Awan hitam terlihat kurang mendukung untuk aktivitas pagi itu. Citra layu menghabiskan waktu mengurung diri di kamarnya.
Ruangan besar dengan perlengkapan serba modern itu sama sekali tidak bisa menolong perasaan Citra yang sangat hancur.
"Cit? makan yok!" ajak Kirana di balik pintu.
Citra segera bangkit setelah duduk di kursi kayu samping jendela kamarnya. Dengan tenang, Ia berjalan kecil menghampiri Kirana.
"Kir, aku gak lapar."
"Terus? gimana sama om Katon?"
"Kalian makan duluan aja ya!" Citra segera memalingkan pandangan.
Kirana pun tak dapat mengelak lagi, sebagai teman baik ia hanya bisa mengerti dengan posisi yang kurang sedap itu.
Walau banyak pertanyaan berguyun dibenak Kirana, tapi suasana yang dingin semakin tidak mendukungnya untuk tetap berada dikediaman pamannya.
Ia berjalan cepat menuruni anak tangga. Sambil berpegangan di railing tangga, Kirana melihat Pamannya dari balik tangga. Paman yang sudah ia anggap sebagai ayahnya itu seolah berharap dirinya turun bersama Citra. Tapi, ia berjalan menghampiri pamannya dengan tangan kosong.
"Mana Citra?" Mata pamannya melebar.
"Om, sepertinya Citra sedang lelah. Semalam dia kurang tidur di rumahku, biarkan Citra istirahat dulu saja ya om?"
"Oh ... gitu ya? Ya, ya, ya, kamu aja deh yang makan bareng om! sini duduk!"
Semahir-mahirnya ia berbohong, tetap saja Kirana merasa tak enak hati. Ia menarik bangku meja makan, dan mencicipi sedikit saja hidangan mewah pasakan dari bi'Nah.
"Gimana? makanannya enak 'kan?"
Kirana mengangguk dan melempar senyuman palsu pada Pamannya. Sambil sesekali menyuapkan rolade yang sudah ia potong terlebih dahulu.
***
Tiga orang gadis berpenampilan modis sedang asyik bercanda tawa sambil ngobrol di salah satu kafe mewah di pusat kota jakarta.
Sesekali ketiganya tergelak heboh sambil memamerkan make up mahal milik masing-masing. Tak hanya make up saja, ada banyak lagi barang dengan brand mewah sedang di pamerkan.
"Lihat nih! berlian pemberian pacarku semalam! bagus 'kan?"
"Ach! cuman itu? tuh lihat! gue di beliin mobil sport mewah keluaran baru!"
"Hmmh, songong! Gak cuman berlian saja kok, masih banyak lagi pemberian cowok aku semalam,"
"Hah, dasar matre!"
"Kamu aja tuh yang matre!"
"Huh!"
"Sudah-sudah! jangan bertengkar mulu kenapa sih? berisik tau! malu tuh di lihat orang!" Juita melerai kedua temannya yang bernama Sidkya, dan Morena.
Sudah hampir enam tahun mereka berkawan sudah seperti adik dan kakak. Walau sering kali beradu mulut, tapi solidaritas keduanya sangat totalitas untuk Juita.
Satu orang di antara mereka saja bisa membuat para lelaki bertekuk lutut tak berdaya dengan pesona sexi-nya, apa lagi formasi lengkap seperti itu.
Hampir satu kafe penuh menilik ketiga wanita genit itu. Entah apa yang mereka perbincangkan, sama sekali tidak digubris oleh komplotan wanita girang itu.
Setelah Juita ambil suara, maka kedua temannya langsung tunduk dan tak banyak ulah lagi.
"Hari ini, aku mau bagi-bagi rezeki. Kalian jangan banyak cingcong ya!"
Juita mengibas-ngibas tumpukan uang di tangannya, dan ia bagi ke dua temannya tanpa sungkan.
"Wih ... wangi duit nih?" sambar Morena dengan mata bergeming.
Melihat uang yang bertumpuk di tangan Juita membuat Sidkya juga tak bisa berucap lagi. Mulutnya menganga, dan matanya kini berdimensi besar.
"Lihat duit aja, mata kalian hijau? nih! aku bagi kalian adil!"
"Ck, siapa lagi yang jadi korban kamu Juy?" tanya Morena sudah menangkap jelas apa yang telah di lakukan oleh Juita sebelumnya.
'Juy' adalah panggilan sayang dari teman-temannya yang paling disukainya. Sambil tersumbing Juita senyum sinis mendengar pertanyaan Morena. Tangannya berhenti membagikan lembaran uang itu.
Belum juga ia selesai membagikan, seketika itu senyum lebar kedua temannya terhenti. Ketiga pasang mata berbulu lentik itu bersarang kompak di depan pintu kafe.
Tamu lelaki berbaju casual itu menyita perhatian kedua temannya, dan menampakan mimik wajah tertarik pada lelaki plontos itu. Sedangkan detik itu juga Juita menutupi wajahnya dengan buku menu yang tergeletak di atas meja.
"Stt! cowok tuh!" Morena memberikan isyarat dengan mengedipkan satu mata kirinya.
Lelaki gagah itu tak lain kalau bukan, Daniel.
Pandangannya liar mencari meja kosong. Sebelum ia melangkahkan kaki, para waiters di dalam kafe itu sudah terlebih dahulu menyambutnya. Tanpa senyuman di bibirnya, Daniel masuk berjalan tidak terlalu gagah seperti biasanya.
"Nah lo? kok sembunyi, Juy?" tanya Sidkya.
"Jangan berisik! Gue balik duluan ya? Nanti sisanya gue transfer deh!"
Tak pikir panjang, Juita meraih tas kosmetiknya. Tak lupa ia menutupi wajahnya dengan mengangkat tinggi tas kosmetik hingga menelan wajahnya.
Sesekali matanya mengintip di balik tas kecil, dan kakinya mengendap-endap meminggir percis seperti kepiting merah yang sedang kepanasan.
Ketika perjalanannya hampir di bibir pintu masuk kafe, sayang penyamarannya terbongkar.
Brak! prang!
Beberapa hidangan yang ada di atas nampan para waiters itu tertubruk tubuh Juita yang berbalut baju mencetak tubuh.
Sontak seluruh mata seisi kafe bersarang pada dada Juita yang sudah kotor terguyur jus mangga.
"Ach!" Mulut juita menganga.
"Maaf nyonya! maaf!" Waiters itu sesegera mungkin membersihkan baju Juita refleks.
Juita merasa tersulut api, pipinya memerah, lalu menarik nafas panjang.
"Mata tuh pakai! Jangan di simpan di dengkul saja! Kalau kerja yang becus! Baju ini mahal sekali tahu. Achhh!" Ia marah sejadinya dengan suara mengisi seluruh ruangan kafe.
Suara itu sangat ramah di telinga Daniel. Membuat dirinya bangkit dari tempat duduk, dan melihat isi kejadian di bibir pintu masuk kafe.
Sangat terkejutnya ia ketika melihat Juita tepat berada di hadapannya.
"KAMU?" Teriaknya kencang dengan telunjuk menjulur ke arah Juita.
Melihat Daniel memergokinya, Juita lari tunggang langgang keluar dan mengabaikan minuman dan makanan yang berserakan.
"Tunggu! Jangan lari!" Gertak Daniel berlari membuntutinya dengan cepat.
Sebelum Daniel menangkapnya, Juita segera memutar otaknya dengan bersembunyi di celah pot hias dengan rimbunan bunga yang sedang bermekaran.
Setelah berusaha keras menuju ke bibir pintu, akhirnya tetap saja Daniel kehilangan jejak Juita yang sangat licik.
"Sial!" Daniel kembali geram dan menendang kuat pintu kafe, hingga menggetarkan sebagian pot bunga tersebut.
Detak jantung Juita semakin kencang, ia tersentak kaget. Ketakutannya semakin menenggelamkan kepercayaan dirinya. Juita jongkok dan mengerutkan tubuhnya di pojokan bunga yang sudah runtuh di tendang Daniel.
'Oh, kamu di sini ternyata?' bisik hati Daniel dengan senyum sinis seolah hendak menerkam.
Detik yang sama, mata Juita meninggi, melihat tumpukan bunga di pot sudah terbuka gamblang.
Ia tertawa malu dan mati kutu.
"Berdiri!"
"Da-niel? Baik-baik, aku berdiri. Jangan galak gitu dong sama perempuan,"
"Perempuan berbisa seperti kamu tidak pantas dikasihani, sini!"
"Tapi-- aku salah apa?"
"Kamu pikir aku bodoh?" Daniel menarik ujung lengan Juita kuat-kuat, tatapannya melotot tajam.
Hampir saja telapak tangan besarnya menghantam pipi Juita.
Ketika tamparan itu hampir bersarang di pipi mulus Juita, tangan Daniel tertahan keras.
"Hentikan!"
Ketika tangan Daniel tertahan, ketegangan terjadi.
Para tamu kafe hanya bisa menonton tragedi menegangkan itu. Banyak bisikan yang tercetus dari para penonton. Hawar-hawar terdengar sebuah nama yang sangat familiar dari para pengunjung kafe. Jelas yang jadi perbincangan adalah lelaki cungkring berbadan tipis yang jadi malaikat penolong buat Juita.
"Ray?"