Elang berdiri di sebuah lukisan keluarga. Ada Arya, Nayla dan Abimanyu. Mereka dilukis di rumah mereka sendiri. Melihat gambar ini, kelopak matanya menggenang setitik air. Ia merindukan sosok mereka. Sahabat, saudara yang dulu pernah berjuang bersamanya. Tapi kini mereka sudah tidak ada lagi. Karena bufet yang ada di canvas sama seperti bufet di ruang tengah. Ada satu hal yang membuat Elang antusias. Perhatiannya tertuju pada satu titik. "Ini apa?" tanya Elang menunjuk sesuatu berwarna biru dalam sebuah botol kaca yang ada di bufet Abi. Elang bahkan sampai mendekat ke bufet dan mencari benda yang ia lihat di lukisan.
"Memangnya kenapa, Paman?"
"Botol nya sama ...." kata Elang mengambil botol dengan cairan berwarna biru terang. Mereka berdua saling pandang. Tidak hanya sampai di situ saja. Elang mengambil sebuah buku usang. Berjudul "Kallandra." yang letaknya tak jauh dari botol biru itu. Adi dan Gio mendekat, ikut terkejut dan penasaran. "Bi? Kau tau tentang buku ini?" tanya Elang menunjukan sebuah buku dengan sampul cokelat tua. Rapuh, berdebu dan diyakini adalah buku yang sudah sangat tua.
Abimanyu mendekat, dahinya berkerut. Ingatannya seolah menariknya ke belakang.
Saat kecil, Abimanyu sangat dekat dengan Arya. Bahkan setiap malam sang ayah akan membacakan dongeng untuknya. Buku ini adalah salah satu buku favorit Abimanyu.
Namun karena sebuah tragedi kecelakaan beberapa puluh tahun lalu, sebagian ingatan Abimanyu hilang. Ia hanya mampu mengingat memori yang terjadi baru-baru ini saja. Tapi, saat ia melihat buku ini lagi, Abi benar-benar mampu mengingat semuanya.
Tubuhnya terhuyung ke belakang. Suara Nayla dan panggil Arya seolah memenuhi kepalanya. Senyum mereka, omelan mereka dan semua nasihat Arya seolah sejalan dengan memorinya. Kepingan ingatan Abimanyu yang hilang, kembali. Bagai puzzle yang kini telah utuh.
Abimanyu menatap semua orang di ruangan ini. Adi merebut buku itu dan membuka halaman demi halaman. Hingga secarik kertas terjatuh dari dalam buku usang tersebut. Gio memungutnya. Membuka pelan lembaran cokelat yang sudah rapuh itu.
Ia mengernyitkan kening, menutup mulutnya, seolah apa yang ia baca adalah hal yang sangat rahasia.
"Gila!"
"Ada apa? Apa yang tertulis di sana, Gi?" tanya Elang.
Adi mengambil dari tangan Gio dan ikut membacanya. Tulisan yang ditulis dengan aksara jawa kuno itu, benar-benar membuat dua pria itu terkejut. "Ini wasiat, Lang," kata Adi.
"Wasiat apa?" Elang yang penasaran mendekat dan mencoba membaca barisan tulisan yang dipegang Adi. "Astaga! Aku tidak bisa membacanya! Apa artinya, Di?"
"Baiklah. Ternyata ini surat wasiat. Yang ditulis John untuk Arya," kata Adi dengan wajah serius.
"Lalu?"
"Tentang Kallandra!"
"Apa?"
"Kallandra hanya bisa dibunuh oleh Arya."
"Apa? Tapi Arya sudah meninggal?!"
"Tunggu! Jadi di sini tertulis, Kallandra akan mati jika dibunuh oleh keturunan asli Argenis. Yang memiliki tato dengan simbol Aldabaro." Otomatis semua orang menoleh ke Abimanyu.
"Bukan, kah, hal itu sudah kita tau sebelumnya?" sahut Vin yang sejak tadi hanya diam, menyimak.
"Iya, tapi, kita tidak perlu membunuh semua Kallandra atau bahkan Kalla sekalipun. Karena hanya dengan membunuh Kallandra pertama yang lahir ke dunia ini, maka semua Kalla dan keturunannya akan mati dengan sendirinya."
"Dulu hanya Arya yang memiliki tato aldabaro itu, kan? Sekarang Abimanyu juga memiliki tato yang sama."
"Tepat sekali."
"Jadi hanya Abimanyu yang bisa membunuh mereka dengan tato di telapak tangannya, begitu, kan?" tanya Vin lagi memperjelas pernyataan Adi.
"Bukan! Tapi dengan darah lapetus. Darah keabadian. Yang digabung dengan batu saphire dan perak."
"Hm. gabungan darah lapetus? Tapi kita bahkan tidak memilikinya!"
"maksudmu yang ini?" tanya Elang mengeluarkan botol bening yang terbuat dari kristal dengan cairan merah darah di dalamnya.
"astaga Elang! Bagaimana kau mendapatkannya?" tanya Adi dengan bersemangat. Ia mengambil botol itu dengan tatapan kagum.
"Saat kita melewati lorong rahasia tempo hari. Aku menemukan benda ini tergeletak begitu saja di lorong. Aku tidak yakin kalau ini darah lapetus yang kita cari. Tapi tetap kuambil dan mungkin kita akan membuktikannya nanti."
Abimanyu berdeham. "Rupanya semua itu bukan dongeng tidur belaka."
Abimanyu menjadi pusat perhatian selanjutnya. "Apa yang Arya katakan padamu, Bi?" tanya Elang.
"Kurang lebihnya sama seperti isi surat itu, paman. Di kisah kan, Arkie, pemimpin Kalla di buku itu, akan mati dengan dipenggal kepalanya oleh seorang prajurit dengan sebutan Akira, dalam buku itu. Ia membuat pedang dari batu saphire yang dicampur darah lapetus dan lelehan perak. Kemudian saat pedang itu utuh, Arkie akan muncul. Disaat itulah, Akira dan Arkie akan bertarung."
"Dan kau, adalah Akira!" seru Elang dengan tatapan tajam ke Abimanyu.
Abimanyu hanya diam, menatap simbol unik di telapak tangannya. Ia baru ingat, kalau ayahnya memang memiliki tato yang serupa di punggungnya.
____
"Ini gambar apa, Ayah?" tanya Abimanyu kecil pada Arya saat mereka bermain di pantai. Arya yang saat itu bertelanjang dada menjadi pusat perhatian anak semata wayangnya itu.
"Ini jimat pelindung . Kau juga akan memiliki gambar seperti ini kelak."
Kembali memori yang sempat hilang mendadak muncul di kepala Abimanyu.
Abi mengelus telapak tangannya. Merasakan tiap detil lukisan di telapak tangannya itu.
"Setidaknya ada harapan untuk kita semua. Kita bisa memusnahkan Kalla sekarang," tutur Gio bersemangat.
______
Abimanyu membuka pintu kamarnya. Menatapnya beberapa lama. Senyumnya tipis namun terlihat miris. Ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Menyentuh tiap sudut bagian kamarnya. Tempat yang selama bertahun-tahun ia tempati. Tempat yang paling banyak menyimpan memori hidupnya.
Abi duduk di kursi meja belajarnya. Mejanya sedikit berdebu. Sebuah figura dengan foto dirinya dan kedua orang tuanya menyita perhatian Abi. Ia meraihnya, menyentuh wajah Nayla pelan, senyum makin mengembang di bibirnya. Namun air mata makin menggenang di kelopak matanya. Ia lantas mendekap foto itu di dadanya. Memeluk dengan memejamkan mata. Menolak air yang terus memaksa keluar dari tempat nya. Ia ingat, saat dirinya menangis, Arya akan memarahinya habis-habisan. Kata Arya, tangis laki-laki adalah perasaan yang paling tulus yang ada dalam diri mereka. Tapi jangan sampai perasaan tulus itu membuat dirimu lemah.
"Menangislah tanpa orang lain tau."
Abi memeluk foto itu makin erat. Isaknya makin kencang, tapi sekuat tenaga pula ia menahannya. Agar tidak ada satupun orang yang mendengarnya. Abi merasakan sensasi hangat di kedua bahunya. Tanpa ia sadari, Arya ada di belakangnya, bersama Nayla. Nayla tersenyum melihat putranya yang sekarang terlihat sedih. Tangannya meraba pucuk kepala Abi. Sementara Arya menepuk bahu putranya. Sama seperti apa yang ia lakukan dulu, saat mendapati anaknya sedang putus asa. Arya bukan manusia yang dramatis. Tapi segala hal selalu ia tunjukan lewat tindakan nyata.
"Ayah ... Aku akan berusaha sekuat tenaga. Kalian jangan khawatir. Aku akan baik-baik saja," gumam Abi tanpa membuka matanya. Luka hatinya mulai membaik, rasa sedih dan rindu seolah menguar sesaat setelahnya. Entah karena air mata yang telah tumpah, atau karena kehadiran kedua orang tuanya.
_____
Bau masakan tercium hingga halaman rumah. Gio dan Adi yang tengah memperbaiki jaring ikan, lantas menoleh. "Waktunya makan?"
"Yah, kali ini aku setuju denganmu. Gi!" Mereka meninggalkan pekerjaan itu. Namun dari kejauhan, Vin terlihat sedang menenteng beberapa ekor ikan segar dengan alat pancing di tangan kirinya. Senyumnya sumringah dan penuh kemenangan.
"Lihatlah, aku berhasil mendapatkan ikan hanya dalam waktu dua jam saja."
Adi dan Gio hamya menoleh sesaat, seolah tidak peduli. "Yah, terserah kau saja."
Sampai ruang makan, sudah ada dua gadis itu. Elang yang masih membaca buku, tampak acuh dengan kedatangan mereka semua. Abimanyu baru saja keluar dari kamarnya dengan wajah lebih segar.