Chereads / DEUCE / Chapter 3 - HANA'S EYES

Chapter 3 - HANA'S EYES

"Amazing..."

Hati Max menghangat dan bibirnya sontak melengkung membentuk senyum bangga saat tanpa sengaja mendengar bisikan lirih penuh kekaguman itu. Pujian yang sangat pantas diterima sosok ramping berambut ikal yang sedang membuai semua penggemar setianya dengan lantunan melodi music klasik modern yang terdengar begitu memikat. Gedung konser termegah di Australia ini dipenuhi oleh para pecinta music yang rela datang dari seluruh belahan dunia hanya untuk melihat kembalinya Marcus Stewart, si pianist jenius yang sangat berbakat.

Dari tempatnya duduk di kursi VVIP yang terletak di salah satu balkon, Max bisa melihat jelas gerakan cepat jemari-jemari panjang Marcus yang menari diatas tuts piano berwarna putih gading itu. Ekspresi wajahnya terlihat penuh emosi karena menghayati setiap lagu dan melodi yang dimainkannya. Senyum kecil diparas manisnya membuat sosok yang malam ini mengenakan setelan semi formal itu terlihat semakin menarik dan menggoda, terlebih saat dia melirik cepat pada Max.

Permainan indah dan berani Marcus itulah yang membuat sosok nakal dibalik sikap anggun itu terkenal sejak kemunculan pertamanya di konser tahunan Juilliard School. Latar belakang keluarganya sebagai putra tunggal dari seorang petenis peraih puluhan Grand Slam adalah keuntungan yang membuat Marcus dengan mudah meraih mimpinya dan diakui sebagai pianist muda paling berbakat diusia 15 tahun.

Walau tak jarang banyak yang menyayangkan bakatnya dalam pemainan tennis yang juga tidak boleh diremehkan. Marcus adalah lawan yang kuat dan tak terduga jika sedang bermain di lapangan tanah liat Spanyol, tempat yang juga menjadi wilayah kekuasaan Max.

Tapi, Max pertama kalinya bertemu si bandel yang langsung mencuri hatinya itu saat Marcus dengan seringai lebarnya memainkan sebuah lagu bertempo cepat di pesta musim panas, tepat pada hari ulang tahunnya. Hari yang sangat menyakitkan dan ingin dilupakan Max itu dalam sekejab berubah menjadi hari terindah karena di hari itu juga, dia menyadari jika ada seseorang yang mampu menghangatkan hatinya yang dingin.

Orang itu adalah Marcus Stewart!

Pria muda yang sekarang sedang memainkan melodi indah yang seperti menghipnotis semua orang. Permainan music Marcus selalu berhasil memancing semua emosi dan perasaan para penggemarnya. Mulai dari Fur Elise Beethoven yang membuat hati gembira sampai Flight Of The Bumble Bee milik Mrvica yang penuh semangat. Bahkan tidak ketinggalan Hana's Eyes yang berhasil membuat semua penikmat music menitikkan airmata mereka saat mendengar dentingan tuts piano Marcus yang tegas dan menyayat hati dengan ekspresinya yang penuh kesedihan.

"Aku ingat semuanya, Sweetheart Kau tidak perlu mengingatkanku.." gumam Max dengan suara tercekat seraya meremas kuat jemarinya sendiri saat menyadari Marcus memainkan Hana's Eyes sambil terus menatapnya tajam.

Semua kenangan yang selalu tersimpan dalam hatinya itu berputar cepat dalam benak Max dan membuat jantungnya berdetak kencang. "Dan, kali ini aku bersumpah, tidak ada apapun atau siapa pun yang bisa menggoyahkan keyakinan dan cinta kita lagi!" Perlahan bibir Max mengukir senyum lebar saat tatapannya bertemu dengan mata indah Marcus yang berkilau penuh cinta.

Selama bertahun-tahun Max hanya menyimpan semua perasaannya dan menatap dari jauh sosok yang menjadi sumber semua semangatnya. Terus berusaha membohongi dirinya sendiri dengan bersikap dingin pada Marcus yang juga selalu ketus padanya. Hingga suatu malam, setelah kemenangan pertamanya di Paris, Max menyerah. Untuk pertama kalinya, petenis pria terbaik itu mengaku jika dirinya sudah jatuh cinta pada pianist muda yang terkenal dengan julukan The Face itu.

"Kau hebat sekali, Max!"

Pelukan erat yang tidak pernah disangkanya itu untuk sesaat membuat Max termangu dan melirik bingung pada Trevor yang berdiri tak jauh darinya. "Menang diatas lapangan tanah liat adalah pencapaian yang sangat sulit!" Senyum lebar yang selalu berhasil menggetarkan hatinya itu perlahan menepis semua kebingungan Max yang langsung mengikuti nalurinya dengan membalas pelukan dari Marcus dengan sama eratnya.

"Thanks karena kau mau datang." serunya dengan senyum tipis setelah pelukan erat mereka terurai dan dari sudut matanya Max melihat Trevor sudah tersenyum mengejek dan menggedipkan mata padanya sebelum berlalu dari ruang ganti pemain itu. "Makan malam bersamaku? Atau, mungkin segelas kopi?" Jantung Max berdebar kencang dan dia bahkan ingin menembak dirinya sendiri saat melihat ekspresi terkejut remaja yang baru saja merayakan ulang tahun ke 21-nya itu.

"Dasar bodoh! Tidak mungkin dia menerima ajakanmu!", Dalam hati Max mulai mengutuki kebodohannya yang sudah terlalu berharap hanya karena pelukan penuh semangat tadi.

Sambil tertawa kecil untuk menyembunyikan kegugupannya, pria tampan berkulit gelap itu mengulurkan tangannya untuk merapikan rambut ikal Marcus yang berantakan. "Lupakan saja," gumamnya cepat walau jika bisa Max bahkan ingin sekali menukar kemenangannya hari ini dengan menghabiskan 1 jam bersama sosok menawan yang terus menatapnya dengan sorot mata yang berkilau aneh.

"Kenapa tidak? Tapi, aku sedang ingin makan burger dan pizza!"

Max yang baru saja akan berbalik untuk membersihkan diri refleks mematung dan tergesa kembali menatap tajam Marcus yang sedang menyeringai lebar padanya. "Ini ajakan kencan? Apa malam ini kau akan berlutut dan memintaku menjadi kekasihmu? Dibawah Eiffel mungkin?" Kali ini jantung Max tidak lagi berdetak kencang, tapi hampir meledak karena bahagia. Sesuatu dari hatinya tiba-tiba saja membisikkan jika apa yang selama ini hanya berani dimimpikannya sudah menjadi kenyataan.

"Apa kau akan menerimaku, anak bandel?"

Dalam satu langkah lebar, Max kembali memeluk erat tubuh mungil Marcus yang sedang tertawa berderai dan tanpa ragu mengalungkan lengan di lehernya. "Kita lihat dulu seenak apa pizza yang kau belikan nanti!" Kilau nakal terlihat jelas dalam sepasang mata sewarna caramel yang dipenuhi keceriaan itu.

"Aku bahkan akan membelikan restoran Italia itu untukmu, Mio Caro!" janji Max arogan dengan senyum lebar sebelum mengecup ringan bibir sensual yang masih setia menyeringai manis itu.

Bukannya penolakan seperti yang ditakutinya, Marcus malah dengan berani melumat bibir Max dan memperdalam ciuman pertama mereka. Membiarkan Max menariknya ke balik ruang pijat seraya terus melumat bibirnya seakan itu ciuman terakhir mereka. "Wow...Yang bilang Max Sutherland sedingin es, pasti sangat bodoh!" cela sosok berambut ikal itu tajam dengan suara bergetar sebelum tersenyum kecil dengan pipi yang merona.

Semua kenangan indah dan menyakiti yang pernah mereka lalui bersama silih berganti melintas dalam benak Max. Dia bahkan tidak mampu mengalihkan sedikit pun tatapannya dari wajah Marcus yang sedang tersenyum saat memainkan Croation Rhapsody dengan gaya nakal yang sontak mengundang decak kagum. Semua orang terpana dan terkesiap tajam saat mendengar setiap alunan melodi yang temponya terasa begitu cepat dan penuh gairah.

"Marcus tidak pernah sekali pun melupakanmu. Setiap hari dia habiskan dengan mencari berita tentangmu. Melihat semua pertandinganmu. Melamun berjam-jam sambil memeluk raket tenis pemberianmu saat perasaan sedih itu sedang menyelimuti hatinya. Saat rasa putus asa yang menggerikan itu membuatnya ingin sekali kembali berlari kepadamu!"

Hati Max seperti dihujam ribuan pisau saat mendengar semua kalimat tajam yang keluar dari mulut mentor sekaligus orang yang paling berjasa dalam karir Marcus. Sepertinya keputusannya 2 tahun yang lalu untuk membiarkan orang yang paling dicintainya pergi adalah kesalahan terbesar yang pernah dibuatnya.

Kesalahan yang tidak akan pernah kuulangi selama aku masih bernafas!, sumpah Max dalam hati dengan tangan terkepal erat.

"Anda tidak perlu khawatir. Kali ini aku berjanji hanya akan senyum dan kebahagiaan dalam hidup Marcus. Aku akan menebus semua kebodohanku yang pernah berpikir jika dia bisa dan akan lebih bahagia tanpaku."

Ditengah jadwal latihannya yang padat dalam rangkaian Tour Australia Open, Max memang melakukan segala cara untuk menyempatkan diri hadir dalam konser tunggal satu-satunya orang yang paling berharga dan berarti dalam hidupnya. Kembalinya sosok manis yang sedang menyerigai kecil padanya sambil memainkan Moonlight itu adalah sesuatu yang tidak akan pernah berhenti disyukuri Max yang sudah bersumpah jika kali ini, apapun yang terjadi nanti, mereka akan selalu bersama.

"Hampir 8 tahun aku mencintai Marcus dan perasaan itu tidak akan pernah berubah!"