Ketika awan hitam telah pergi, dan mentarilah sebagai pengganti.
Citra menggeliat dengan masih berselimut putih dikamar berbalut nuansa serba putih, itu benar- benar sangat asing baginya.
Terlihat seberkas cahaya menyelinap masuk kedalam celah tirai jendela yang masih tertutup.
Mata Citra rabun mulai remang-remang kini mulai terbuka, setelah dia menggisik kelopak matanya, barulah dunia nyata tampak menakutkan baginya.
"Dimana aku? Hah? Ada apa dengan aku? Kenapa aku seperti ini?"
Citra meremas selimut putih itu sambil menutup dadanya yang gamang terasa tiupan angin menghembus ke pori-pori kulitnya.
Ketika ia sadar tak berbungkus busana, Citra sangat ketakutan dengan perlahan menyeret badannya menjadi sedikit menyender di dinding daun ranjang itu.
Sejenak dia mengingat apa yang telah terjadi semalam sambil merasakan sakit kepala bak' dipukuli ribuan orang, Citra terus menggeleng kepalanya karena tidak ada titik cerah di ingatannya.
Ujung jarinya terus menoyor kening lembutnya, dengan kencang Citra mengetuk-ngetuk tengkorak kepalanya dengan mata berkaca.
"Ayah ...!" Hanya kata itu yang tersimpan dalam ingatannya kali ini, ingin berteriak pun dirinya sudah tak sanggup lagi. Bibir yang terkunci hanya mata yang bisa bicara, terus mengalirkan derasnya air mata sambil menatap nanar seluruh ruangan dengan kebingungan.
Setiap kali ia ingin bergerak, ulu hatinya seolah sedang berinteraksi hebat, ia ingin memuntahkan semua isi dalam perutnya, dan mual terus bergejolak parah.
Mengingat minyak angin selalu standbye dalam tas kecilnya, Citra mencari keberadaan tas itu.
Tubuhnya segara ia balut menggunakan selimut tebal hingga terbungkus penuh.
Dan meraih tas putih yang tergantung di bibir kursi. Semakin ia berusaha meraih tak terasa air mata yang deras itu menitik di atas lantai, hingga ia dapat melihat dirinya sendiri di balik tetesan air di lantai itu yang sudah menyerupai cermin.
Kacau memang, penampilannya sudah sangat kacau pagi itu. Rambut yang kusut, tubuh yang sakit, dan hati yang hancur, Membuat kakinya melangkah dengan penuh ketir, dan lemah.
Ketika ia berusaha mengontrol emosi, mulailah sedikit demi sedikit turun dari ranjang itu, dan meraih gaun putih yang tergeletak di bawah kakinya.
Dengan wajah meringis kesakitan, Citra berusaha bangkit karena ingin segera cepat keluar dari tempat asing tersebut.
Badan mungil yang berbalut selimut putih itu akhirnya berganti kostum. Tapi tak secantik penampilan sebelumnya walau mengenakan kostum yang sama. Gaun putih semalam terlihat lusuh, persis wajahnya yang pucat kurang bingkai lipstik di bibirnya.
Ia pun sulit menerima kenyataan itu. Tapi tak mau pikir panjang, Citra meraih semua barang-barangnya dan segera menoleh meninggalkan ranjang kosong di belakangnya.
Namun ketika ia hendak berjalan maju, dan tak ingin menengok kebelakang lagi, sprei putih itu tak sengaja tersangkut di resleting tas kecilnya. Sontak ia menoleh kembali dan semakin terkejut ketika ia melihat bercak darah di atas ranjang yang ia tiduri semalam. Hatinya semakin terkoyak dan tak bisa menahan tangisannya, namun hal yang lebih mengejutkan ketika dia melihat kertas kecil berukuran 2x3 tergeletak di atas ranjang.
Dengan gemetar, Citra mendekati kertas itu, lalu mulai menempelkan tangannya di atas ranjang kembali, Ia pun menguatkan hati untuk membalikan kertas yang ia pegang.
Matanya menatap tajam potret laki-laki tampan, gagah, berwajah bersih dan rambut plontos bagai seorang abdi negara.
"Diakah?" tangannya gemetar hebat, hatinya semakin bergemuruh sambil berpikir panjang, lalu ia memasukkan potret itu kedalam tasnya dan segera keluar dari kamar itu.
Hentakkan kaki yang berjalan sedikit berlari menuju loby starbuck itu, menunjukkan kegugupan yang sangat hebat. Pipinya memerah bukan karena blush on, atau sebangsanya. Pipi itu merah sekali karena ia menahan amarah yang membara.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang resepsionis.
"Mbak, maaf boleh tanya? Apa mbak lihat orang yang keluar dengan wajah ini?" Potret lelaki yang tersisa itu segera di suguhkan di hadapan pelayan yang berdiri di balik lemari satu dada yang panjang dan kokoh.
Resepsionis itu menggelengkan kepalanya dengan mengernyitkan keningnya," Maaf Mbak, mungkin penerima tamumya sudah berganti shif aku baru masuk beberapa menit ini mbak."
"Oh, iya makasih!" kini perasaanya semakin kosong.
Pikirannya buntu, tatapannya sudah semakin tak terarah.
Citra kalang kabut dengan semua perasaan yang membelenggunya, sambil terus menatap handphone yang ia keluarkan dalam tasnya, ia berlari keluar dari starbucks menakutkan itu.
Sempat dia berpikir untuk menghubungi Kirana, tapi ia mengulang pikirannya kembali. Citra belum bisa mengatakan apapun pada orang lain sebelum mendapatkan celah terang untuknya. Lagi pula kalaupun ia memberitahu kirana, hanya akan membuatnya khawatir saja. Citra pun tak mau membeberkan aibnya sendiri du masa remajanya.
Lelah sudah ia berpikir, penat rasanya terus berkecimpung mengingat kejadian semalam yang tak kunjung ia ingat. Citra pun hanya berjalan di pinggiran kota dengan kaki terus menendang-nendang kerikil yang ada di samping trotoar.
Saking kesalnya, Citra mengabaikan rasa sakit di bagian selangkangannya. Bahkan ia merasa telah jadi orang terhina.
"Ayah ...!" Kembali hatinya bergemuruh menyebut nama orang tersayang. Dengan mata mulai sembab, langit cerah pun nampak sangat hitam. Di siang bolong ia melihat banyak bintang ketika kepalanya menengadah ke atas langit luas.
Hingga ia menguatkan tubuhnya agar bisa ikut menyebrangi zebra cross bersama guyunan orang yang hendak menyebrang.
Citra pun ikut menghentikan sebuah bis kota yang mengarah kejalur tempat ia tinggal.
Citra duduk di bagian pojok belakang dalam bis itu, di tempat itu barulah dirinya bisa sedikit rehat, menghilangkan bintang-bintang dalam pandangannya, dan dudu menekuk kakinya lemas di kursi bus walau pun kurang empuk. Jelas ia tak suka keramaian makanya dia lebih memilih bangku kosong di pojokan itu.
Matanya menyawang jauh ke arah jalanan. Banyak kendaraan berlalu lalang melintasi pandangannya, tapi matanya sama sekali tidak mengedip.
Pepohonan yang tertimpa angin pun seolah ikut melambaik ke arah Citra, membuatnya semakin sedih dan galau.
Ia merasa telah kehilangan separuh hatinya, dan hanya sisa tubuh yang kotor dalam dirinya.
"Nona! nona! sampai!" ujar supir seolah membangunkan Citra dari lamunannya.
"Eh, iya bang! Terimakasih!" Citra berpura-pura menebar senyuman walau hatinya sedang ancur.
Perlahan ia bangkit dari tempat duduknya, dan rasa perih itu masih menempel. Citra sedikit menahannya dengan kening yang mengerut.
"Neng, cantik-cantik kok banyak melamun? seperti di tinggal pergi pasangannya saja?" goda si supir.
"Hah?" Citra hanya melempar senyuman palsu. Dan ia pun turun dari dalam bis dengan kalimat sang sopir yang membekas.
'Pasangan? apa aku punya pasangan? bahkan aku tak ingat itu semua. Tuhan ... andai saja ada setitik harapan untuk aku bangkit, beri aku petunjukmu tuhan!' Gemuruh hatinya seolah menangis tersiksa.
***
Citra sampai di depan rumahnya dengan keadaan rambut yang berantakan, dan berwajah pucat.
Ia menenteng high hels-nya dan berjalan tanpa alas kaki.
Dia masuk dengan mengendap-endap dan membuka daun pintu pelan sekali.
Krek!
"Non?"
Detik itu juga Citra merasa waktu terhenti, tegang dan sangat takut melihat orang rumah di sampingnya.