Chereads / THE SINNER / Chapter 2 - 0

Chapter 2 - 0

Di tahun 1897...

Musim gugur telah tiba pada bulan September di Jepang. Kejadian tersebut merupakan kabar bahagia bagi para pasangan, karena musim ini sangat identik dengan musim yang romantis. Dengan daun-daun yang berwarna kuning, merah, hingga cokelat dipadukan dengan pemandangan yang sangat indah saat angin menghembus pelan beberapa Pohon Maple yang tersebar di sepanjang sisi jalan taman.

Datangnya musim gugur tidak hanya sekedar pemujaan pemandangan nan indah, melainkan; bagi masyakat Jepang, musim ini adalah waktu yang tepat untuk merayakan sebuah festival yang disenggelarakan tiap tahun atau tiap musim gugur tiba, yang dinamakan sebagai Festival Musim Gugur.

Seluruh masyarakat Jepang sangat menanti-nanti dengan perayaan festival yang nantinya akan diselenggarakan di petang hari. Wajah yang terhias dengan berbagai elokan senyuman dan ditambah suasana riang yang penuh keramaian berbagai khas suara yan g terlontar dari berbagai penduduk Jepang yang sepertinya membahas terkait perayaan festival; diakhiri dengan tawaan keras namun bersahabat. Suasana yang begitu ramai terasa di Kota Tokyo, namun hal itu tidak terasa di kediaman Klan Aozora.

Sepi seakan tidak ada penghuni hidup dalam kediaman klan tersebut. Kalimat itulah cukup mendeskripsikan bagaimana keadaan suasana di kediaman Klan Aozora. Suara benturan bambu dengan batu, menandakan air yang ditompang telah penuh, hanyalah yang dapat terdengar di kediaman Klan Aozora.

Di tengah ketengangan dan keheningan suasana tersebut, timbulnya suara benturan yang sangat keras hingga membuat orang-orang yang melalui kediaman Klan Aozora melonjak kaget.

Haru membuka pintu geser berpanel dari rangka kayu dilapisi warna putih tua, berlapis kertas transparan di antara panel kerangka kayu. Pemuda berambut hitam dan iris biru terang, melangkah keluar dari ruang kerja ayahnya. Wajah jengkel terpampang jelas di raut wajah putihnya dengan kedua alis sedikit dikerutkan di pertengahan kening dan bibir mawar muda mencibir ke depan sesaat membuka pintu geser ruangan kerja ayahnya.

"Jangan lupakan pembicaraan kita, Haru. Pikirkan itu," kata ayahnya dengan suara berat khasnya dalam ruang kerja.

"Buat apa aku berpikir jika ayah selalu tidak setuju dengan pendapatku sendiri," sahut Haru menggerut kesal mendengar ucapan ayahnya.

Tanpa berbalik menghadap ayahnya, Haru langsung beranjak keluar kemudian menutup pintu geser dengan bantingan cukup keras dihasilkannya. Ayah Haru hanya diam, menyaksikan sikap anaknya yang jengkel kepadanya. Dia tidak menyangkalnya; begitulah sifat anaknya sejak berusia 18 tahun.

Pria berumur 60 tahun menyesap seduhan teh hijau yang sudah disajikan pelayan sebelumnya, lalu membuang nafas setelahnya.

"Rencananya---semua berjalan dengan lancar?" tanya ayah Haru yang telah memecahkan keheningan suasana ruangan setelah beberapa detik lalu.

Pria itu seakan berbicara pada seseorang dalam ruangan, namun secara visual, pria tua itu tampak duduk bersimpuh sendirian dalam ruangan kerjanya.

"Semua berjalan sesuai rencana, Shuiji-sama," jawab seseorang yang sepertinya berada dalam ruangan namun penampakkan tak tampak terlihat secara visual. Dilihat dari suaranya, seseorang tersebut merupakan wanita.

Pria bermata biru terang seperti warna mata Haru, sedikit tersenyum, memunculkan tanda keriput di sudut bibirnya. Sebelum dia berucap, terlebih dahulu, ia terkekeh kecil. "Baguslah begitu, tetap berpegang pada rencana."

"Baik Shuiji-sama," jawab seorang wanita.

Kini ruangan yang ditempati pria tua itu kembali menjadi awal setelah Haru meninggalkannya dengan perasaan kesal dan setelah seorang wanita pergi menghilang setelah menerima perintah selanjutnya darinya. Pria tua berambut putih keabu-abuan kembali menyesap teh hijau dengan elegan, sepertinya waktu ini ia ketagihan minum teh hijau karena berbagai masalah datang kepadanya secara tiba-tiba, apalagi jika disangkut-pautkan dengan Haru.

Memang anak-anak zaman sekarang, keluh Shuiji dalam hatinya.

Shuiji menghela napas dan tangannya hendak meraih cangkir yang berisi sisa teh hijau, namun ia hentikan pergerakan tersebut seperti dia merasa sesuatu akan terjadi jika ia menggenggam teh hijau. Ia kembali membuang napas, memijat pelipisnya, dan kepalanya menengok ke arah samping yang menunjukkan pemandangan taman nan indah seakan dirawat secara rutin oleh bawahannya.

Shuiji kembali berbalik pandang ke meja oshin dan tangannya kembali meraih cangkir yang berisikan teh hijau. Saat ia menggenggam cangkir tersebut, alhasil cangkir yang ia genggam pecah tak terbentuk dan teh hijau tersebar di mana-mana hingga mengenai kimono miliknya.

Shuiji berdecak sebal. "Sangat merepotkan."

+++++

Tidak semua kehidupan yang dijalani pemuda berias tampan lengkap dengan tinggi badan 160 cm, semuanya begitu sempurna. Segala kesempurnaan fisik dari pemberian Tuhan kepadanya, tetapi perjalanan siklus kehidupannya bertolak belakang.

Bagi Haru, hari ini adalah hari yang "paling" terburuk, namun bukan berarti hari sebelumnya lebih baik dari ini. Semua hari Haru lewati, selalu tidak pernah bebas dari kesialan buruk dan selalu berakhir dengan kondisi kepala yang semakin berkedut tak henti hingga sampai saat ini, dia masih merasakan walau tidak separah sebelumnya.

Omelan omong kosong dari ayahnya tidak pernah berhenti berputar layaknya kaset rusak yang sudah menjadi santapan utama Haru. Apalagi pembicaraan dengan ayahnya sekarang ini sudah bikin suasana Haru semakin kacau untuk melanjutkan aktivitas hariannya.

Tunangan. Atau lebih tepatnya, Haru sedang mengalami perjodohan dari ayahnya.

Sebagai tradisi turun-temurun, tidak asing jika Klan Aozora melakukan perjodohan dengan tunangan sesuai kemauan kepala Klan Aozora, jika usia mencapai 18 tahun. Hal tersebut dilakukan untuk memperkuat segala ikatan antara klan atau untuk keuntungan sendiri, yaitu memperluas kekuasaan.

Semenjak usia Haru menginjak 18 tahun, hidup sebagai remaja biasa hancur seketika ayahnya memanggilnya untuk membahas perjodohan untuknya. Hingga saat ini, usia pemuda tiang listrik hampir menginjak 25 tahun, tidak pernah bebas dari segala pembahasan perjodohan. Jadi selama 8 tahun, pemuda tiang listrik hanya menghabiskan waktunya mendegarkan segala cemooh perjodohan dari ayahnya, bahkan semua anggota Klan Aozora pun ikut serta. Tidak seindah kehidupannya dibanding penampilan fisiknya.

Haru membuang nafas panjang, berharap rasa penatnya menghilang begitu saja dengan hanya sekali respirasi nafas, namun sepertinya anggota badan tidak mengikuti keinginan otak dan malahan semakin menambah rasa penatnya dan pusing; yang sepertinya disebabkan karena Haru terus memikirkan urusan keluarganya. Apalagi jika dikaitkan dengan ikatan jodoh bersama perempuan yang tak dikenal dan hanya mengenal dari nama klan tersebut, semakin dibuat otak Haru pusing tujuh keliling.

Lagi-lagi Haru membuang nafas. Ini sudah kedua kalinya ia membuang nafas panjang seolah jiwanya telah pasrah dalam menjalani kehidupan. Haru lelah, sangat lelah dengan segala perintah yang diberikan oleh ayahnya, seperti urusan pekerjaan kepala Klan Aozora kini diberikan kepada Haru ketika masih di bangku SMP. Bayangkan bagaimana rasa perasaan hatinya ketika waktu bermainnya dan waktu lenggang untuk bersantai telah termakan oleh perintah ayahnya.

Menurut pandangan Haru, ayahnya hanyalah mempergunakannya sebagai alat, namun ada hal yang berbeda. Ketika alat tidak bisa digunakan kembali, maka pemiliknya akan membuangnya, sedangkan bagi ayahnya, alat yang tidak bisa digunakan kembali masih bisa diperbaiki, seperti halnya dengan Haru. Bukan karena kasih sayang antara anak dan ayah melainkan hubungan pemilik dan alat. Sungguh, itu sangat menjengkelkan bagi Haru dan ada di waktu saat ia hendak mencoba menghabiskan nyawa ayahnya dengan tangannya sendiri, namun hal itu berakhir tidak sesuai rencana yang ia ekspetasikan.

"Haru, jika kamu ingin sekali menghabisi nyawaku, silahkan aku tidak akan kemana-mana sampai aku tidak bernyawa lagi." Shuiji berjalan menuju Haru (17 tahun) yang membeku di tempat. Salah satu tangannya meraih tangan Haru yang tengah memegang belati dan mengarahkannya tepat ke dadanya. "Tapi, ingat ini Haru, kediaman Klan Aozora tidak akan berkontribusi secara sempurna tanpa adanya kepala tuan ruma Klan Aozora."

"Ayah pikir aku memang peduli dengan Klan Aozora?" Haru tertawa ejek dan sudut mulutnya terangkat. "Setelah kalian memanfaatkanku untuk memperluas kekuasan?!"

"Sepertinya kamu menghabiskan waktumu hanya untuk bersenang-senang, ya?" Shuiji terkekeh kecil. "Memang sepatutnya aku harus memberi pengawasan lebih terhadap kamu."

"Apa maksudmu, kakek tua?!" kelakar Haru setelah menerima reaksi ayahnya yang seakan mengejek dirinya.

"Haru, bukankah aku sudah bilang? Pikirkan terlebih dahulu sebelum berucap---aku sudah bilang kalimat tersebut berulang kali dan sepertinya kamu masih belum paham apa maksud kalimat ku sebelumnya, ya Haru?"

"Diam mulutmu kakek tua!!!"

Tanpa sepengetahuan Haru, secara tiba-tiba ia mengeluarkan aura intimidasi; mengitari secara keseluruhan ruangan hingga membuat salah satu pelayan yang hendak menyajikan makanan ringan, tersungkur lemas menyebabkan sajian makanan yang dibawa pelayang tersebut, berjatuhan di mana-mana diakibatkan aura yang dikeluarkan Haru secara tiba-tiba.

Shuiji sedikit melangkah mundur dan menatap Harusecara tajam sedari lengan kimononya menutupi area pernafasan. "Jadi, kamu sudah mulai berani dengan ayahmu sendiri, Haru?"

Haru menundukkan kepalanya setelah mendapatkan kalimat berupa teguran amarah dari ayahnya sendiri. Tetapi, entah mengapa sudut bibirnya terangkat menyerupai seringai, menghiasi wajah putihnya. Ia pun mengangkat kepalanya dan mempertemukan iris biru langit cerah-milik Haru---dengan warna iris yang sama halnya dengan warna iris Haru, namun gelap---milik Shuiji.

Haru memainkan belati sebentar hingga menampilkan ujung mata belati tersebut, dan melemparkannya secara mulus tepat di wajah Shuiji. Sebelum belati meluncur ke arah wajahnya, Shuiji sempat-sempatnya menggunakan teknik Barrier Absolute. Dengan teknik tersebut, alhasil belati yang meluncur ke arahnya, tiba-tiba diberhentikan oleh sesuatu tak kasat mata, dan belati itupun jatuh tanpa ada penghasilan pun yang didapat berupa luka goresan atau kematian ayahnya-bersih tak ada sekalipun luka yang didapatkan Shuiji oleh serangan Haru.

"Kamu masih ingin bermain, Haru? Kamu tahukan, mau berapa kali kamu mencoba mengeluarkan teknik, menyerang menggunakan senjata manapun, dan lain sebagainya yang kamu anggap bisa memusnahkanku, sebaiknya kamu berpikir terlebih dahulu." Shuiji beranjak pergi keluar dari ruangannya, meninggalkan Haru yang diam mematung setelah mendapat ocehan dari ayahnya. Dan suara benturan shoji yang tertutup ditandai sebagai akhir kata Shuiji.

Tidak terasa sudah 9 tahun terlewati setelah kebebasan Haru direnggut oleh ayahnya sendiri. Memikirkan kejadian tersebut, semakin membuat otak Haru pusing tujuh keliling namun kali ini dua kali lipat dari biasanya.

Ah... sebaiknya aku tidak memikirkannya. Aku ingin pergi ke kamarku segera..., batin Haru sembari mengguncang rambut hitam.

Lorong kayu yang dipoles menggunakan bahan terbaik sangatlah sepi dan hening, hingga hanya semilir angin dan suara germisik menemaninya. Dia berjalan dengan keadaan lelah. Lorong yang ia lewati terasa begitu lebar dan tanpa ujung menyebabkan dia pusing untuk melewatinya. Tetapi, entah mengapa dengan perasaan yang ia rasakan adalah heran akan suasana yang asing, menurut Haru.

Tidak biasanya anak-anak penerus Klan Aozora---menurut Haru---tidak lagi bermain di lorong yang ia lewati. Ada di waktu Haru melewati lorong, dia selalu disapa oleh beberapa anak-anak dan selalu dipaksa untuk bermain. Bahkan ada salah satu anak laki-laki mengaku sebagai ketua dari kelompok bermain anak-anak dan memberitahukan bahwa lorong tersebut merupakan markas besar mereka. Jadi setiap kalipun ada seseorang yang ingin melewati "markas" mereka, harus minta izin dengan ketua secara langsung.

Haru yang mendengar hal tersebut, tertawa kecil; mengundang pandangan heran dari anak kecil. Tidak butuh waktu lama untuk mempeributkan isi pikiran mereka, anak-anak kecil pun ikut tertawa bersama Haru walaupun mereka masih tidak tahu mengapa pemuda di depannya tertawa, yang hanya mereka tahu, ikutlah tertawa.

Sungguh itu merupakan hari yang nyaman bagi Haru, jadi setiap kali hatinya merasa kacau, ia akan sengaja lewat lorong yang diketahui sebagai "markas" mereka untuk mengembangkan rasa positif dan menghilangkan rasa negatif.

Namun, waktu ini sangatlah beda dari biasanya. Tidak ada sapaan lembut yang sering memanggil Haru dengan panggilan: "Leopard hitam!"-entah mengapa nama hewan tersebut disangkut pautkan dengannya, namun Haru hanya menerima saja. Lagipula hanya anak kecil, palingan hanya sebatas panggilan candaan, bagi Haru. Tidak ada pertunjukkan kepolosan dari mereka hingga membuat Haru tersenyum-senyum karena mengingatkan dirinya di masa lalu, dimana waktu itu ia masih tertawa riang layaknya anak kecil biasanya sebelum kebebasan direnggut ayahnya hingga membuat senyuman yang sering terukir hilang. Namun, berkat anak-anak kecil tersebut, ia dapat merasakan kebahagiaan selain "dia". Serta tidak ada ajakan dari mereka untuk bermain hingga dapat menghilangkan perasaan jenuh.

Sekarang ini merupakan waktu sial bagi Haru seakan Tuhan memberikan kesulitan yang luar biasa sebagai bayaran level kekuatannya yang mencapai ketidakbatasan manusia.

Beberapa menit telah terbuang, Haru masih saja memandang kosong di tepi lorong, yang sepertinya merupakan tempat markas anak-anak tersebut. Merasa sudah cukup lama ia berdiam di tempat, akhirnya ia pun kembali melanjutkan perjalannya dengan satu tujuan yaitu ke kamarnya untuk beristirahat.

Di tengah perjalannya, gelombang angin yang cukup besar secara tiba-tiba menghampas tubuh jiwa raga Haru, membuatnya secara sigap langsung menyipitkan mata; mencegah jikakalau ada debu maupun pasir masuk ke dalam matanya-bersamaan langkah kakinya berhenti di tempat. Haru secara perlahan membuka kelopak matannya. Hal pertama yang ia lihat adalah daun merah-jingga sedang melakukan pertunjukkan tari bersama gelombang angin menyertainya seolah pertunjukkan tersebut merupakan hadiah dari Tuhan.

Saat melihat daun maple tersebut, entah mengapa pikirannya menjelajah ke arah seorang perempuan yang memiliki rambut berwarna merah muda layaknya bunga sakura dan sepasang iris hazel coklat seirama dengan warna daun maple yang tengah ia raih. Sekilas Haru tersenyum berseri-seri dan segala perasaan jenuhnya hilang saat memikirkannya seorang perempuan tersebut yang diyakini sebagai orang spesial baginya. Sepertinya dia telah menemukan obat kedua selain obat pertama, yaitu bermain dengan anak kecil-tunggu, memang sedari awal orang itu telah mengobati rasa pahitnya berubah menjadi manis.

"Wah... aku tidak menyangka tuan poker face bisa tersenyum layaknya orang normal. Sedang memikirkanku ya?" genit seorang perempuan yang datang layaknya tamu tak diundang; mengejutkan Haru.

Haru dengan segera langsung menyembunyikan daun maple yang ia genggam di balik baju kimononya kemudian Pandangannya beralih ke seorang perempuan berparas menawan dengan rambut lavender dan sepasang iris mata berwarna seirama dengan warna rambutnya namun lebih terang.

Perempuan tersebut menggunakan gaya rambut cepol dengan hairpin dikaitkan di bagian rambut. Wajah putihnya dengan bibir berpoles dengan warna rose, semakin menambah keanggunan perempuan tersebut.

Perempuan dengan rambut lavender-nya masih saja tersenyum walaupun reaksi yang didapat dari Haru merupakan ekspresi kesal, cemberut, dan merasa terganggu; semuanya bercampur menjadi satu.

Haru berdecak kesal. "Buat apa kamu kesini? Seingatku ini bukan kediaman klan-mu, Suzuhara Aiko."

Suzuhara Aiko atau dikenal sebagai Aiko merupakan tunangan wanita pilihan dari Shuiji-ayah Haru. Dilihat dari marganya, perempuan lavender berketurunan dari Klan Suzuhara yang merupakan klan tingkat dua sebelum Klan Aozora dan sesudah Klan Kazuo.

Klan Suzuhara merupakan klan yang dikenal sebagai "ahli senjata" karena kebanyakan keturunan Klan Suzuhara merupakan orang yang sangat mahir dalam menggunakan senjata dan sangat mendominasi setiap situasi apapun terjadi hingga Klan Suzuhara terkenal di berbagai pelosok sejarah perang.

Aiko termasuk salah satunya. Sejak kecil ia sudah diajarkan ayahnya, Suzuhara Keiko, dalam berlatih pedang. Di usia masih dini, ia sudah memperlancar beberapa bidang seperti kanji, kaligrafi, seni musik, pedang, dan bahasa inggris. Dengan kepintarannya tersebut, dalam usia remaja, ia dapat membantu pekerjaan ayahnya dan selalu aktif dalam masalah politik. Selain kepintarannya, Aiko memiliki kemampuan dalam mengendalikan sebuah bayangan dan kemampuan tersebut menjadi keahlian dominan Aiko. Kategori tersebut menjadi alasan mengapa Shuiji memilih Aiko sebagai tunangan Haru dan mengharapkan akan mendapatkan keturunan yang layak bagi Klan Aozora.

Aiko pun terkekeh kecil. "Sebentar lagi tempat kediaman ini akan menjadi milikku setelah kau telah menjadi milikku, Ha-ru-kun~"

Aiko berdekip dan jemari tangannya memainkan lengan kimono Haru. Genitannya tersebut berhasil membuat kedua alis Haru nyaris bertemu dengan pandangan jijik yang ditorehkan secara tersirat pada perempuan tersebut. Ekspresi tersebut menandakan bahwa Haru semakin enggan dan igin pergi jauh dari hadapan Aiko tersebut.

Haru segera menyingkirkan tangan Aiko dari lengan kimononya.

"Pergilah dariku. Kamu membuat suasana hatiku memburuk," tukas Haru dengan segera mengambil langkah dengan tujuan memperbesar jarak jangkuan dan meninggalkan Aiko sendirian di tengah lorong.

Tak terasa tiga menit telah berlalu dan Haru masih saja dalam perjalanannya menuju ruangannya-memang bagaikan lorong yang tak berujung-ujungnya-setelah ia menghindari Aiko tersebut yang disangka merupakan tunangan pilihan dari ayahnya. Tapi, ada yang aneh dengan suasananya. Mengapa Aiko tersebut tak pernah berhenti mengikutinya bagaikan pengunti mengikuti idola kesayangannya-dikutip dari kejadian berita yang pernah Haru baca, yaitu pelajar siswi mengaku menguntit idola kesayangannya hingga sampai mencuri barang-barang pribadi milik idolanya untuk bahan koleksinya. Membayangkan hal itu saja Haru merasa bulu kuduknya berdiri, apalagi jika disangkut-pautkan dengan tunangannya. Bisakah sekali saja Haru tidak ingin terbebani dalam satu hari ataupun selama-lamanya, jika berkenan.

Haru tak tahan lagi dengan suasana ini, terlebih lagi ia masih memikirkan sebuah berita mengenai penguntitan idola yang jikakalau tunangannya bersangkut paut dengan hal tersebut. Tiada angin tiada hujan, secara tiba-tiba Haru menghentikan langkah kakinya membuat Aiko yang mengikutinya dari belakang dengan tak sengaja membenturkan dirinya di punggung lebar Haru hingga mengeluarkan suara "ow" yang cukup keras namun terdapat nada imut terselubuk.

"Hey! Bisakah kamu memberi tahu kapan kamu berhenti?!" kesal Aiko yang secara langsung berpindah posisi dimana ia dapat melihat Haru dengan memasang ekspresi merengut.

"Kenapa kamu mengikutiku?" tanya Haru langsung pada intinya.

Emosi Aiko semakin meningkat. Bukan kalimat minta maaf yang ia harapkan, malahan ia mendapatkan kalimat pertanyaan: kenapa kamu mengikutiku? Sungguh ia sangat sebal menghadapi pria yang sedang ia pandang dan lebih parahnya lagi pria itu dijadikan sebagai tunangan.

Oh, Dewa, percobaan apa lagi yang Engkau berikan kepadaku..., batin Aiko diselingi desahan kasar.

"Memangnya tidak bolehkah, jika tunangan wanita ingin selalu bersama dengan tunangan pria?" jawab Aiko tersebut sambil bersedekap dada.

"Dalam kamusku tidak. Jadi, bisakah kamu kembali ke kediaman klanmu dan jangan pernah mengusikku kembali? Sungguh itu akan sangat membantu untukku," tolak Haru secara lembut dan penuh kasih sayang terselubuk dalam setiap kalimat.

Setelah pembicaraan singkat, Haru pun memutuskan kembali melanjutkan perjalanan yang sebelumnya terpaksa dihentikan karena ada "serangga" di dekatnya. Dan lagi-lagi ia meninggalkan perempuan lavender-tunangannya-diam termenung dengan kepalanya sedikit ditundukkan seakan ia dibuang secara percuma.

"Tunggu!" ucap Aiko yang telah sekian lama termenung dalam keheningan.

Haru mengabaikan ucapan perempuan tersebut yang memintanya untuk berhenti di tempat. Dia terus berjalan di atas dasar lorong, melewati tiap ruangan yang bertenggeran di pundak sebelah kirinya, serta pikirannya yang membayangkan betapa nyamannya berbaring di atas kasur yang selama ini ia idamkan dalam perjalanan ini.

Perempuan lavender berdecak sebal. Lagi-lagi ia diabaikan Haru-bahkan berbalik pun tidak ada minat sama sekali. Ia pun menggumpalkan kedua tangannya sekuat tenaga, menggertakkan giginya, dan tampang wajah cantiknya kini berubah menjadi mengerikan. Sungguh, Aiko sepertinya tidak suka diabaikan apalagi dengan tunagannya sendiri yang jika diketahui oleh para atasa kedua klan mereka, maka akan menjadi permasalahan yang cukup serius.

Baiklah Haru-kun, aku akan mengikuti permainanmu. Tapi sepertinya aku mempunyai permainan yang cukup bagus untuk dimainkan, batin Aiko dengan seringai kecil menghiasi wajahnya yang kini kian membaik.

"Baiklah, kalau itu mau-mu." Perempuan lavender terkekeh kecil. "Oh, ya. Sebelum kamu pergi, titipkan salamku pada kekasih sakura-mu itu ya~"

Haru segera memberhentikan langkahnya setelah mendengar kalimat: "...kekasih sakura-mu itu, ya~" dari mulut perempuan tersebut. Ia pun beralih pandang ke arah perempuan tersebut menggunakan tatapan tak bersahabat yang setajam silet.

"Apa katamu?"