Ana menatap wajah wanita itu kemudian mengangguk. Wanita itu pun duduk di depannya sambil meletakkan busur dan panah di meja. Ana melihat busur itu. Logam putih yang dihiasi ukiran berwarna hijau mengelilinginya. Tas kulit yang kuat membungkus puluhan anak panah dengan ujung bulu burung berwarna putih.
"Busur dan panah yang bagus."
Wanita itu tersenyum mendengar komentar Ana.
"Terima kasih. Kau sendirian?"
Ana hanya menganggukan kepala.
"Kita sama." Wanita itu tersenyum.
Wanita tua penjaga penginapan itu datang membawa nampan yang berisi kue gandum yang ditaburi butiran almond dan segelas air hangat untuk Ana. Wanita itu memesan salad yang berisi sayuran segar dan air putih. Wanita tua itu pun mempersilahkan mereka makan. Ana yang telah memperhatikan wanita itu sebelumnya bertanya padanya sambil memasukan kue itu ke dalam mulutnya, "Kau pasti bukan berasal dari sini."
Wanita itu mengangkat alis matanya heran. "Dari mana kau tahu?" kemudian ia tersadar, "Ah, pasti dari baju orang-orang Perlaine."
Melihat Ana mengangguk, wanita itu tertawa dan membuat ekspresi wajah konyol, "Orang dari kota ini menyukai baju indah yang berwarna-warni. Membuatku sakit mata."
Ana ikut tertawa melihat ekspresinya.
"Aku Fleur. Kemana kau akan pergi?"
"Kota Emerald."
"Ibu kota? Aku juga menuju ke sana!"
"Benarkah?"
"Jika kau tak keberatan kita bisa pergi ke sana bersama?"
"Bagus! Aku Ana. Kita bisa pergi bersama. Setelah makan pagi?"
Mereka bersepakat. Mata Ana berbinar-binar bahagia. Senyuman gembira merekah di wajah Ana. Tiba-tiba sebuah potongan kayu kecil mengenai kepalanya.
"Ouch!" Tangan Ana menyentuh kepalanya dan ia menoleh ke sekelilingnya dengan kebingungan. Ia merasakan ada seseorang yang melemparkan potongan kayu kecil tetapi tidak terlihat seorang yang mencurigakan.
Fleur menatapnya lekat-lekat. "Ada apa?"
Ana berpaling kembali menatapnya dan tersenyum.
"Tidak apa-apa."
Mereka melanjutkan makannya.
Di lantai dua, Arlen menyipitkan mata melihatnya dengan kesal.
[Menyebalkan,] gerutunya dalam hati.
Melihat senyuman lebar Ana ia merasa terganggu. Meskipun senyuman Ana terlihat manis di mata orang tetapi baginya senyuman itu merupakan beban yang merepotkan. Dia memutar tanganya dan menunjuk ke arah kepala Ana. Sayatan potongan kayu kecil dari pintu yang berada di belakangnya melayang dan tepat mengenai kepala Ana. Terdengar suara keterkejutan Ana dan kebingungannya sambil menoleh ke sekeliling. Arlen melihat hal itu sambil terkekeh senang kemudian bersiul dengan riang masuk ke dalam ruangannya.
Setelah selesai sarapan pagi, mereka keluar dari penginapan itu menuju kota selanjutnya. Keluar dari Kota Perlaine, mereka menyusuri jalan di antara perbukitan. Pemandangan rumah pedesaan mulai terlihat di antara hamparan bukit-bukit berumput hijau. Jalan utama yang mereka gunakan cukup padat. Beberapa kereta kuda melewati mereka. Sebuah gerobak berisi jerami melintas mendekati mereka. Ana melangkah ke tengah jalan dan mencoba menghentikan gerobak itu. Seorang lelaki tua yang mengendarai gerobak itu berhenti dan memandang mereka. Ana menghampirinya sambil tersenyum.
"Kek, boleh kami menumpang sampai kota di depan?"
Sang kakek bertubuh kurus dengan wajah penuh kerutan menatap Ana. Dia bertanya dengan suara yang serak, "Mau kemana kalian berdua?"
"Liere. Bolehkan kami menumpang sampai Kota Liere?"
Sang kakek mengangguk singkat. "Kalau kalian tak keberatan duduk di belakang."
"Tentu tidak. Terima kasih banyak, Kek"
Ana bersemangat sedangkan Fleur memandangnya dengan penuh ragu.
"Kau yakin?"
"Tentu saja, kita bisa berhemat beberapa ditra." Ana meyakinkan Fleur dengan penuh semangat. Namun, Fleur mengerutkan alisnya. Wajah semangat Ana berubah menjadi khawatir. "Apa kau lebih memilih kereta?"
Fleur menggelengkan kepalanya. "Tidak. Menumpang ini saja tidak apa-apa."
Ana mengaruk-garuk kepalanya kemudian tersenyum canggung. Mereka berdua akhirnya duduk di atas tumpukan jerami. Gerobak pun mulai melaju dengan santai. Perjalanan itu memakan waktu seharian. Sempat beberapa kali gerobak berhenti dan sang kakek serta kudanya pun beristirahat. Ana mengambil botol minum dari dalam tasnya dan menawarkan pada Fleur. Mereka turun dari gerobak dan meregangkan otot mereka sejenak. Setelah beberapa saat gerobak kuda pun berjalan kembali. Terlihat dari kejauhan sebuah benteng besar membentang di hadapan mereka. Struktur dan bangunan yang terbuat dari batu berwarna hitam kokoh berdiri. Jajaran bukit mengelilinginya dengan sungai yang mengalir di kedua sisi kanan dan kiri. Dibelakang bukit-bukit itu berdiri pegunungan Mountain Blanc yang merupakan pegunungan perbatasan dengan kota yang berasal dari negara kerajaan tetangga. Di dalam kota Liere terlihat bukit dengan sebuah patung wanita yang sangat besar berlatarkan warna langit senja. Ana memandang semua pemandangan itu dengan takjub.
Akhirnya, gerobak itu sampai di depan gerbang kota. Di atas Gerbang tertera tanda bulan sabit yang melengkung terbalik menghiasi atas benteng dan di bawahnya terdapat sebuah tulisan: Kota Liere.
Gerbang itu di jaga oleh empat orang pasukan pengawal yang memeriksa identitas setiap warga kota yang datang. Mereka mengeluarkan kartu identitas pengenal mereka yang terbuat dari kayu. Setelah para penjaga memeriksa identitas mereka, gerobak itu diizinkan masuk.
Melewati gerbang itu perlahan-lahan gerobak berhenti. Ana dan Fleur mengucapkan terima kasih pada sang kakek yang telah mengantarkan mereka sampai di kota. Mereka berpisah dengan lelaki tua pemilik gerobak. Ana memandang ke sekelilingnya. Kota Liere merupakan kota pertahanan militer yang menopang keamanan daerah perbatasan di sisi timur. Orang-orang yang berjalan di kota itu membawa pedang dan senjata yang biasa digunakan untuk berperang. Mereka mengenakan pelindung dada dan bahu yang terbuat dari besi. Kota itu dipimpin oleh seorang Marquess yang terkenal pandai dalam berperang dan memiliki ribuan pasukan.
Mereka berdua berjalan mencari sebuah penginapan. Kebetulan Fleur menemukan sebuah penginapan yang cocok untuk mereka berdua. Bangunan penginapan itu terlihat sederhana. Mereka memutuskan untuk menginap di penginapan itu. Seorang lelaki berbaju putih datang menghampiri mereka
"Ada yang bisa aku bantu?" gaya bicara dengan aksen yang lain keluar dari lelaki itu.
"Aku ingin memesan dua kamar."
"Segara disiapkan."
Lelaki pemilik penginapan itu segera memberikan kunci pada mereka berdua dan menunjukan kamar yang bersebelahan.
Ana dan Fleur masuk ke dalam kamar mereka masing-masing. Ana meletakan tas besarnya di samping kasur dan keluar dari kamarnya menuju lobby. Ia memesan limun dingin dan duduk di kursi. Fleur keluar dari kamarnya dan baju yang rapi. Ia mengenakan jubah berwarna unggu untuk melindungi kepalanya. Ana menatapnya dengan heran.
"Kau akan pergi?"
Fleur mengangguk. "Aku harus ke suatu tempat terlebih dahulu."
"Baiklah,"
Fleur pun berjalan melangkah keluar dari penginapan itu. Penginapan itu tidak begitu penuh dan bahkan terlihat sepi. Ana berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menuju jendela. Pandangan matanya melihat keluar. Diantara jalanan yang padat dengan orang-orang yang berlalu lalang, pandangannya berhenti pada patung besar di atas bukit.
Lelaki pemilik penginapan membawakan segelas limun dingin pesanannya. Ana mengucapkan terimakasih. Sang lelaki menatap Ana.
"Indah kan?"
Ana yang sedang melihat keluar jendela sambil minum segelas limun berpaling. Lelaki itu menunjuk ke arah patung perempuan yang berada di atas bukit paling tinggi.
"Siapa dia?" tanya Ana.
"Dia putri Imelda, putri tunggal Marquess Liere."
"Apa dia sangat berjasa hingga dibuatkan patungnya?"
"Marquess Liere sangat menyayangi putrinya hingga membuatkan patung itu," ujar lelaki itu menjelaskan padanya. Ana mengangguk-angguk.
"Patungnya indah, apalagi cahaya mentari senja di belakangnya. Aku ingin melihatnya dari dekat." Ana berpaling melihat patung besar yang berada diluar jendela.
"Kau tinggal berjalan lurus saja ke arah utara, nanti akan menemukan sebuah bukit tinggi, patung itu ada di sana."
Mata Ana berbinar-binar bersemangat. Setelah mengucapkan terima kasih padanya dan menghabisnya minumannya, Ana keluar dari penginapan itu.