Dua minggu sudah berlalu semenjak Rahmi meninggalkan Arini dan juga Rizky. Gadis itu tidak mau keluar dari kamarnya. Rizky, keponakannya berusaha untuk membujuk Arini agar keluar kamar sekedar untuk makan, namun gadis itu tetap tidak mau. Setiap hari yang dilakukan Arini hanya duduk melamun di kamar sendirian, gadis itu sudah hampir seperti orang yang depresi. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat, kantung matanya menghitam. Nampak sekali kalau gadis itu tidak bisa tidur.
Sekarang ini ia tengah duduk di kursi belajarnya sambil menggambar sesuatu di buku yang sudah banyak berisi hasil gambaran tangannya. Gadis itu sangat pintar menggambar, hasil gambarannya pun sangat indah, bahkan juga sangat mirip dengan yang sesungguhnya. Di dekatnya ada Mirae yang selalu setia menemaninya, walaupun kehadiran Mirae tidak dihiraukan sama sekali oleh Arini. Tapi Mirae tetap senang bisa menemani sahabatnya itu.
"Es batu, aku bawakan kamu makanan enak. Kamu makan ya!" rayu Mirae untuk kesekian kalinya.
Arini hanya memandang datar sahabatnya itu, lalu ia kembali fokus pada aktivitas menggambarnya. Menggambar adalah salah satu hobi Arini, dengan menggambar ia bisa mengungkapkan perasaannya tanpa harus ada yang mengetahui isi hatinya. Seperti sekarang ini, saat ia tengah dalam kondisi terpuruk. Ia bisa menggambar apa yang ia rasakan, tanpa harus ada air mata yang jatuh. Gadis itu terlalu munafik dengan yang dia rasakan saat ini. Dia sedih, kesal, marah pada keadaannya saat ini. Tapi ia tetap tidak memperlihatkannya pada orang lain.
"Arini, ayo makan dulu! Udah 3 hari kamu gak makan nasi, nanti kamu sakit. Apa kamu gak kasian sama aku? Udah bawain makanan tiap hari buat kamu, tapi gak dimakan," kata Mirae memelas, berharap sahabatnya akan luluh. Hanya keluarga Mirae lah yang menolong Arini dan Rizky, para tetangga sama sekali tidak memperdulikannya malah mereka semua menggunjing Arini. Setiap hari Mirae selalu membawakan makanan untuk Arini maupun Rizky, tak jarang ia juga menginap menemani Arini.
Akhirnya Arini menghentikan kegiatannya, ia lalu menghampiri Mirae yang duduk di tepi kasur. Mirae pun tersenyum karena ia berhasil membuat Arini luluh.
"Aku suapin ya, Ar?" kata Mirae. Sambil menyodorkan sesendok makanan pada Arini. Gadis itu mengangguk. Baru suapan ketiga, gadis itu mengakhirinya. Mirae hanya pasrah, yang terpenting sahabatnya itu sudah mau makan, walaupun hanya sedikit. Saat Mirae akan keluar kamar, Arini memanggilnya. "Mirae, maukah kamu temani aku ke danau?"
"Tentu saja, tunggu bentar ya! Aku mau taruh makanan ini dulu ke dapur dulu," kata Mirae.
***
Di lain kota, Ardan tengah sibuk dengan berkas-berkas yang menumpuk di hadapannya. Selama seminggu ia berada di Malang membuat pekerjaannya jadi terbengkalai, di tambah lagi dengan pikirannya yang selalu tertuju pada Arini. Dia sangat mengkhawatirkan kondisi gadis itu. Terakhir kali, gadis itu tidak mau menemuinya sama sekali. Entahlah mungkin gadis itu masih syok atas meninggalnya sang ibu yang sangat ia cintai, pikir Ardan. Ardan pun memakluminya, mau tidak mau ia juga harus segera kembali ke Jakarta karena pekerjaannya yang sudah menumpuk.
"Shitt!" umpat Ardan. Pemuda itu sama sekali tidak fokus dalam pekerjaannya. Pikirannya selalu tertuju pada Arini. Ardan pun berdiri dari kursi kebesarannya, ia berjalan menuju jendela yang memperlihatkan deretan gedung-gedung kota Jakarta seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Bagaimana keadaanmu sekarang, Arini? Aku sangat mengkhawatirkanmu," gumamnya dalam hati. Penolakan Arini waktu itu membuat Ardan merasa kecewa juga sedih, ia tidak bermaksud membuat Arini menjadi sedih, sebaliknya, ia ingin menghibur Arini. Saat pikiran Ardan tengah sibuk memikirkan Arini, terdengar suara pintu diketuk dari arah luar.
Tok ... tok ... tok ...
"Masuk!" ucap Ardan.
"Permisi, Tuan. Di depan ada Oma Anda bersama seorang perempuan, Anda di harap menemui beliau sekarang. Beliau ada di ruang tunggu," ujar sekretaris Ardan.
"Hmm ..."
"Kalau begitu saya permisi, Tuan,"
Ardan pun pergi untuk menemui oma nya. Sampai di ruang tunggu, Ardan menghampiri mereka berdua.
"Oma, tumben ke kantor? Ada apa?" tanya Ardan dengan wajah datar.
"Emangnya gak boleh Oma ke kantor cucu Oma sendiri? Ardan, ini 'kan sudah hampir memasuki jam makan siang. Bagaimana kalau kita makan siang di luar?" usul sang oma bernama Maria.
"Pekerjaanku masih sangat banyak, Oma. Aku juga tidak lapar, lebih baik Oma saja yang pergi," jawabnya.
"Hei, kamu jangan gitu dong. Liat, siapa di samping Oma?" kata Maria seraya menggandeng pundak perempuan cantik yang ada di sampingnya.
Ardan hanya melirik sekilas. Ia tidak berniat ingin tahu dan tidak mau tahu. Otaknya sudah penuh oleh pekerjaan dan juga Arini. Jadi dia tidak memperdulikan hal yang menurutnya tidak penting.
"Kamu masih ingat, Sayang?" tanya sang Oma lagi.
"Tidak," jawab Ardan singkat.
"Dia Elsa, putri semata wayang om Tirta dan tante Elvi," jelas Maria.
"Oohh ..." jawab Ardan cuek. Tidak peduli entah itu Elsa frozen atau siaplah.
"Hai Ardan, lama tidak bertemu," sapa perempuan bernama Elsa itu.
"Hai juga, Elsa. Apa sudah selesai perkenalannya? Aku ingin segera kembali ke ruanganku," kata Ardan malas seraya beranjak dari tempat, tapi ditahan oleh Maria.
"Sayang, kamu kok tega sih sama Oma. Udah jauh-jauh lo Oma dan Elsa ke sini. Mau ya makan siang di luar sama Oma dan Elsa?" pinta Maria sekali lagi.
Menimang-nimang sebentar, akhirnya Ardan pun menyetujuinya ajakan Maria. "Baiklah, tapi jangan terlalu jauh. Aku sedang tidak mood untuk menyetir." Ardan pun mengalah dan mengikuti kemauan sang Oma. Mereka bertiga pergi ke sebuah restoran yang tidak jauh dari kantor Ardan. Sampai di restoran, Maria memesan ruang vvip yang berada di lantai atas. Di sana, Ardan tidak banyak bicara. Ia berbicara jika ditanya saja, selebihnya ia hanya diam. Mereka duduk di meja yang berbentuk persegi, dengan Elsa yang berada di samping Ardan. Perempuan itu sesekali memperhatikan setiap gerak gerik yang Ardan lakukan. Ardan yang menyadari hal itu, berusaha tidak menghiraukannya walaupun sebenarnya dia sangat risih.
Tidak lama pramusaji datang ke meja mereka. "Permisi, Tuan dan Nyonya. Ini buku menunya!" kata pramusaji tersebut seraya menyerahkan buku menu pada mereka bertiga.
"Kalian berdua mau pesan apa?" tanya Maria kepada Ardan dan Elsa.
"Aku steak medium rare," jawab Elsa.
"Kamu, Ar?" tanya Maria lagi.
"Milk shake pisang," jawab Ardan singkat tanpa menoleh ke buku menu.
"Kamu gak pesen makan, Ardan?" tanya Elsa.
"Bukankah tadi aku sudah bilang, aku tidak lapar," jawab Ardan jutek.
Elsa yang mendengar jawaban jutek dari Ardan merasa tidak terima, diam-diam ia mengepalkan tangannya. "Aku tidak boleh menyerah begitu saja, aku harus memilikimu Ardan. Kau yang sudah membuat aku terperangkap oleh pesonamu, jadi apapun akan aku lakukan untuk mendapatkanmu," batin perempuan berbaju biru muda itu.
"Kamu gak berubah ya, Ar. Masih suka susu pisang?" Elsa mencoba mengajak Ardan berbicara, walaupun jawaban pemuda itu tetap sama.
"Tentu saja," jawab Ardan.
"Ardan, kamu ga boleh jutek gitu dong sama Elsa. Elsa gak salah kok, Oma yang minta dia untuk ikut menemui kamu," ucap Maria.
"Ya udah, aku pesan steak 2, satu well done, satunya medium rare. Minumnya 2 fruit tea dan milk shake pisang. Cepet ya, Mbak!" ucap Maria.
"Baik, Nyonya. Di tunggu!" kata pramusaji tersebut.
Sambil menunggu pesanan datang, Ardan yang bosan pun mengeluarkan ponselnya berniat menghubungi seseorang namun tidak ada jawaban, iseng-iseng dia pun membuka galeri foto dan melihat foto Arini yang tengah membersihkan kolam renang. Ardan tersenyum simpul mengingat kejadian itu. Maria yang melihat Ardan tengah sibuk memainkan ponselnya pun berusaha untuk mengajak Ardan mengobrol. Namun Ardan hanya menjawab seadanya sambil tetap memainkan ponselnya.
Tidak lama, pramusaji datang membawa pesanan mereka bertiga. "Selamat menikmati, Tuan dan Nyonya."
Maria dan Elsa mulai menyantap makanan mereka, kecuali Ardan. Ia hanya meminum milkshake pisang yang ia pesan tadi. Mengingat milk shake pisang, Ardan teringat oleh Arini. Milkshake buatan gadis datar itu lebih enak dari yang ia minum sekarang, apa memang karena ia menyukai gadis itu jadi rasanya lebih enak?