Tubuhku merosot ke pintu dan aku membiarkan tubuh Lucky pergi, menopangnya dengan satu tangan sementara yang lain diikat di kenop pintu. Aku mengertakkan gigi pada rasa sakit yang membutakan yang meletus di telapak tanganku saat baja panas membakar kulitku. Aku mengabaikan ini dan memutar pegangan, berdoa agar terbuka. Aku jatuh ke tanah saat pintu bergerak dan udara sejuk mengalir ke arahku. Aku menghirup udara dengan rakus, tersedak oleh kebersihannya saat paru-paruku yang tercemar berjuang untuk mengeluarkan racun yang menyumbatnya.
Aku mengaitkan tanganku di bawah tubuh Lucky sekali lagi, menggunakan sisa kekuatanku, napasku untuk menyeret kami ke beton, jarak yang aman dari api. Aku ambruk ke aspal saat tubuh aku berjuang untuk mendapatkan napas yang tepat. Dadaku tersengal-sengal, dan tangan tak kasat mata itu melingkari tenggorokanku.
