengan histeris karena mengingat jalan kehidupan mereka kedepanya
"Bibi percaya sama Tuhan Nak, Tuhan tak mungkin memberikan kita cobaan jika kita tak mampu untuk melewatinya," Bibi mencoba menenangkan anaknya itu
"Bibi percaya sama kamu, jika kamu bakalan kuat untuk menghadapi semua ini," sambil memeluk Niken.
"Hiks hiks Niken belum bisa menerima semua ini Bi," dengan berderai air mata.
"Ayo, Kita sama _sama melangkah untuk kedepannya Nak. Kamu masih punya Bibi dan Dion, kamu masih memiliki kami Nak,"
"Niken, Niken hiks hiks hiks," Niken memeluk Bibinya dengan erat.
Tiba tiba datang segerombolan lelaki yang berpakaian rapih.
"Maaf, apakah ini benar rumahnya Nona Niken?"
"Iya benar, kalian ada perlu apa dengan anak saya?" Bibi menghampiri segerombolan lelaki itu.
"Nyonya, kami kemari ingin membawa Nona Niken, untuk bertemu dengan Tuan kami,"
"Maksudnya, bagaimana iya? Kenapa kalian ingin membawa anak saya?" Bibi melihat para peria itu dengan tatapan bingung
"Nyonya tenang saja, Tuan saya ingin bertemu dengan Nona Niken, saya harap Nona Niken bersedia untuk ikut dengan kami."
"Niken, Nak bangun. Kamu kenal dengan mereka?" Bibi menunjuk segerombolan dengan itu
"Gak Bi, Niken gak kenal," ucap Niken lemas. Niken memandang wajah_wajah yang ada di hadapannya.
"Tapi, mereka mau membawa kamu. Katanya," wajah Bibi tegang.
"Buat apa Bi? Aku Tak kenal dan punya urusan sama mereka Ni," Niken beranjak dari duduknya dan menemui mereka.
"Maaf, Tuan-tuan, maksudnya kalian apa iya? Saya tidak mengenal kalian," Niken menghapus air matanya yang masih saja menetes di pipi mulusnya itu
"Saya harap Anda mau ikut dengan kami. Jika Anda tidak bersedia kami akan bertindak kasar!"
"Tapi, saya tak kenal dengan kalian. kalian mau apa?" Tangan Niken di pegang dan di angkat begitu saja, seketika Niken teringat kejadian tempo lalu. Ia mengingat wajah salah satu dari mereka.
"Gawat, mereka kan anak buahnya Tuan Kenzo, mau apa mereka kemari Dan bagaimana bisa mereka tau jika aku tinggal di sini?" ucap Niken dalam hati.
"Maaf, Nona. Karena Anda tidak bisa di ajak dengan baik-baik, maafkanlah kami jika kami bertindak sedikit arogan. Kalian bawa dia!" perintah lelaki yang berparas tampan tersebut.
"Hey, kalian lepaskan anak saya. Kalian mau bawa kemana anak saya?" Bibi berteriak.
"Lepaskan, lepaskanlah saya!" Niken mengamuk, karena mereka kewalahan, akhirnya Niken di berikan obat bius.
"Tolong, tolong,'' Bibi berteriak.
Salah satu lelaki itu menghampiri Bibi.
"Nyonya, saya harap anda bisa bekerjasama, kami bukan mau menyakiti Nona Niken. Tapi, kami ingin membawanya kepada Tuan kami. Nanti kami akan kembalikan lagi, jika Anda masih ingin berteriak, silahkan saja, Jika anda mau rumah ini kami hancurkan!" Ancamannya.
Bibi terdiam kaget, hanya air mata yang lolos begitu saja dari matanya, Ia tak tau harus berbuat bagai mana.
"Hiks hiks hiks,nmaafkan Bibi sayang, Bibi tak bisa membantu kamu," Bibi menangis sejadi jadinya.
Setelah mobil yang membawa Niken hilang dari pandangan, Dion baru saja sampai di rumah.
"Bibi, Bibi kenapa ko duduk di tanah?" Dion membantu bibi berdiri.
"Dion, Kaka kamu, Kaka kamu di bawa oleh mereka," isak tangis Bibi pecah.
"Mereka siapa Bi? kenapa bisa Bi?" wajah Dion terlihat kawatir.
"Bibi juga gak tau Dion, Bibi sungguh kawatir dengan Kaka kamu Dion,"
"Sudah, Bibi ayo kita masuk dulu iya, di sini gak bagus udaranya," Dion memapah Bibinya untuk masuk kedalam rumah"
"Dion, cepat cari Kaka kamu, Bibi takut terjadi sesuatu dengannya," sambil memegang tangan Dion
"Iya Bi, nanti Dion bakal cari Kaka, tapi bagaimana dengan Bibi?"
"Bibi tak apa Nak, cepat sana cari Kaka kamu! Walaupun mereka sudah bilang jika akan mengembalikan Kaka kamu, Tapi Bibi masih saja kawatir,"
"Baiklah, Dion pergi dulu iya Bi," Dion berpamitan kepada Bibi.
"Kamu di mana Ka, Kenapa masalah harus datang dengan bertubi tubi, Dion tak sanggup jika Kaka harus kenapa_kenapa. Tumpuan hidup Dion sekarang hanya Kaka."
Dion berjalan menelusuri jalanan kota.
Dion mencoba untuk menanyakan ke beberapa orang yang ada di pinggir jalan
"Maaf, Pak. Bolehkah saya tanya, apakah bapak pernah lihat orang yang ada di Poto ini?" Dion memperlihatkan Poto yang ada di ponselnya.
"Oh, maaf. Dek saya tidak pernah melihatnya,"
"Oh, baik. Terimakasih pak,"
Di dalam mobil.
Niken sedari tadi tak sadarkan diri. Akibat dari obat bius yang di berikan kepadanya.
"Hallo. Tuan, kami sudah berhasil membawa Nona Niken, tetapi kini Kami sedang menuju ke tempat tuan berada,"
"Bagus. Janganlah sampai kalian melukainya walaupun segaris!" perintah taun mereka.
"Siap. Tuan, akan kami laksanakan!" Tut Tut Tut panggilan terputus.