"Kenapa dia bisa ada bersamamu?"
Mendengar teriakan melengking itu, Max hanya mengangkat acuh bahunya dan tersenyum jahil pada Marcus yang sudah tergelak riang. Si nakal bahkan sengaja berjinjit dan melumat bibirnya dengan gaya menggoda. "Hmpfh, bukankah seharusnya aku yang bertanya, kenapa kau masih juga tinggal disini? Kupikir kau sudah beristirahat dengan tenang di alammu." ujar Max santai dengan sarkasme tajam tanpa melepaskan pelukannya pada pinggang Marcus yang sudah bersandar penuh padanya.
"Ini karena..."
Lisa meremas kuat kedua tangannya, dia tidak pernah membayangkan sepupu kecilnya yang selama 2 tahun ini menghilang akan kembali pada petenis tampan yang dicintainya. Bahkan mereka sekarang dengan acuh bermesraan didepan matanya. "Karena aku ini tunanganmu. Calon istrimu!" tambahnya cepat dengan ekspresi angkuh yang berhasil memancing Marcus dan Max saling melirik penuh arti sebelum terbahak geli bersama.
"Sampai kapan kau mau bermimpi, Miss Gilbert?" Max melayangkan tatapan dinginnya pada wanita yang hampir saja menghancurkan hubungannya dengan Marcus. "Selama ini aku membiarkan kau melakukan apa pun yang kau suka hanya untuk memancing anak bandel ini kembali." Senyum tipis sontak terukir dibibir Max saat melihat Marcus melotot tajam padanya.
Waktu berlalu dan sekarang Marcus bukan lagi pria muda bodoh yang akan membiarkan dirinya masuk lagi dalam perangkap penuh kebohongan. Wanita cantik berambut panjang yang berdiri angkuh dihadapannya adalah orang yang sudah berusaha dan hampir berhasil merenggut semua kebahagiaannya. Si iblis yang dengan kejam berbohong padanya dan membuatnya berpikir jika Max terus bersamanya, maka karir dan reputasi pria yang sangat dicintainya sebagai petenis unggulan akan hancur.
Pertama kalinya Marcus bertemu Max adalah saat sang ayah mengadakan pesta musim panas di rumah utama keluarga mereka. Pesta membosankan itu seperti biasanya dihadiri para pengusaha maupun sahabat sang ayah yang terlihat acuh dan hanya sibuk membahas tentang saham. Kekakuan yang menyelimuti pesta kebun itu mendorong sang ayah memaksa Marcus untuk memainkan sebuah lagu dan tepat sebelum nada terakhir lagu itu selesai, jantungnya tiba-tiba saja berdegub kencang saat tanpa sengaja menangkap senyum tipis yang mengubah seluruh ekspresi dingin di wajah tampan Max.
"Tampan," batin sosok berambut ikal yang kala itu baru berusia 16 tahun.
Selama bertahun-tahun setelah malam itu, Marcus tetap diam dan berusaha bersikap ketus pada pria muda yang selalu menjadi kebanggaan ayahnya. Sosok jangkung yang perlahan tapi pasti mulai mengisi seluruh relung hatinya. Menjadi bagian yang selalu memenuhi mimpi indahnya. Si tampan yang juga berhasil membuat Marcus menangis semalaman saat tanpa sengaja dia melihat Max sedang berciuman mesra dengan seorang wanita cantik.
Hingga hari itu akhirnya tiba, satu minggu setelah ulang tahunnya yang ke 21.
Hari untuk pertama kalinya Max berhasil meraih kemenangan di Stade Roland Garros, lapangan tanah liat yang selalu menjadi momok bagi semua petenis. Hari dimana Marcus memutuskan untuk mengabaikan semua akal sehatnya dan hanya mendengar suara hatinya yang terus menjerit keras jika pria yang dengan dingin menghadapi lawan tandingnya dan baru saja melakukan 2 kali ace tajam itu adalah miliknya!
Sejak awal adalah milikku!, teriak Marcus egois dengan seringai nakal yang kali ini tidak lagi disembunyikannya. Nekat dia juga menyelinap ke ruang ganti untuk menemui Max yang pasti sedang berada di salah satu ruang pijat.
Tanpa ragu putra kesayangan Alex Stewart itu melompat ke dalam pelukan pria tampan yang masih dipenuhi keringat dan debu pertandingan. Tergelak riang saat menyadari Max terkejut dengan sikap liarnya yang pasti sangat tak terduga. Tapi, apa pedulinya? Meski tak pernah terucap, Marcus tidak naïf. Hanya dari semua tatapan tajam dan perhatian Max padanya selama bertahun-tahun, dia tahu pria itu juga menyukainya.
Bahkan, mungkin sudah mencintainya!
Jika belum, maka Marcus akan memastikan Max jatuh cinta padanya, dengan cara apapun!
"Apa kau akan menerimaku, anak bandel?"
Pertanyaan serius yang diikuti tatapan tajam Max yang seolah menelanjanginya itu untuk sesaat membuat Marcus termangu sebelum mulai tertawa kecil dan mengangguk. Menepis keraguan yang selalu tersimpan dihatinya dan pura-pura tidak peduli pada reaksi sang ayah yang pasti akan mengamuk jika tahu dia sudah jatuh cinta dan tergila-gila pada seorang pria tampan.
Bukan sembarang pria, tapi Max Sutherland, petenis terbaik France Open sekaligus murid kebanggaan Alex Stewart, sang mantan petenis peraih Grand Slam terbanyak.
"Siapa yang sanggup menolak seorang Max?"
Waktu itu bukannya menjawab pertanyaan Max yang terlihat sedikit tidak sabar, Marcus malah balas bertanya sambil menyeringai. Dengan satu gerakan cepat lengannya terulur untuk memeluk kuat leher kekar Max yang masih dibasahi keringat. "Katakan!" bisiknya dengan nada menuntut sebelum tersenyum lebar saat melihat kilau tajam dalam mata gelap Max yang sudah kembali memeluknya erat, sangat posesif.
"Aku mencintaimu, Sweetheart. Sejak kau memainkan lagu bodoh itu!"
Sebelum Marcus sempat protes padanya, Max terkekeh kecil, menundukkan kepalanya dan langsung melumat bibir sensual yang sudah menjadi mimpinya 6 tahun terakhir ini. "Sejak kau menyeringai padaku. Sejak kau melemparkan kue gosong itu ke wajahku!" tambahnya dengan kerlingan jahil seraya menangkup lembut paras manis sosok ramping yang baru saja membalas ciumannya dengan berani.
Pelukan intim dipinggangnya dan rasa bibir Max yang masih melekat kuat padanya seperti menyadarkan Marcus jika semuanya bukan mimpi lagi. Pria tampan yang selama ini menjadi impiannya sudah menjadi miliknya. "Aku juga mencintaimu, Max. Kau terlihat sangat lezat saat menang melawan si bodoh Trevor!" Serunya dengan senyum nakal sebelum berjinjit untuk memanggut bibir tipis sang petenis yang terasa sedikit asin karena keringat itu.
"Dan, aku sengaja melempar kue gosong itu agar kau melihatku. Bukan sibuk dengan Therese Chang yang genit...." Aku Marcus dengan muka polos sebelum tertawa berderai yang mendorong Max menciumnya gemas,"Licik sekali!" cela pria berkulit gelap itu acuh seraya ikut menertawakan situasi konyol yang akan jadi salah satu kenangan mereka.
Setelah malam indah yang tak terlupakan itu, hubungan mereka berjalan baik.
Sampai hari dimana media mulai mencium sesuatu yang tidak biasa dari kedekatan mereka maupun tatapan penuh curiga Alex setiap kali mereka sedang bersama. Akhirnya semua terbongkar saat tanpa sengaja Lisa, sepupunya yang datang dari Amerika menangkap basah mereka yang sedang berciuman dan langsung melaporkannya pada sang ayah.
"Jangan bersikap egois, Marc!" bentak Lisa tajam saat mendapati mereka tetap bersama dan mengabaikan semua media yang semakin mengebu-gebu mencari ada hubungan apa antara Max dan sang pianis berbakat, Marcus Stewart. "Karir yang sedang dibangun Max dengan semua kerja keras dan pengorbanannya itu akan hancur jika semua orang tahu dia itu gay! Bersamamu hanya akan membuat Max Sutherland terlihat seperti pecundang!"
Takut jika kehadiran dirinya akan menjadi penyebab kehancuran Max yang sudah berjuang keras seumur hidupnya untuk menjadi petenis terbaik dunia. Ditambah sikap dingin Alex yang walau tidak merestui namun juga tidak melarangnya untuk bertemu Max. Semua situasi yang penuh tekanan itu akhirnya mendorong Marcus mengambil keputusan paling bodoh.
Keputusan besar yang langsung disesalinya saat melihat wawancara penuh kebohongan Lisa pada salah satu majalah gossip. "Aku bodoh sekali, Mr. Mrvica." Teriak Marcus sedih bercampur marah dalam pelukan sang mentor yang memang selalu siap menjadi tempatnya mengadu.
"Tidak. Kau hanya terlalu mencintainya." Bela pianist asal Kroasia itu tanpa ragu.
Dengan senyum sombongnya yang menyimpan kelicikan kejam, didepan berbagai media Lisa dengan angkuh mengaku sebagai tunangan Max dan mengumumkan jika mereka akan segera menikah.
Walau hal itu tentu saja tidak pernah terjadi!
Selama 2 tahun yang terasa begitu panjang, tanpa lelah Marcus selalu mencari tahu segala hal tentang Max dan yang didapatnya adalah pria tampan itu berubah.
Max menjadi semakin arogan, dingin dan menjaga jarak dari semua orang. Di lapangan, pria yang sekarang berumur 30 itu semakin beringas dan tanpa ragu membantai semua lawannya. Tidak ada lagi pertandingan penuh emosi yang biasanya diselingi makian tajam seorang Sutherland yang terkenal mudah meledak. Media mulai berspekulasi dan memburu Max yang bahkan tidak pernah mau lagi menerima wawancara sesingkat apapun.
Perubahan drastis itu membuat Marcus sangat menyesal. "Kau ingin menghancurkan Max dengan sikap kekanakkanmu?" Kalimat tajam dari Alex Stewart yang akhirnya mendorong Marcus mengambil keputusan lain dalam hidupnya. "Tidak! Aku mencintainya, papa." Dan setelah mengakui perasaan yang akan selalu tersimpan dihatinya, Marcus tersenyum lebar.
Dia siap mempertaruhkan segalanya untuk mendapatkan kembali prianya!
"Kenapa aku tidak boleh ada disini? Lupa jika penthouse ini dibeli Max untukku? Terlalu menikmati peranmu sebagai calon nyonya rumah?" balas Marcus tajam pada Lisa dengan nada menyindir dan tatapan benci yang tidak disembunyikannya. "Wow, iblis kecilku sudah kembali. Kau selalu terlihat menggairahkan jika sedang cemburu, Mio Caro!" Godaan Max ditelinganya berhasil memancing Marcus terkekeh dan berbalik untuk memeluk bahu lebar pria tampan yang refleks mengecup pipinya lembut.
Dulu, karena semua kalimat penuh bisa Lisa yang menyodorkan beberapa majalah berisi berita gossip palsu padanya, Marcus menyakiti hatinya sendiri dengan berusaha keras untuk menjauhi Max. Menolak pria yang sangat dicintainya. Mendorong pria yang sudah menjadi belahan jiwanya itu pergi. Tindakan paling bodoh yang tidak akan dibiarkannya terulang lagi dalam hidupnya.
"Karena itu kau suka membuatku cemburu..." tuduh Marcus tajam sebelum tergelak kecil dan mencium sekilas rahang tegas Max yang sedikit kasar. "Aku cinta kau!" bisiknya serius.
Seolah ditengah ruang tamu itu hanya ada mereka berdua, Max menunduk dan dengan tidak sabar memangut kuat bibir sensual yang sudah sedikit terbuka itu. Melumatnya penuh gairah, mengisapnya ringan sebelum menjilatnya pelan dengan gerakan menggoda yang selalu disukai Marcus yang sudah berjinjit untuk memeluk lehernya. Selama sosok ramping ini terus bersamanya, berdiri disampingnya, bangun dalam pelukannya, Max bisa melupakan semua yang pernah terjadi.
Akan selalu ada maaf untuk semua kesalahan Marcus, apapun itu!
Max akan menganggap 2 tahun terkelam dalam hidupnya itu hanya bagian dari mimpi buruk yang sudah berakhir. Fase yang membuatnya semakin yakin jika yang terpenting baginya bukan hanya turnamen tennis, tapi si bandel yang sudah kembali berada dalam pelukannya!
"Welcome back, My Heart." Max berbisik lembut, penuh arti saat jemarinya dengan sayang mengusak rambut ikal Marcus yang terlihat sangat menarik dengan highlight biru. "Walau dunia disekitar kita runtuh sekali pun, aku tidak akan membiarkanmu pergi selangkah pun lagi!"
Lagi-lagi jantung Marcus berdebar kencang, pipinya memanas dan mungkin sudah sedikit memerah saat mendengar panggilan memalukan yang disukainya itu. Ditambah kalimat tegas Max yang sedang tersenyum padanya. "Bersamamu adalah mimpiku, Max." Seraya berusaha menyembunyikan perasaan gugupnya, Marcus balas berbisik lirih sambil memeluk manja lengan berotot Max yang sudah tersenyum bangga dan mengecup keningnya sekilas.
"Rumahku ada disini!" tambah Marcus serius saat mencium ringan dada bidang Max yang langsung mendekapnya semakin kuat, seolah takut dia bisa menghilang kapan saja.
Dengan lembut Max meraih jemari lentik yang masih menggenakan cincin pemberiannya itu, mengecupnya lama sebelum meremasnya ringan. "Kau adalah hadiah terbaik yang dikirim Tuhan padaku, Mio Caro. Hidupku..." Semua ketakutan Max selama menunggu malaikatnya kembali seperti menguap saat melihat sorot bahagia dalam mata Marcus yang sudah tersenyum lebar.
"Dasar perayu!" Marcus pura-pura marah seraya menepis perasaan malunya karena tatapan memuja Max berhasil membuat tubuhnya menggigil,"Saatnya mengusir penyihir!" Dengan nakal Marcus mengedipkan matanya sebelum berbalik dan langsung melayangkan senyum dingin pada sepupu tercintanya, sedangkan Max hanya tertawa.
"Waktumu bermain sebagai tunangan Max sudah habis,"
Marcus berdesis tajam pada Lisa yang sepertinya hampir murka karena harus melihat mereka yang terus berciuman dan bersikap mesra. "Dan, kuharap sebelum matahari terbit, kau sudah pergi dari rumahku!" Tanpa peduli pada kemarahan diwajah cantik sepupunya, dengan acuh Marcus menarik lengan Max dan bersama mereka melangkah kearah tangga melingkar yang menuju kamar utama.
"Anak sialan! Akan kubalas kau!"
Bukannya takut dengan ancaman bodoh itu, Marcus malah tertawa keras dan melambaikan tangannya pada Lisa yang tidak bisa berbuat apapun lagi. "Coba saja dan kupastikan kau akan lebih malu daripada ini...." balasnya dingin sebelum membiarkan Max yang sudah tidak sabar menariknya cepat ke kamar mereka.