Chereads / Suamiku Berbahaya / Chapter 14 - Strategi

Chapter 14 - Strategi

Sampai pagi hari Theo tidak kembali ke kamar, ada perasaan bersalah yang Reina rasakan.

Begitu selesai membersihkan diri, Reina segera turun ke bawah, ternyata Theo sudah berada di meja makan dan sudah siap dengan pakaian kantornya.

"Pagi sayang," sapa Adya.

"Pagi Mommy," sapa Reina balik.

"Tumben Kak Reina keduluan sama Kak Theo," heran Safira.

"Ya begitulah Safira." Jawab Reina sambil tersenyum kecil.

Saat sedang sarapan, sesekali Reina melirik ke arah Theo. Theo yang tau itu dengan cepat segera menghabiskan sarapannya.

"Aku selesai," ucap Theo.

"Cepat sekali sayang."

"Iya Mommy, kalau begitu aku pergi," pamit Theo.

"Biar aku antar." Reina langsung bangkit dari tempat duduknya.

"Tidak usah." Jawab Theo dingin.

"Tapi." Adya dan Safira memperhatikan Theo dan Reina.

"Kamu sebaiknya habiskan sarapan mu, biar aku pergi sendiri." Theo tersenyum, Reina tentu membalas senyum Theo.

"Oke sayang." Theo lalu mendekat ke arah Reina.

"Ini hanya akting, jadi jangan kegeeran." Bisik Theo membuat senyum Reina luntur.

Reina menatap Theo dengan ekspresi campur aduk, antara marah, kesal atau merasa bersalah.

"Aku pergi." Theo pun pergi menuju kantor.

Beberapa menit kemudian, Theo tiba di kantor TBN CORP, Farel yang melihat kedatangan Theo langsung menyapa Tuannya.

"Selamat pagi Tuan."

"Pagi."

Theo berjalan di depan dan Farel berjalan di belakang Tuannya, para karyawan yang melihat Theo langsung menunduk hormat.

Dan para karyawan wanita yang bekerja di kantornya pasti saja selalu mencuri-curi pandang, mereka tidak berani menggoda Theo karena banyak kasus, di mana karyawan wanita di pecat dengan tidak terhormat akibat berani membuat Theo emosi. Namun banyak yang sudah mengetahui kasus itu tapi masih berani melanggar dan mereka pun merasakan bagaimana nasib berpuluh-puluh wanita yang sudah di pecat dengan tidak hormat karena membuat Theo emosi.

Farel membuka lift untuk Tuannya, begitu sampai di lantai atas, Farel juga dengan sigap langsung membuka ruangan kerja Tuannya. Setelah Tuannya duduk di singgasananya, Farel langsung memberikan informasi yang akan dilakukan oleh Tuannya hari ini.

"Ya, keluarlah."

"Baik Tuan, saya permisi."

Farel keluar dari ruangan, namun tiba-tiba seseorang menerobos masuk, itu adalah Thomi.

"Yo bro," sapa Thomi.

Farel bergerak ingin menghalangi Thomi, namun Theo memberikan kode untuk membiarkan Thomi masuk dan Farel pun menunduk lalu pergi dari ruangan Theo.

"Ada apa?" Theo menatap Thomi malas.

"Cuma lewat aja." Thomi duduk di sofa.

Theo memperhatikan tingkah kurang ajar temannya, dengan seenak jidat Thomi mengangkat kaki lalu meletakkannya di atas mejanya, yah meskipun itu sudah biasa.

"Kalau gak ada perlu mending pergi."

"Sensi amat, belum dapet jatah yah?" tanya Thomi.

"Apa maksud elu?" Theo mulai tersulut emosi.

"Sex morning." Jawab Thomi dengan santai.

Theo memainkan lidahnya lalu menatap Thomi sengit, "Pergi," perintah Theo.

"Theo, elu itu jangan gampang emosi, nanti cepat tua."

"Lebih baik pergi sekarang, mumpung gue masih berbuat baik sama elu."

"Belum juga satu menit, gue harus pergi?" tanya Thomi.

"Itu pintu keluar." Theo menunjuk pintu dengan dagunya.

"Ya baiklah, aku tidak ingin mati muda." Dengan langkah santai Thomi pun pergi dari ruangan Theo.

Begitu Thomi pergi.

Brak!

Theo memukul meja kerjanya, kedatangan Thomi malah memperparah pikirannya. Theo sedang mencoba untuk tenang dari pikirannya yang terus mengingat Reina, isi pikirannya saat ini adalah Reina dan Reina.

Penolakan Reina membuat Theo sedikit tidak terima, dan juga ada sesuatu hal yang belum Theo keluarkan, sepertinya nafsunya terhadap sex mulai tumbuh.

"Aku harus cepat-cepat melakukan sex dengannya, begitu selesai, dia pasti hilang dari pikiranku."

Kali ini Theo tidak akan mengalah, meskipun Reina berontak atau apapun itu. Theo akan tetap pada pendiriannya, tidak ada kata suami memperkosa istrinya karena itu adalah suatu kewajiban, mau tidak mau, ikhlas atau tidak, Reina harus melayani Theo.

.

.

.

Selesai bekerja Theo segera pulang ke mansion, begitu tiba di mansion keluarganya sedang bersiap untuk makan malam.

Saat melihat Reina, Reina sedang tertawa bersama Mommy juga adiknya. Melihat Reina tertawa, Theo kesal, Reina dengan bebas tertawa sedangkan Theo menahan sesuatu yang sialnya membuat dia selalu tidak bisa fokus bekerja.

"Kak Theo." Sapa Safira begitu melihat kakaknya pulang.

"Sayang cepat duduk."

"Iya Mommy." Theo dan Reina saling bertatapan sebentar.

"Kak Theo, lihatlah semua masakan ini, ini adalah masakan buatannya Kak Reina, aku sudah mencoba semuanya dan rasanya sangat enak." Safira mengangkat kedua jempolnya sambil mengerutkan wajahnya lucu.

"Safira, itu terlalu berlebihan."

"Ini tidak berlebihan sayang." Adya sangat mengakui kepintaran Reina dalam memasak.

"Aku harus mencoba yang mana dulu?" tanya Theo.

"Yang ini, ini makanan favorit Kakak." Safira menyodorkan mie daging sayur kecap kepada kakaknya.

Theo mulai menyuapkan mie ke dalam mulutnya, Reina, Safira dan Adya menatap ekspresi Theo dengan harap-harap cemas.

"Bagaimana?" Tanpa sadar Reina begitu antusias ingin tau pendapat Theo.

"Emm ini." Theo makan sambil menimbang nimbang rasanya.

"Sangat enak." Jawaban Theo membuat Reina, Adya dan Safira tersenyum.

"Sudah aku duga, Kak Theo pasti menyukainya." Bangga Safira dengan tebakannya.

Adya menyodorkan lauk pauk yang lain, "Makan juga yang lainnya sayang."

"Iya Mommy."

Mereka fokus makan sambil bercerita bagaimana proses Reina memasak masakan malam ini.

Selesai makan, Adya pergi ke kamarnya sedangkan Safira malah mengajak Reina untuk mengobrol di ruang tengah, tentu saja itu membuat Theo tidak suka.

Safira dan Reina tertawa, Theo langsung saja menganggu obrolan mereka.

Safira mendelik tidak suka ke arah Theo, "Kak Theo diam, Kakak itu ganggu tau."

"Ini sudah malam, cepat tidur sana." Perintah Theo.

"Gak, aku masih mau sama Kak Reina." Tolak Safira.

"Safira, Kakak kamu benar, ini sudah malam." Lerai Reina.

"Yah, ini gara-gara Kak Theo sih." Safira menatap Theo kesal.

Reina tersenyum melihat tingkah Safira, "Kita bisa lanjutkan besok."

"Janji."

"Emm."

"Oke, selamat malam." Sebelum pergi Safira memeluk Reina terlebih dahulu.

"Gak usah peluk-peluk."

"Kak Theo syirik aja."

"Safira."

"Wlee." Safira menjulurkan lidahnya ke arah Theo.

Begitu Safira pergi, Theo pun bangkit lalu mengajak Reina untuk segera pergi ke kamar mereka. Reina lantas ikut bangkit dari tempat duduknya.

"Ayo." Theo menggenggam tangan Reina.

"Gak perlu pegangan tangan, kita bukan mau nyebrang." Reina melepas genggaman tangan Theo lalu pergi lebih dulu ke kamarnya.

"Tunggu saja hukuman mu." Theo menyeringai.

Reina benar-benar pergi lebih dulu tanpa menunggu Theo dan Theo pun mengikuti kepergian Reina. Sambil berjalan menuju kamarnya, Theo tersenyum penuh arti, Theo sedang menyusun strategi dengan apa yang sebentar lagi akan dia lakukan.